Komunitas Tenun Sabe Limoyo: Berjuang Melestarikan Budaya Lokal

Komunitas Tenun Sabe Limoyo: Berjuang Melestarikan Budaya Lokal





Tenun Sabe Limoyo merupakan salah satu tenun khas Sulawesi Tengah yang berasal dari Limoyo, Kelurahan Pantoloan Boya, Kota Palu. Dahulu, setiap rumah tangga di wilayah ini merupakan pengrajin tenun, namun seiring perkembangan jaman, jumlah pengrajin makin mahi makin berkurang. 

Kondisi inilah yang dilihat oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulteng sebagai poin yang harus segera ditindaki. Jika tidak segera disikapi, tenun asli Kota Palu ini akan hilang ditelan jaman. 

Berbekal keinginan inilah, SKP-HAM Sulteng mengumpulkan kembali para pengrajin tenun yang tersisa di Limoyo, untuk dibuatkan sebuah wadah berkumpul dan berusaha. Jika saat ini mereka hanya buruh tenun yang dibayar per kain yang dihasilkan, maka modelnya akan diganti dengan model pemberdayaan.
Untuk menginisiasi hal tersenut, dilaksanakanlah pertemuan silaturahim (kelompok) perempuan penenun sabe Limoyo bersama kolektor tenun ikat bomba Ibu Ince Mawar Abdullah. Diskusi yang hangat tersebut membahas terkait motif dan kualitas tenun untuk hasil yang lebih baik dan bernilai seni tinggi. Ibu Ince Mawar Abdullah sendiri akhirnya didapuk sebagai pembina kelompok tenun perempuan Limoyo.

Motivasi berharga dari ibu Ince adalah memberi penguatan kepada kelompok perempuan Limoyo untuk bangkit bermental pengrajin bukan lagi buruh tenun. Dengan bermental pengrajin, mereka dapat memberdayakan diri untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkannya, tidak lagi berpatokan pada pengupahannya.

Demi mewujudkan cita-cita pemberdayaan tersebut, Solidaritas Korban Pelangggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah, melaksanakan pelatihan tenun berkualitas dan kreasi produk berbahan tenun, 21 Mei 2016. Pelatihan yang dilaksanakan selama lima hari tersebut menggandeng Perhimpunan Lawe dan IKA dan diikuti oleh kelompok perempuan penenun dan penjahit dari sejumlah wilayah seperti Limoyo (Pantoloan Boya), Labuan, Mamboro, dan Baiya.

“Mereka ini adalah ibu-ibu penenun dan penjahit, yang merupakan korban atau keluarga korban pelanggaran HAM di Sulteng,” ujar Sekjen SKP-HAM Sulteng, Nurlaela Lamasitudju.

Pelatihan tenun dan jahit ini menggandeng Perhimpunan Lawe, yang mengembangkan riset di bidang desain kain dan produk berbasis tenun, Indonesia Untuk Kemanusiaan (IKA), lewat Program Peduli. Menurut Nurlaela, pihaknya menggandeng sejumlah mitra kerja dengan harapan dapat memberikan pencerahan serta meningkatkan kapasitas SDM para penenun dan penjahit tersebut.

“Para peserta ini, khususnya penenun, mayoritas adalah buruh yang hanya diupah biaya pembuatan per kainnya. Jika selama ini produknya hanya sebatas kain, maka kami berharap setelah pelatihan ini akan muncul kreatifitas untuk membuat aneka kerajinan seperti tas, softcase hp, dan kerajinan lainnya,” jelasnya.

Budayawan Sulteng Intje Mawar Lasasi dan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berncana (BKP-PP) Kota Palu, Irmayanti Pettalolo, yang hadir dalam acara pembukaan pelatihan, mengapresiasi kegiatan tersebut. Irmayanti bahkan berencana untuk berkoordinasi dengan Walikota Palu dan Lurah Pantoloan Boya, agar kelurahan tersebut dapat menjadi sentra kerajinan dan pengembangan produk berbasis tenun.

Terkait pelaksanaan pelatihan, salah satu mentor, Wiraswati mengatakan, Hal pertama yang harus ditekankan oleh para penenun dan penjahit, adalah bagaimana menghasilkan produk yang bagus dan bernilai tinggi.

Setelah menjalani pelatihan pengembangan produk berbahan dasar tenun selama empat hari, Rabu, 25 Mei 2016, para peserta pelatihan memamerkan hasil karyanya, difasilitasi oleh SKP-HAM Sulteng, House of Lawe Yogyakarta dan IKA.

Pameran hasil karya perempuan penyintas pelanggaran HAM ini memamerkan kain tenunan produk berbahan tenun yang memadukan tenun Bomba, tenun sulam subi, dan tenun lurik Yogyakarta, berupa tas tangan, pouch HP, tas serba guna, tas seminar, tempat pensil, dan produk lainnya. Pameran ini juga memamerkan produk kerajinan tangan hasil karya para remaja difabel yang tergabung dalam Gerkatin.

Sekretaris Jenderal SKP-HAM Sulteng, Nurlaela Lamasitudju mengatakan, pameran itu diinisiasi untuk menyemangati peserta pelatihan, agar semakin percaya diri dalam membangun usahanya pasca pelatihan.

Dia berharap para peserta yang merupakan perempuan penyintas, menjadi percaya diri dan mandiri, serta meningkatkan kualitas hidup menuju masa depan yang lebih baik.

Kabid Hasil Kerajinan Logam, Mesin dan Aneka (Hakelma) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulteng, Irwansyah, yang berkesempatan hadir dalam pameran tersebut mengaku sangat mengapresiasi pameran tersebut, apalagi menurutnya,kini tenun bomba menjadi salah satu industry yang dikembangkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sulteng.

“Kebetulan besok (hari ini), ada kunjungan Dirjen Industri Kecil Menengah (IKM) ke Palu dan Donggala dalam rangka memantau pengembangan tenin kain Donggala. Saya tidak janji, tapi saya akan upayakan mengajak ibu Dirjen kesini untuk melihat hasil karya ini dan berdialog dengan para peserta, meskipun cuma 10 menit,” ujarnya.

Apresiasi serupa juga datang dari Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BKB-PP) Kota Palu, Irmayanti Pettalolo. Dalam dialognya bersama ibu-ibu peserta pelatihan, Irmayanti menyemangati mereka dan mengaku akan membantu proses penjualan dan memperkenalkan produk tersebut ke Walikota. “Saya siap membantu penjualan dan bersama Ibu Nurlaela, saya ingin mengajak untuk memperkenalkan produk ini ke Walikota, agar bisa menjadi salah satu souvenir di HUT Kota Palu nanti. Produk ibu-ibu ini hasilnya bagus, halus dan layak jual,” ujarnya.

Pameran hasil tenun dan produk berbahan dasar tenun ini juga dihadiri oleh budayawan Sulteng, Intje Mawar L. Abdullah, yang merupakan pembina kelompok tenun Sabe Limoyo, civitas akademika STT Marturia Palu, Komunitas Backpacker Kota Palu, sejumlah komunitas dan LSM, serta para pewarta yang tergabung dalam AJI Palu.

Apresiasi tiudak hanya sampai di situ. Sentra kerajinan tenun dan produk berbahan dasar tenun SKP-HAM Sulteng, mendapat kunjungan dari Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (Dirjen IKM) Kementerian Perindustrian, Euis Saedah, Jumat 27 Mei 2016. Dalam kunjungannya, Euis yang didampingi Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulteng, Abubakar Al Mahdali, Kabid Hakelma, Irwansyah, beserta sejumlah staf Dirjen IKM dan Disperindag Sulteng.

Tiba di sekretariat SKP-HAM di Jalan Basuki Rahmat, Kelurahan Birobuli Utara, Euis dan rombongan disambut pengurus SKP-HAM Sulteng bersama sejumlah ibu-ibu penenun dan penjahit yang berasal dari Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala, dan Kelurahan Pantoloan Boya, Kota Palu.

Euis pun diajak untuk melihat hasil kerajinan tenun dan produk tenun yang dihasilkan oleh ibu-ibu tersebut, selama pelatihan yang diselenggarakan atas kerjasama SKP-HAM Sulteng, House of Lawe Yogyakarta, dan IKA melalui Program Peduli.

Euis terkesan melihat berbagai produk kerajinan tenun yang dipamerkan. Dirinya bahkan meminta kepada stafnya untuk memesan produk tenun berupa tas seminar, jika instansinya mengadakan kegiatan.

Mariana, salah satu penenun mengatakan, dirinya telah belajar menenun sejak SD menggunakan alat tenun yang telah diwariskan secara turun-temurun. Jika awalnya ia hanya menjadi buruh tenun dengan upah seadanya, maka kini setelah mengikuti pelatihan, ia percaya diri dapat menjadi mandiri.

Sementar, Sanaria, yang telah menenun sejak tahun 1970-an, mengungkapkan keluhannya kepada Euis mengenai sulitnya mendapatkan benang berkualitas sebagai bahan baku tenun, karena selain harganya mahal, barangnya pun susah didapat.

Mendengar kisah-kisah dari para penenun itu, Euis meminta kepada SKP-HAM untuk terus berkoordinasi dengan Dirjen IKM melalui Disperindag Sulteng. Menurutnya, pihaknya akan mengupayakan untuk membantu ibu-ibu pengrajin tersebut dengan revitalisasi alat produksi.

“Yang jelas ibu-ibu semua harus semangat dan terus bersatu, karena itu modal awal suksesnya sebuah usaha,” ujarnya.

Kadisperindag Sulteng, Abubakar Al Mahdali mengatakan, dirinya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh SKP-HAM Sulteng dan kelompok pengrajin ini.

“Yang pertama harus dilakukan adalah memberi merek pada produk kerajinan ini agar lebih dikenal di kalangan yang lebih luas dan lebih mempermudah dalam urusan penyaluran bantuan,” ujarnya.

Setelah mendapat begitu banyak apresiasi, kini para pengrajin harus mulai merancang usaha yang telah mereka rintis tersebut. Pelatihan demi pelatihan mereka ikuti demi pengembangan kualitas diri dan kualitas produknya. Mereka juga diajarkan untuk berkoperasi dan menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung.

Komunitas pengrajin tenun ini adalah bukti bahwa produk budaya tradisional kita dapat dikemas dengan balutan modern yang bercita rasa tinggi dan memiliki nilai jual yang mampu bersaing dengan produk lainnya. Sekarang adalah bagaimana mempertahankan semangat kebersamaan dan etos kerja yang sudah ada untuk menjadikan Tenun Sabe Limoyo ini sama derajatnya dengan Bomba yang telah lebih dulu terkenal.  

Post a Comment

0 Comments