Sejarawan Universitas Gadjah Mada
(UGM), Dr Sri Margana, MHum, MPhil, menyebut buku yang berjudul Bara Perlawanan
di Teluk Tomini, sebagai antitesa dari Teori Invited Colonialism (kolonialisme
yang diundang), yang merupakan perspektif baru dalam memandang sejarah
kolonialisme di Indonesia. Kata dia, buku yang ditulis oleh Lukman Nadjamuddin
dan tim tersebut, menghadirkan perspektif bahwa kolonialisme di kawasan Teluk
Tomini, khususnya Kerajaan Moutong, tidak termasuk tipe kolonialisme yang
diundang.
“Kolonialisme yang diundang,
dalam artian, pemerintah kolonial hadir di salah satu daerah di nusantara, atas
permintaan salah satu pihak yang berseteru dengan pihak lainnya, akibat
perebutan kekuasaan. Di sinilah peran pemerintah kolonial untuk membantu
memuluskan keinginan salah satu pihak yang ’mengundangnya’ tersebut, dengan
imbalan tertentu seperti wilayah atau akses eksploitasi sumber daya alam,”
jelas Sri Margana dalam bedah buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini, Rabu
(14/2/2018), yang berlangsung di Conference Room Media Center Untad.
Buku setebal 256 halaman yang
banyak menceritakan tentang kisah perjuangan Tombolotutu melawan pemerintah
kolonial ini, menurutnya, merupakan sebuah buku yang telah melalui proses
penelitian yang komprehensif, terlihat dari sumber data dan referensi yang
digunakan. Kata dia, dengan melihat daftar pustakanya, pembaca pasti tahu kalau
buku ini adalah sebuah buku yang kaya data.
“Buku ini banyak menggunakan
sumber-sumber kolonial yang komprehensif. Ini adalah bukti kalau buku ini tidak
dikerjakan main-main,” ujarnya.
Sri Margana menyebut, untuk
keperluan pengusulan sebagai pahlawan nasional, buku ini saja tidak cukup untuk
menggambarkan secara utuh sosok Tombolotutu. Kata dia, perlu ada kajian yang
lebih mendalam untuk mengambarkan secara utuh sosok Tombolotutu, tentunya dalam
penulisan selanjutnya.
“Saya mendukung upaya para
sejarawan Untad dan pemerintah daerah setempat, dalam upayanya mengusulkan
tokoh Tombolotutu sebagai pahlawan nasional. Menurut pembacaan saya, tokoh ini
punya sejarah perjuangan yang heroik, yang dalam sumber-sumber kolonial, bahkan
menggemparkan parlemen Belanda, akibat kesalahan kebijakan pemerintah kolonial
dalam menyelesaikan perseteruan dengan Tombolotutu,” urainya.
Sementara itu, sejarawan
Universitas Hasanuddin, Dr Suriadi Mappangara, MHum, menyampaikan sejumlah
kekurangan buku ini, seperti desain sampul yang kurang menarik, tidak adanya
indeks, serta adanya sejumlah perspektif penulisan yang menurutnya masih kurang
tepat.
“Misalnya soal diaspora orang
Mandar ke wilayah Sulawesi Tengah, utamanya Teluk Tomini, saya lebih sepakat
jika menyebutnya sebagai migrasi, karena aspek diaspora bagi saya terlalu luas
untuk menggambarkan proses migrasi tersebut,” jelasnya.
Secara umum, Suriadi sependapat
dengan Sri Margana, bahwa kehadiran buku ini tidaklah cukup untuk menggambarkan
perjuangan Tombolotutu secara untuh. Untuk itu, dirinya juga menyarankan kepada
tim penulis dan pemda setempat, untuk melakukan kajian yang lebih mendalam
terkait sosok Tombolotutu, jika memang niatannya benar-benar ingin mengusung
tokoh tersebut sebagai pahlawan nasional dari Sulawesi Tengah.
Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kabupaten
Parigi Moutong, Ir Muh Irfan, MSi, pun dalam sambutannya mengapresiasi
kehadiran buku ini sebagai salah satu warisan khasanah sejarah lokal di wilayah
Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Parigi Moutong. Menurut, sosok
Tombolotutu ini sendiri, di jazirah utara Teluk Tomini, memiliki pengaruh yang
sangat besar di masyarakat pada zamannya, hingga ke masa kini, karena cerita
tentang perjuangan beliau melawan pemerintah kolonial, telah diwariskan secara
turub temurun oleh masyarakat di kawasan tersebut.
“Kami berterima kasih kepada
peneliti Untad yang telah melakukan penelitian terhadap sejarah perjuangan
sosok Tombolotutu ini. Kita harapkan bersama, kajian ini dapat menjadi khasanah
sejarah bagi daerah, utamanya menjadi bahan pendukung pengusulan sosok beliau
sebagai pahlawan nasional,” jelasnya.
Ketua tim peneliti yang juga
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Dr Lukman Nadjamuddin,
MHum, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu rampungnya penelitian tersebut hingga menjadi sebuah buku. Kata
dia, semua tokoh yang berjuang melawan pemerintah kolonial di Sulawesi Tengah,
termasuk Tombolotutu, layak diusulkan sebagai pahlawan nasional, dengan ketentuan,
memiliki sumber data yang cukup dan komprehensif.
0 Comments