Berbicara tentang sejarah
penyebaran Islam di lembah Palu, sebagian besar kalangan pasti akan berbicara
mengenai dua tokoh yaitu Dato Karama (Abdullah Raqie) dan Guru Tua (Syech Idrus
bin Salim Al Jufri). Dato Karama dikenal sebagai mubaligh pertama yang menyebarkan
Islam di lembah Palu pada abad ke 17, sedangkan Guru Tua dengan perguruan
Alkhairaat nya, dikenal sebagai peletak dasar modernisasi Islam di lembah Palu
pada abad ke 20.
Kedua tokoh ini mewakili ciri
periodisasi penyebaran Islam di lembah Palu. periode Dato Karama yang banyak
diselimuti dengan pemitosan dikenal dengan periode mitologis, sedangkan periode
Guru Tua dengan konsep modernisasi Islamnya dikenal sebagai periode ilmu
pengetahuan. Haliadi Sadi, sejarawan Universitas Tadulako membagi periodisasi
penyebaran Islam di lembah Palu menjadi tiga periode yaitu periode mitologis,
periode ideologis, dan periode ilmu pengetahuan.
Jika melihat periodisasi
tersebut, ada problem diskontiunitas sejarah yang hadir di dalamnya. Ada
selisih sekitar 300 tahun antara periode Dato Karama dan periode Guru Tua.
Sayangnya, belum ada kajian yang serius mengenai penyebaran Islam di antara
periode Dato Karama dan Guru Tua tersebut. Haliadi menyebut masa 300 tahun
tersebut sebagai periode ideologis, di mana penyebaran Islam pasca Dato Karama
dilanjutkan oleh para mubaligh-pedagang yang berasal dari Bugis, Makassar, dan
Mandar.
Atas dasar kekosongan kajian
mengenai periode ideologis tersebut, seniman dan budayawan Sulteng, Amin
Abdullah, berinisiatif untuk menulis mengenai sejarah perkembangan Masjid Jami
Kampung Baru, yang terletak di Jalan Wahid Hasyim, Kelurahan Kamonji, Kecamatan
Palu Barat. Masjid tertua di Kota Palu tersebut menurutnya adalah salah satu
bukti eksistensi para mubaligh-pedagang yang berasal dari Bugis, Makassar, dan
Mandar di lembah Palu.
Periode ideologis dalam
penyebaran Islam di lembah Palu menurut Amin adalah penerapan syariat Islam.
Demi penerapan tersebut, para mubaligh tidak sungkan untuk memberikan uang
kepada masyarakat agar masyarakat mau ke masjid. N. Adriani dan Kruijt mencatat
bahwa pada tahun 1895, sudah berdiri masjid di lembah Palu, namun masyarakat
yang datang ke masjid masih kurang. Kondisi ini menyiratkan bahwa sebelum
keberadaan Masjid Jami, penerapan syariat Islam di lembah Palu belum sepenuhnya
berlaku.
Dalam buku setebal 61 halaman
tersebut, Amin menghadirkan sebuah realitas bahwa periode ideologis penyebaran
Islam di lembah Palu di akhir abad 19 dan awal abad ke 20, didominasi oleh para
mubaligh-pedagang Bugis, Makassar, dan Mandar, yang terlebih dahulu berdiaspora
ke tanah Melayu (Malaysia, Singapura, Riau). Realitas ini sejalan dengan apa
yang dikatakan Christian Pelras, etnolog Prancis, dalam bukunya, Manusia Bugis,
yang mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan dari orang-orang
“selatan” pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November
1667. Dampak dari perisitiwa tersebut yakni berubahnya pola perantauan dan
pelayaran pelaut-pelaut “selatan” mencari kekayaan dan kejayaan, ke wilayah
barat nusantara (tanah melayu).
Dalam bukunya, Amin menambahkan
konsep diaspora Pelras tersebut. Menurut Amin, pencarian kejayaan oleh para
pelaut “selatan” yang berdiaspora ke tanah melayu lalu ke lembah Palu, tidak
selalu ditempuh melalui jalur politik dan kekuasaan. Haji Borahima (Pue
Langgai), salah satu tokoh sentral berdirinya Masjid Jami Kampung Baru, yang
merupakan salah satu pelaku diaspora tersebut, nyatanya tidak mencapai
kejayaannya dengan jalur politik dan kekuasaan. Mubaligh-pedagang Bugis yang
sebelum bermukim di Palu, terlebih dahulu berdiaspora di Singapura ini,
membangun kejayaan lewat perdagangan dan diplomasi melalui perkawinan.
Selain
konsep diaspora bugis-melayu yang dilakoni oleh Haji Borahima, periode
ideologisasi Islam di lembah Palu juga ditandai oleh adanya diaspora
bugis-arab, yang dominan terjadi di sebelah utara lembah Palu. Salah satu
buktinya adalah Masjid al Mujahidin dan Masjid Al Amin yang terletak di Desa
Wani II, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala.
Masjid
Al Mujahidin terletak di Jalan Masjid Jami, Dusun Malambora, Desa Wani II, yang
berjarak sekitar 35 km dari Kota Palu. Menurut penuturan Imam Masjid Al
Mujahidin, Tanwir H. Amboedo, masjid tersebut dibangun pada tahun 1912, melalui
prakarsa dari seorang pedagang sekaligus pelaut bugis bernama H. Amboedo. H.
Amboedo bersama Taganda dan H. Lamane merupakan pelopor pembangunan mesjid ini.
Tiang
penyangga masjid ini berjumlah 12 buah dengan rincian 8 tiang kecil dan 4 tiang
besar. Tiang penyangga tersebut terbuat dari kayu ulin yang didatangkan dari
Singapura. Tanwir mengisahkan bahwa kayu tersebut dibawa oleh H. Amboedo, saat
pulang berlayar dari Singapura.
Kini,
bukti peninggalan sejarah dari masjid yang telah berusia ratusan tahun ini
tinggal berupa tiang penyangga dan kubah masjid.
Masjid
Al Amin yang berlokasi di Jalan Sayyid Agil, Dusun Malambora, Desa Wani II,
Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala. Masjid yang telah ditetapkan sebagai
salah satu situs cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi
Tengah (kini berubah menjadi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dinas
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) dibangun pada tahun 1906 atas prakarsa seorang
wanita bernama Saripa Isa binti Sayd Yahya Al Mahdali. Demi pembangunan masjid
ini, Saripa mewakafkan tanah miliknya seluas 45x54 meter dengan surat wakaf
tertanggal 3 Desember 1906.
Saripa
merupakan cucu dari Sayd Agil Al Mahdali, salah seorang mubaligh yang
menyiarkan Islam di wilayah Wani. Beliau berasal dari Hadramaut, Yaman
Selatan.
Sebelum
kedatangan Guru Tua ke Palu, telah ada orang Arab yang lebih dulu tinggal di
Wani, di antaranya Sayd Agil Al Mahdali, Ahmad bin Ahmad Al Mahdali, Husein
Assegaf, Hasan bin Ali Makarama, dan Abdullah bin Hasan Al Husni. Mereka
tinggal di Wani untuk berdagang, karena pada saat itu (diperkirakan sekitar
tahun 1850-an) Wani merupakan salah satu pelabuhan yang berada di wilayah
Kerajaan Banawa bersama pelabuhan Donggala sendiri. Orang Arab tinggal di Wani
atas persetujuan Raja Banawa. Mereka memiliki hubungan erat dengan para bangsawan
Banawa saat itu.
Masjid
Al Amin ini awalnya berdinding kayu ulin. Setelah proses renovasi, masjid ini
kini berdinding beton. Masjid ini memiliki tiang penyangga berjumlah 8 buah
dengan 4 tiang penyangga utama. Di langit-langit masjid, terdapat 4 kaligrafi
di setiap sudut dan 1 kaligrafi di tengah. Menurut penuturan juru pelihara
Masjid Al Amin, Thahir Syarief Al Mahdali, 4 tiang penyangga utama dan 4
kaligrafi di sudut langit-langit masjid melambangkan 4 sahabat nabi
(Khulafaurrassyidin).
Tiang
penyangga masjid terbuat dari kayu ulin yang didatangkan dari Kalimantan. Atap
masjid ini dilengkapi dengan ornamen pada ujungnya. Ornamen tersebut diketahui
berasal dari Singapura.
Diaspora bugis-melayu dan bugis-arab sebagai
salah satu bagian dalam sejarah penyebaran Islam di lembah Palu merupakan bukti
bahwa periode 300 tahun kekosongan sejarah antara masa Dato Karama dan masa
Guru Tua, diisi oleh proses diaspora tersebut. Proses diaspora ini memperkaya
corak Islam lembah Palu yang menghampar kolaborasi konsep melayu, bugis, dan
arab. Kesemuanya merupakan kekayaan sejarah yang harus dilestarikan.
0 Comments