Maaf, Belum Ada Nama: Antara Kota Palu dan Sejarahnya

Maaf, Belum Ada Nama: Antara Kota Palu dan Sejarahnya

Tiga orang penari mengitari empat buah plank nama jalan yang kosong. Ketiganya serius mengamati plank tersebut sebelum kemudian membantingnya dengan keras dan menginjak-injaknya dengan penuh amarah. Sorot mata ketiganya tajam sambil menunjuk ke arah penonton. Lamat-lamat sunyi kembali mencekam ruang pertunjukan seiring dengan padamnya lampu. 

“Maaf, Belum Ada Nama”, merupakan tajuk dari pertunjukkan tari tersebut. Tari kreasi yang digarap oleh Iin Ainar Lawide selaku koreografer dan Arifin Baderan selaku pimpinan produksi ini menghadirkan realitas yang terjadi di Kota Palu saat ini yaitu, kehilangan identitas. Plank-plank nama jalan yang dulunya menggunakan bahasa daerah sebagai nama jalan, kini diIndonesiakan. Nama-nama tokoh sejarah yang turut andil dalam sejarah perjuangan Sulawesi Tengah dan Kota Palu pun hanya jadi nama jalan untuk jalan berukuran kecil setingkat lorong. 


Ya...Kota Palu mulai kehilangan identitasnya. Pembangunan yang cukup pesat belakangan ini terkesan meninggalkan sisi-sisi kelokalan yang ada di kota empat dimensi ini. Penamaan, arsitektur, hingga tata kota yang digarap seakan tidak lagi memperhatikan aspek-aspek lokal. Tengok saja polemik penamaan Anjungan Nusantara yang berhembus di dunia maya dan media cetak. Satker dan Bappeda saling tuding mengenai penamaan tersebut. Alasan yang dijadikan pembenaran, kawasan teluk itu pernah jadi venue Hari Nusantara sehingga kata Nusantara diabadikan sebagai nama anjungannya. 

Itu yang terbaru. Yang sudah tak terdengar lagi mungkin kisruh tentang sponsor rokok dan motor yang menghiasi tugu nol kilometer Kota Palu yang bentuknya pun tidak mencirikan identitas Kota Palu. Atau di dunia maya masih ada yang mempertanyakan apa makna patung kuda di Pantai Talise dan patung-patung lainnya di Kota Palu. 

Miris memang. Apalagi kenyataannya, tiap tahun, beberapa SKPD getol bekerjasama dengan akademisi untuk melakukan penelitian dan penulisan sejarah lokal. Namun, hasil penelitian tersebut tidak pernah sampai ke masyarakat. Ia tersimpan di lemari-lemari SKPD atau perpustakaan, dibiarkan berdebu, hingga rusak dimakan waktu. Kehadirannya sesekali di pameran-pameran atau expo juga tak diindahkan oleh masyarakat karena packagingnya tidak menarik. Maklumlah, penelitian itu hanya proyek. 

Kembali ke soal penamaan jalan. Yah isu ini sudah dibicarakan oleh wakil rakyat kita di tingkat kota. Ketua DPRD Kota Palu, Ikbal Andi Magga, beberapa waktu yang lalu mengusulkan perubahan nama-nama jalan di Kota Palu dari nama hewan menjadi nama tokoh sejarah. Usulan tersebut mendapat dukungan dari sejumlah pihak seperti Rektor IAIN Palu, Prof. Zainal Abidin dan tokoh adat, Timudin Daeng Mangera Bouwo. Yah...semoga usulan tersebut tidak hanya habis di usulan saja tetapi ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan dan langkah konkret. 

Potret sejumlah masalah kesejarahan yang melanda kita, masyarakat Kota Palu, sumber masalahnya hanya dua yaitu, ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Masyarakat kita mungkin saja tidak banyak yang tidak tahu tentang sejarah lokalnya. Komunitas Peduli Sejarah Kota Palu, pada saat melakukan aksi berupa pameran foto-foto situs sejarah yang terabaikan dan penandatanganan petisi solidaritas untuk pelestarian situs sejarah yang terabaikan, meminjam moment Festival Teluk Palu  banyak masyarakat yang baru tahu bahwa jalan-jalan utama yang mereka lintasi setiap hari, misalnya Rajamoili (Raja Maili) atau Yodjokodi adalah nama Magau (Raja) Palu yang makamnya kini dalam kondisi memprihatinkan. Edukasi tentang sejarah memang kabur dari pemahaman masyarakat kita, mungkin karena tak diajarkan di sekolah-sekolah. 

Ketidaktahuan adalah pangkal dari ketidakpedulian. Yah walaupun kadang ada yang tahu tapi tetap tidak peduli. Namun, sebagian masyarakat yang hadir dalam pameran dan menandatangani petisi tersebut, mengaku bahwa mereka bukannya tidak peduli tapi selama ini hidup dalam ketidaktahuan tentang sejarah lokalnya. Beda kasus dengan akademisi dan birokrat kita yang setiap tahun menjalin kerjasama dalam hal penenelitian dan penulisan sejarah, tetapi hasilnya cuma tersimpan di lemari dan rak, serta selesai di forum-forum diskusi yang sering dilakukan di hotel berbintang. Hasil-hasilnya jarang kita temukan berada di tangan masyarakat atau siswa untuk dibaca dan dipahami. 

Memang, persoalan sejarah, terutama sejarah lokal menjadi persoalan kesekian bagi pemerintah untuk ditangani. Dalam daftar antrian masalah yang harus dipecahkan oleh mereka, degradasi nilai sejarah mungkin ada diurutan terbelakang. Oleh karena itu mahfum saja apabila banyak mahasiswa asal Kota Palu yang bingung ketika ditanyakan apa arti kata “Tadulako” atau mengenai sejarah daerahnya, jika mereka berada dalam forum nasional ataupun internasional. Sejarah memang masih dianggap sepele oleh sebagian besar kalangan. Buat mereka, “sejarah adalah milik mereka yang berkuasa karena mereka mampu mengubah sejarah”. Sejarah tidak pernah diartikan semestinya, sebagaimana ungkapannya “belajarlah dari sejarah, jangan cuma belajar sejarah, karena sejarah adalah guru kehidupan”. 

Penamaan jalan mungkin adalah hal sederhana bagi sebagian kalangan. Nama apapun yah terserah saja tidak perlu ribut-ribut dan ribet-ribet mengurusinya. Toh masih banyak masalah lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang mendesak untuk diurusi. 

Sinisme terhadap sejarah memang tak pernah usai. Mahfum saja jika hingga kini provinsi kita tidak punya satupun pahlawan nasional. Mengurusi sejarahnya saja mereka enggan, apalagi mengurusi pengajuan pahlawan. Hanya sekedar menggati nama jalanpun rasanya susah. 

Apa yang ditampilkan oleh Iin Ainar Lawide dan kawan-kawan dalam “Maaf, Belum Ada Nama” adalah bukti kegelisahan sekelompok masyarakat Kota Palu yang resah melihat kotanya yang hari demi hari makin kehilangan identitas. Kegelisahan ini membawa mereka melakukan sebuah hal kecil yang bagi sebagian orang mungkin tidak ada artinya. 

Jika sejarah terus menerus dipandang dengan sinisme saja, atau jika sudah dianggap tak penting lagi, siap-siap saja memandangi pembangunan kota yang tanpa identitas. Kota ini akan dikenal di kemudian hari bukan lewat budayanya tapi lewat kemegahan gedung-gedung bertingkat, pusat-pusat perbelanjaan, kemegahan arsitektur, dan segala kemegahan lainnya. Sejarah dan identitasnya akan tenggelam, terkubur di dalam tanah, terlindas oleh peradaban.      

(Penulis adalah pemerhati sejarah lokal Kota Palu. Aktif menulis tentang sejarah lokal di www.jefriantogie.blogspot.com)

Post a Comment

0 Comments