Upacara Adat Pompaura: Mengharap Berkah dan Keselamatan

Upacara Adat Pompaura: Mengharap Berkah dan Keselamatan

Prosesi upacara adat pompaura, yang dilaksanakan oleh Dewan Hadat Sibulo Baraka, Kelurahan Kayumalue Pajeko, Sabtu (30/1/2016). Upacara adat pompaura tersebut digelar dengan tujuan mengharap berkah dan keselamatan dari tuhan yang maha esa, serta dijauhkan dari segala bahaya dan bencana. FOTO: JEFRI


Dewan Hadat Sibulo Baraka, Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Palu Utara, menggelar upacara adat tolak bala atau yang biasa disebut pompaura. Upacara adat tersebut dilaksanakan selama tiga hari sejak Kamis (28/1/2016) bertempat di Baruga Adat Sibulo Baraka, Kelurahan Kayumalue Pajeko.
 
Ketua Panitia Penyelenggara, Amaludin, Sabtu (30/1/2016) malam, mengatakan, upacara adat pompaura tersebut digelar dengan tujuan mengharap berkah dan keselamatan dari tuhan yang maha esa, serta dijauhkan dari segala bahaya dan bencana. Upacara adat ini digelar setiap tahun pada saat akhir tahun.  
 
“Setiap tahun dilakukan setiap Bulan Desember, namun karena pada bulan tersebut digelar pesta rakyat, maka upacara adat pompaura diundur hingga bulan Januari”, ujar Amaludin.

Pompaura sendiri merupakan upacara adat suku Kaili yang dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Pada hari pertama pelaksanaan Pompaura, para totua adat mewarnai beras dengan empat warna yaitu merah, hijau, kuning, dan putih, yang disebut prosesi Noragi Ose. Beras empat warna ini dipercaya dapat menjadi penangkal kekuatan jahat yang hendak mengganggu kehidupan masyarakat. Beras empat warna ini merupakan simbolisasi dari empat unsur sumber kekuatan gaib, yakni Tanduka Oge (wilayah Pantai Barat, Kabupaten Donggala), Lariang, Gumbasa dan Uventira.

Pada hari kedua, dilaksanakan upacara Nopatinda Tavanggayu atau mendirikan tiang dari tujuh macam kayu. Dalam prosesi ini, tujuh macam kayu itu tidak hanya sekadar didirikan. Pada tempat yang akan ditancapkan kayu itu, terlebih dahulu ditempatkan lima macam benda yakni uang logam jaman dulu, paku, sirih, telur dan kemiri untuk ditanam di tempat menancapkan kayu tersebut. Dalam prosesi itu, hampir seluruh tetua adat mengalami kesurupan karena dirasuki oleh roh leluhur. Saat prosesi ini dijalankan, sejumlah warga yang menghadiri upacara tersebut juga ada juga yang mengalami kesurupan. 

Pada hari ketiga yang merupakan puncak pelaksanaan prosesi adat Pompaura, sejumlah warga menyiapkan sebuah perahu (sakaya) berukuran 1 x 3 meter yang terbuat dari pelepah sagu. Perahu tersebut dihias sedemikian rupa dengan hiasan berbentuk burung atau yang biasa disebut tonji-tonji, yang terbuat dari janur kelapa. Tonji-tonji tersebut dipasang mengelilingi perahu. Tonji-tonji itu berfungsi sebagai media yang akan menyampaikan sesajian kepada ruh jahat, agar ruh tersebut tidak mengganggu masyarakat.

Pada malam sebelum perahu itu dihanyutkan ke laut, para tetua adat berkumpul di bantaya adat sambil menyenandungkan Baliore, yang merupakan kidung yang dipercaya sebagai berasal dari Ngapa (kampung) Uventira. Bagi masyarakat Suku Kaili yang bermukim di wilayah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, Uventira yang terletak di kawasan jalan Trans Palu-Parigi (Kebun Kopi), diyakini sebagai sebuah kerajaan alam gaib. 

Baliore terus diyanyikan oleh para tetua adat yang telah dirasuki ruh para leluhur. Para tetua adat tersebut mengenakan pakaian berwarna kuning, yang merupakan warna yang melambangkan Ngapa Uventira. Senandung Baliore terus dinyanyikan untuk mengiringi sesajen yang telah disiapkan, untuk diletakkan di dalam perahu (sakaya pompaura).

 Masyarakat tengah menghias perahu (sakaya pompaura) yang akan digunakan untuk melarung sesajen ke laut, pada prosesi pompaura. Perahu ini dihiasi dengan tonji-tonji (hiasan burung) yang dipercaya sebagai media untuk menyampaikan sesajen kepada ruh jahat agar tidak lagi mengganggu kehidupan masyarakat. FOTO: JEFRI

Selanjutnya, setelah sesajen ditata di atas sakaya pompaura, sakaya tersebut kemudian dilarung di lepas pantai Kayumalue Pajeko pada Minggu (31/1/2016) dini hari. Pelepasan perahu berisi sesajen tersebut diiringi dengan pembacaan doa untuk memohon keselamatan serta dijauhkan dari bencana. Untuk memilih waktu pelepasan perahu itu ke laut, tidak dilakukan secara sembarang. Para tetua adat menunggu waktu yang tepat yaitu pada saat angin mengarah ke arah Ngapa Uventira.

Amaludin mengatakan, upacara adat ini merupakan tradisi yang digelar secara turun-temurun oleh masyarakat Kelurahan Kayumalue Pajeko. Tradisi ini menurutnya merupakan salah satu upaya untuk merekatkan persaudaraan masyarakat di Kelurahan Kayumalue Pajeko.

Lurah Kayumalue Pajeko, Roy Topan Sanjaya, menyambut baik pelaksanaan upacara adat tersebut. Menurutnya, upacara adat seperti ini merupakan kearifan lokal yang harus dilestarikan oleh Pemerintah Kota Palu. 

Lanjut Roy, pengembangan nilai-nilai tradisi adat tersebut merupakan salah satu langkahnya untuk mewujudkan Kelurahan Kayumalue Pajeko yang berbudaya dan beradat. Hal itu menurutnya sesuai dengan visi misi Walikota Palu terpilih yang mengedepankan pengembangan nilai-nilai budaya dan adat, yang dilandasi iman dan takwa.

Post a Comment

0 Comments