Cermin Retak Dunia Pendidikan: Catatan Seremonial Peringatan HARDIKNAS di Kota Palu

Cermin Retak Dunia Pendidikan: Catatan Seremonial Peringatan HARDIKNAS di Kota Palu



Pemerintah Kota Palu lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menggelar serangkaian acara seremonial untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei. Berbagai kegiatan pun dilaksanakan mulai dari pawai kendaraan hias, lomba, parade drum band, pameran pendidikan, hingga upacara bendera. 

Semuanya disambut antusias oleh masyarakat kota palu. Semuanya larut dalam euforianya. Namun, ada beberapa kenyataan substansial yang luput dari nilai rasa kita, masyarakat Kota Palu. Salah satu yang paling nyata adalah mengenai pameran pendidikan yang digelar selama 4 hari, dari tanggal 29 April hingga 2 Mei yang dipusatkan di Lapangan Vatulemo, lapangan kebanggaan masyarakat Kota Palu.  

Berbagai hasil karya siswa dan berbagai torehan prestasi dari masing-masing sekolah dipamerkan dalam pameran ini. Ada sekitar 40 an sekolah yang turut meramaikan pameran tahunan ini. Saya sendiri senang dengan adanya pameran ini, untuk memperlihatkan kepada masyarakat sudah sejauh mana pencapaian dari masing-masing sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikannya. 

Namun, tampaknya saya harus memendam kekecewaan terhadap pameran pendidikan kali ini. Stand yang ada memang didesain untuk mampu menarik setiap orang untuk mengunjunginya. Dari seorang kawan yang juga pengelola salah satu stand, saya mengetahui bahwa untuk menyiapkan stand miliknya, pihak sekolah sampai mengeluarkan uang jutaan rupiah yang diambil dari dana operasional sekolah. Bayangkan saja, jika dana itu digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan sekolah, atau bantuan terhadap siswa kurang mampu, mungkin akan lebih bermanfaat. 


Tapi... yah itulah dampak dari persaingan. Masing-masing sekolah berlomba mempercantik stand dengan berbagai pernak pernik, piala, medali, dan piagam yang berhasil ditorehkan. Tak lupa pula foto-foto prestasi siswa, guru, hingga kepala sekolahnya. Masing-masing stand bersaing untuk jadi stand terbaik di antara yang lainnya. Ganjarannya adalah predikat favorit dan unggulan yang pastinya akan mendongkrak drastis jumlah siswa baru yang akan mendaftar.

Yah... sekolah kini tak ubahnya industri. Persaingan adalah sesuatu yang dianggap biasa, dan lumrah. Jika menganalogikannya dengan klub sepakbola yang ada di liga-liga top eropa, sekolah-sekolah dengan predikat favorit bin unggulan ini tak ubahnya klub-klub elit eropa seperti Real Madrid, Barcelona, Bayern Muenchen, Paris Saint Germain, Manchester City, Chelsea, dll, yang rela menghamburkan uang berapapun jumlahnya demi iming-iming gelimangan prestasi dan gengsi sebagai klub besar. Bandingkan dengan klub-klub medioker macam Malaga, Bilbao, Southampton, Palermo, Genoa, dan lain-lain, yang untuk membeli satu pemain bintang saja harus menghitung kas klub dengan sangat hati-hati. Akibatnya, yah sudah dapat ditebak, klub besar dengan gelimangan materi nyaman di posisi puncak, sedangkan klub-klub medioker harus susah payah berjuang hanya untuk dapat bertahan dalam persaingan. 

Gejala yang sama juga menjadi potret sekolah yang ada saat ini. Sekolah-sekolah favorit bin unggulan, dengan dukungan finansial yang aduhai, dapat dengan mudah mencetak prestasi demi prestasi dan mempublikasikannya. Bandingkan dengan sekolah-sekolah non favorit yang hidup dari belas kasih pemerintah. Bisa menggelar ujian secara mandiri saja sudah merupakan suatu kesyukuran. 

Saya teringat perkataan salah seorang dosen di kampus tempat saya menimba pengalaman, yang menyatakan bahwa sekolah favorit bin unggulan itu tidak bagus. Mendengar pernyataan tersebut, saya lantas bertanya apa alasan beliau menyatakan seperti itu. Dalam benak saya, sekolah favorit itu adalah sekolah yang prestise dan selalu dibanjiri pendaftar setiap kali penerimaan siswa baru. Label favorit tersebut tentu saja diiringi dengan kualitas yang mumpuni, fasilitas yang memadai, dan sistem yang terkelola dengan baik. Semua itu jelas merupakan impian setiap siswa baru.  

Istilah “sekolah favorit bin unggulan” nampaknya dapat menjadi bahan diskusi yang menarik untuk  diperbincangkan. Istilah tersebut mencitrakan sesuatu yang hebat, elegan, mewah, dan sempurna. Kesuksesan dan prestasi gemilang menjadi jaminan mutu dan seolah melekat dalam status favorit yang disandang suatu sekolah.

Di sela-sela penggambaran saya tentang status favorit yang disandang sebuah sekolah, dosen tersebut kemudian melanjutkan.

“...wajar kalau sekolah favorit itu dianggap bagus, karena siswa yang mendaftar disaring sedemikian rupa sehingga yang terkumpul adalah siswa-siswa dengan indeks prestasi yang tinggi. Guru pun tidak perlu lagi susah payah mendidik karena mereka juga dibekali dengan berbagai macam les. Ibarat bengkel, para guru hanya kebagian tugas mengecat saja”.  

Saya pun berkata bahwa hal itu bagus untuk pengembangan mutu pendidikan di Sulawesi Tengah. Guru-guru jadi tidak perlu bersusah payah dan berpeluh keringat mengajar siswa karena mereka sudah diberi les tambahan. Bagi saya itu adalah hal yang baik.

Mendengar pernyataan saya, dosen tersebut melanjutkan penjelasannya. 

“...coba kamu bandingkan dengan sekolah-sekolah non favorit, yang komposisi siswanya lebih beragam indeks prestasinya, bahkan ada yang indeks prestasinya biasa-biasa saja (rata-rata air). Guru-gurunya lebih bekerja keras untuk mengubah pola pikir siswanya. Ibarat bengkel, mereka mengerjakan mulai dari mengelas, duco, cat, hingga finishingnya. Di sekolah favorit, tidak sulit mengubah orang jadi pintar karena siswa yang masuk semuanya pilihan dan diberi les tetapi di sekolah biasa, ada proses untuk mengubah dari yang bodoh dan biasa-biasa saja menjadi pintar. Itu nilai plus sekolah biasa yang jarang dilihat orang”.

Mendengar pernyataan tersebut saya terdiam. Kadang memang kita selalu terjebak dalam menilai reputasi sekolah. Semua itu terjadi karena ukuran keberhasilan hanya bersifat populer di mata masyarakat, misalnya persentase kelulusan murid dalam Ujian Nasional, peringkat akreditasi sekolah, jumlah calon murid baru yang mendaftar, keberhasilan para murid dalam olimpiade matematika dan sains, jumlah piala yang dipajang di sekolah, dan fasilitas yang super fantastis.

Sedangkan pencapaian hasil berbobot edukasi masih jarang dievaluasi, seperti berapa banyak murid yang awalnya malas belajar berubah jadi rajin belajar, berapa banyak murid yang mengalami perubahan perilaku menjadi lebih baik, berapa banyak murid yang mampu berpikir kritis dan kreatif, serta berapa banyak murid yang memiliki kecakapan memecahkan masalah yang bermanfaat dalam kehidupan keseharian mereka. Tragisnya, kata ‘favorit dan unggulan’ masih cukup ampuh mengecoh sebagian besar masyarakat yang hendak mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah. 

Predikat favorit dan unggulan tersebut lebih banyak didukung oleh strategi dan hasil pencapaian sekolah dalam membangun reputasinya. Ada sekolah yang tampak baik dan punya pencapaian keberhasilan. Tapi jika ditelaah lebih jauh, sekolah seperti ini masih mengabaikan pentingnya kesadaran dan pemahaman atas strategi dan rencana tindakan penentu hasil yang efektif. 

Sekolah banyak diuntungkan karena memperoleh input siswa yang sangat berkualitas dengan orangtua berstatus sosial ekonomi menengah ke atas. Tanpa strategi atau tindakan tertentu yang dirancang secara sengaja, sekolah sudah tampak berhasil dengan raihan prestasi yang ditorehkan murid dalam berbagai bidang.

Sebagai contoh, sekolah bisa berbangga karena cukup banyak muridnya yang berbahasa Inggris. Inti persoalannya, apakah murid mahir berbahasa Inggris karena hasil proses pembelajaran bahasa yang dirancang sekolah atau faktor les di luar sekolah? Sekolah boleh tercatat sebagai sekolah dengan tingkat kelulusan 100 persen pada Ujian Nasional. Lantas, apakah capaian itu merupakan hasil proses pembelajaran yang berkualitas? Ataukah karena sebagian besar para muridnya dipersiapkan lembaga bimbingan belajar di luar sekolah? 

Inilah sekolah yang diuntungkan karena label favorit dan unggulan serta mayoritas siswanya yang memiliki indeks prestasi yang tinggi sehingga tingkat pencapaian keberhasilannya juga tinggi. Bandingkan dengan sekolah yang masuk kategori biasa-biasa saja yang mengalami tingkat pencapaian keberhasilan yang rendah. Kegagalan meraih prestasi turut disumbangkan oleh sikap menyalahkan aspek eksternal sekolah, tampak lebih akrab dijumpai di sekolah yang sejenis ini. 

Mereka lebih fokus mengeluhkan masalah-masalah seperti kualitas murid-murid barunya yang semakin rendah, jumlah murid semakin berkurang, sulitnya merekrut guru berkualitas, sarana dan prasarana sekolah serba terbatas, banyak muridnya yang bermasalah dalam perilaku, dan masalah-masalah lainnya dari pada menata manajemen sekolah yang tanggap mengatasi persoalan yang tengah terjadi.

Persaingan berimbas pada peningkatan mutu namun berimbas juga pada peningkatan biaya. Sekolah-sekolah favorit kini tinggallah impian bagi mereka yang kategori ekonominya menengah ke bawah. Biaya sekolah yang semakin hari semakin mahal jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ki Hadjar Dewantara pun menjelaskan bahwa pendidikan Indonesia haruslah pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan harus membimbing anak-anak agar menjadi orang-orang yang sungguh merdeka lahir dan batin. Namun, bagaimana pendidikannya dapat memerdekakan jika sistemnya masih menjajah mereka yang lemah? Model dan sistem pendidikan yang seperti ini tidak akan dapat memaksimalkan tujuan hakiki pendidikan yaitu memanusiakan manusia.

Yah mungkin sudah saatnya peringatan Hari Pendidikan Nasional tidak lagi didominasi dengan kegiatan-kegiatan seremonial minim manfaat bagi pelaku pendidikan. Bayangkan saja, yang paling menikmati gelaran seremonial Hardiknas yah para pedagang kaki lima dan tukang parkir yang bertebaran di kawasan Lapangan Vatulemo. Pendapatan mereka dalam sehari yang biasanya hanya berkisar ratusan ribu, bisa meningkat hingga dua kali lipat.

Pemerintah harusnya lebih memperhatikan kualitas keluaran dan tenaga pengajar dari sekolah di momen Hardiknas ini ketimbang larut dalam euforia seremomial saja. Dewasa ini, kualitas keluaran sistem pendidikan di Indonesia makin dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa orientasi kerja sebagian besar keluaran sistem pendidikan tersebut adalah menjadi abdi negara (baca: Pegawai Negeri Sipil). Setiap penerimaan CPNS dibuka, begitu banyak lulusan universitas atau SMA yang mengadu nasib di “lotere” tersebut. Fenomena tersebut menjadi indikasi bahwa menjadi PNS merupakan tujuan utama para lulusan universitas dan SMA di Indonesia. Hanya segelintir yang memutuskan untuk mengais rezeki di bidang lain selain PNS. 

Kenyataan tersebut hanyalah salah satu dari beragam permasalahan yang menggelayut dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyaknya keluaran sistem pendidikan di Indonesia yang menggantungkan harapan pada penerimaan CPNS merupakan bukti bahwa kualitas SDM yang dihasilkan masih cukup rendah. Timbul pertanyaan kemudian mengenai proses mencetak keluaran tersebut. Pertanyaan tersebut tentu harus dijawab oleh institusi pendidikan selaku garda terdepan dalam sistem pendidikan di Indonesia. 

Pertanyaan yang pasti muncul adalah bagaimana kualitas tenaga pengajarnya? Apakah tenaga pengajar yang hanya mengandalkan secarik kertas bernama sertifikasi, tenaga pengajar copy paste, atau tenaga pengajar kekurangan jam mengajar? Salah satu indikator yang nyata adalah tenaga pengajar tidak segan-segan menginstruksikan kepada si peserta didik untuk mencari materi pembelajaran lewat internet ketimbang mencari di buku. Dampaknya pun terlihat jelas dengan rendahnya minta baca dan lengangnya aktivitas edukatif di perpustakaan. Ibarat kata, dari seribu orang, hanya satu orang yang terinfeksi virus baca tersebut. Kebutuhan akan referensi juga menjadi semakin sulit dengan tidak adanya toko buku yang memadai. Jadi, jangan heran jika praktik copy-paste dan plagiat masih menjadi “andalan” untuk mengerjakan tugas. 

Kualitas pendidikan menentukan mental si pengenyam pendidikan. Jika kualitas pendidikannya rendah, maka jangan berharap mental keluarannya akan baik. Parahnya, hal ini seakan dipelihara bahkan dibiarkan membudaya di lingkungan institusi pendidikan. Praktik copy-paste, dan plagiarisme sudah sedemikian terstruktur, sistematis, dan masif sehingga jaringannya ibarat jaringan sindikat mafia yang memiliki impunitas dan seakan tak tersentuh.  

Jangan heran kalau tingkat kompetensi guru kita lebih rendah dari rata-rata nasional. Berdasarkan data LPMP, nilai rata-rata Ujian Kompetensi Guru (UKG) Sulawesi Tengah tahun 2013 hanya berkisar di 40.06, lebih rendah dari nilai rata-rata UKG nasional yang mencapai 47.84. Fakta ini sudah merupakan bukti bahwa ada yang salah dengan pengelolaan pendidikan kita saat ini. Ini adalah bukti bahwa jika kita hanya larut dengan persaingan, dan seremoni, peningkatan dan perbaikan kualitas tidak akan tercapai. Sudah saatnya pemerintah memperhatikan pemerataan status sekolah tanpa memandang apakah ia favorit atau bukan. Jangan menjadikan sekolah-sekolah medioker sebagai “anak tiri”. Kualitas sekolah yang merata akan berdampak baik pada meratanya kualitas pendidikan. 

Kompetensi guru juga perlu diperhatikan. Guru bukan hanya pengajar yang text book dan mendominasi. Guru adalah sosok pendidik yang menjadi orang tua siswa di sekolah. Guru adalah penentu berkualitas atau tidaknya keluaran dari masing-masing sekolah. Dari tangan-tangan mereka, nasib generasi penerus bangsa dipertaruhkan.      

Momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 2 Mei diharapkan menjadi titik balik bagi dunia pendidikan Indonesia menuju arah yang lebih baik. Wajah sistem pendidikan Indonesia yang bopeng ini adalah cambuk bagi semua pihak untuk turut andil dalam membangun kembali karakter pendidikan Indonesia yang santun, beretos kerja keras, jujur, dan kreatif. Seperti kata Gus Dur bahwa menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya, belajar, dan bekerjalah yang membuat kita berharga.

Post a Comment

0 Comments