KETFOT: Amin Abdullah berfoto bersama buku yang ditulisnya,
Rabu (25/11/2015). Buku berjudul “Masjid Jami: Sejarah dan Perkembangnya”
tersebut merupakan hasil kajian Amin tentang kehadiran Masjid Jami sebagai
penanda periode ideologisasi Islam di lembah Palu. FOTO: JEFRI
Berbicara tentang sejarah penyebaran Islam di lembah Palu, sebagian
besar kalangan pasti akan berbicara mengenai dua tokoh yaitu Dato Karama
(Abdullah Raqie) dan Guru Tua (Syech Idrus bin Salim Al Jufri). Dato Karama
dikenal sebagai mubaligh pertama yang menyebarkan Islam di lembah Palu pada
abad ke 17, sedangkan Guru Tua dengan perguruan Alkhairaat nya, dikenal sebagai
peletak dasar modernisasi Islam di lembah Palu pada abad ke 20.
Kedua tokoh ini mewakili ciri periodisasi penyebaran
Islam di lembah Palu. periode Dato
Karama yang banyak diselimuti dengan pemitosan dikenal dengan periode
mitologis, sedangkan periode Guru Tua dengan konsep modernisasi Islamnya
dikenal sebagai periode ilmu pengetahuan. Haliadi Sadi, sejarawan Universitas
Tadulako membagi periodisasi penyebaran Islam di lembah Palu menjadi tiga
periode yaitu periode mitologis, periode ideologis, dan periode ilmu
pengetahuan.
Jika melihat periodisasi tersebut, ada problem diskontiunitas
sejarah yang hadir di dalamnya. Ada selisih sekitar 300 tahun antara periode
Dato Karama dan periode Guru Tua. Sayangnya, belum ada kajian yang serius
mengenai penyebaran Islam di antara periode Dato Karama dan Guru Tua tersebut.
Haliadi menyebut masa 300 tahun tersebut sebagai periode ideologis, di mana
penyebaran Islam pasca Dato Karama dilanjutkan oleh para mubaligh-pedagang yang
berasal dari Bugis, Makassar, dan Mandar.
Atas dasar kekosongan kajian mengenai periode ideologis
tersebut, seniman dan budayawan Sulteng, Amin Abdullah, berinisiatif untuk
menulis mengenai sejarah perkembangan Masjid Jami Kampung Baru, yang terletak
di Jalan Wahid Hasyim, Kelurahan Kamonji, Kecamatan Palu Barat. Masjid tertua
di Kota Palu tersebut menurutnya adalah salah satu bukti eksistensi para
mubaligh-pedagang yang berasal dari Bugis, Makassar, dan Mandar di lembah Palu.
Periode ideologis dalam penyebaran Islam di lembah Palu menurut
Amin adalah penerapan syariat islam. Demi penerapan tersebut, para mubaligh
tidak sungkan untuk memberikan uang kepada masyarakat agar masyarakat mau ke
masjid. N. Adriani dan Kruijt mencatat bahwa pada tahun 1895, sudah berdiri
masjid di lembah Palu, namun masyarakat yang datang ke masjid masih kurang.
Kondisi ini menyiratkan bahwa sebelum keberadaan Masjid Jami, penerapan syariat
Islam di lembah Palu belum sepenuhnya berlaku.
Dalam buku setebal 61 halaman tersebut, Amin menghadirkan
sebuah realitas bahwa periode ideologis penyebaran Islam di lembah Palu di
akhir abad 19 dan awal abad ke 20, didominasi oleh para mubaligh-pedagang
Bugis, Makassar, dan Mandar, yang terlebih dahulu berdiaspora ke tanah Melayu
(Malaysia, Singapura, Riau). Realitas ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Christian Pelras, etnolog Prancis, dalam bukunya, Manusia Bugis, yang
mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan dari orang-orang “selatan”
pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Dampak
dari perisitiwa tersebut yakni berubahnya pola perantauan dan pelayaran
pelaut-pelaut “selatan” mencari kekayaan dan kejayaan, ke wilayah barat nusantara
(tanah melayu).
Dalam bukunya, Amin menambahkan konsep diaspora Pelras
tersebut. Menurut Amin, pencarian kejayaan oleh para pelaut “selatan” yang
berdiaspora ke tanah melayu lalu ke lembah Palu, tidak selalu ditempuh melalui
jalur politik dan kekuasaan. Haji Borahima (Pue Langgai), salah satu tokoh
sentral berdirinya Masjid Jami Kampung Baru, yang merupakan salah satu pelaku
diaspora tersebut, nyatanya tidak mencapai kejayaannya dengan jalur politik dan
kekuasaan. Mubaligh-pedagang Bugis yang sebelum bermukim di Palu, terlebih
dahulu berdiaspora di Singapura ini, membangun kejayaan lewat perdagangan dan
diplomasi melalui perkawinan.
Masjid Jami Kampung Baru pada awal pembangunannya, merupakan
sebuah surau yang kapasitasnya masih sangat kecil. Haji Borahima (Pue Langgai),
seorang saudagar kaya yang dikenal memiliki banyak lahan di wilayah Kampung
Baru, mewakafkan tanahnya seluas 9 x 9 meter pada tahun 1812 untuk pembangunan
surau tersebut. Tahun pasti pembangunan surau yang menjadi cikal bakal Masjid
Jami tersebut pun beragam. ada yang menyebutkan tahun 1895, tahun 1901, dan
tahun 1906, bertepatan dengan pembangunan Masjid Al Amin di Wani.
Beberapa narasumber cenderung sepakat bahwa tahun 1895
merupakan tahun pendirian surau tersebut. kesimpulan tersebut diambil setelah
melihat angka tahun 1923 di makam Siti Habsa, istri Pua Langgai. Dari
keterangan lisan yang diperoleh Amin, Pua Langgai meninggal tidak lama setelah
istrinya meninggal dunia. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Pua Langgai
meninggal dunia sekitar tahun 1923-1924. Dengan asumsi bahwa usia manusia pada
umumnya mencapai 60 atau 70 tahun, dapat diperkirakan bahwa Pua Langgai lahir
pada sekitar tahun 1853-1863.
Berdasarkan asumsi tersebut, Amin berkesimpulan bahwa surau
tersebut didirikan oleh orang tua Pua Langgai yaitu Latondro. Namun, jika tetap
mengacu pada asumsi banhwa yang mendirikan surau tersebut adalah Pua Langgai,
maka periode akhir abad 19 atau awal abad ke 20 merupakan waktu yang logis
untuk memperkirakan waktu didirikannya Masjid Jami. Pada periode tersebut, Pua
Langgai telah mencapai usia dewasa yang memungkinkan seseorang telah hidup
dengan mapan sehingga dapat mewkafkan sebagian harta dan tanahnya untuk
pembangunan masjid.
Asumsi tersebut juga didasarkan pada catatan
etnografer-missionaris Belanda, N. Adriani dan A.C. Kruijt pada tanggal 25
September 1898 yang menyebutkan bahwa pada saat itu telah berdiri sebuah masjid
di lembah Palu dengan pola mengaji menggunakan bahasa Bugis. Dengan demikian,
Amin mengambil kesimpulan bahwa masjid tersebut telah berdiri sebelum tahun
1898, di saat Pua Langgai berusia sekitar 45-55 tahun.
Sejak berdiri pada sekitar akhir abad ke 19 atau awal abad ke
20, Masjid Jami Kampung Baru telah mengalami beberapa kali pemugaran. Sekitar
tahun 1905-1908, etnografer Belanda, T.V. Ardenne, mendokumentasikan keadaan
Masjid Jami yang telah berubah dari surau menjadi sebuah masjid. Pemugaran
selanjutnya dilakukan pada tahun 1930, 1950, dan 1985.
Secara umum, Amin melihat pola pembangunan Masjid Jami
Kampung Baru sama dengan pola pembangunan Masjid Al Amin di Wani. Keduanya
dibangun oleh pendatang yaitu, Pua Langgai yang Bugis Melayu dan Saripa Isa
binti Sayyid Yahya Al Mahdali yang Bugis Arab. Kemudian, keduanya sama-sama
mewakafkan harta dan tanahnya untuk pembangunan masjid. Terakhir, makam
keluarga kedua tokoh tersebut terletak di sekitar masjid.
Dari kenyataan tersebut Amin melihat keterbukaan orang Kaili
untuk menerima kehadiran pendatang di wilayahnya. Selain itu, ia juga melihat
bahwa perkembangan kebudayaan tidak selalu harus melihat mana yang asli dan
mana yang bukan.
Dalam buku ini, Amin juga menghadirkan realitas bahwa
sesunggunya buku ini hadir untuk memancing animo penulis lainnya untuk mengkaji
lebih dalam mengenai kekosongan cerita tentang sejarah penyebaran Islam di
lembah Palu pasca kedatangan Dato Karama dan sebelum kedatangan Guru Tua. Buku
ini pun akan mengalami revisi dan penambahan jika ada masukan dari masyarakat,
tentunya dengan penambahan-penambahan data dan kajian-kajian yang lebih
mendalam. Untuk cetakan pertama, buku ini dicetak sebanyak 150 eksemplar, di
mana 50 eksemplar disumbangkan ke pihak Masjid Jami dan selebihnya dipasarkan
melalui toko-toko buku seperti Ramedia dan Karisma.
Kekuatan buku ini ada di metodologi dan bukti-bukti sejarah
yang diungkapkannya. Untuk itu, Amin bahkan berkonsultasi dengan ahli lontara
dari UNHAS, Dr. Dafirah Arsyad, Ahli Bahasa Belanda UI, Dr. Cristina, ahli
arkeologi, Iksam, dan ahli Studi Indonesia dari KITLV Leiden, Belanda, Fridus
Steijlen.
Masjid Jami Kampung Baru merupakan penanda periode
ideologisasi Islam di lembah Palu dan merupakan bukti keterbukaan masyarakat
Kaili terhadap pendatang. Selain itu, kehadiran Masjid Jami Kampung Baru juga
merupakan penanda bahwa di lembah Palu, diaspora Bugis hadir secara tidak
langsung dengan pengaruh kebudayaan Melayu.
Buku ini wajib dibaca oleh generasi muda Kota Palu di tengah
kondisi Kota Palu yang semakin ahistoris. Jika kepedulian akan sejarah tersebut
tidak dimulai dari sekarang, 10-20 tahun lagi, Kota Palu akan kehilangan
identitas kelokalannya.
0 Comments