PKI,
Komunis, dan Kiri adalah tiga kata hantu bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Mereka yang pernah merasakan hidup di zaman Orde Baru pasti awam dengan kata
itu. Bahaya laten, pengkhianat, dan kudeta pasti jadi kata selanjutnya.
Tiga
kata hantu tersebut bergentayangan menghantui pikiran. Ia hadir lewat buku,
koran, radio, televisi, sekolah, bahkan negara. Jiwanya meresap ke dalam kulit,
daging, otot, tulang, sendi, darah, hingga ke sel terkecil di dalam tubuh.
Istilah
adalah sebuah penanda yang menarik untuk melihat fenomena ini. Lebih menarik
lagi bila ia telah mengalami pergeseran makna. PKI, Komunis dan Kiri awalnya
dikenal sebagai partai politik, ideologi, dan kecenderungan politik. Makna
tersebut kemudian bergeser menjadi cara untuk menyebut sesuatu yang dianggap
berbahaya, jahat, merusak, terkutuk, kejam dan tidak bermoral.
“Dasar PKI!”, “Bahaya Laten Komunis”, “Orang
Kiri”, dan berbagai istilah lainnya sering kita dengar dan lihat. Sadar atau
tidak, istilah dapat menjadi penanda akan ingatan masa lalu kita. Ia menjadi
pintu masuk ke dalam lorong waktu yang bernama sejarah. Ia kadang menjadi bukti
bahwa kita belum mampu untuk berdamai dengan masa lalu.
Ingatan
seringkali membentuk pandangan kita terhadap sebuah peristiwa. Pandangan
tersebut bisa jadi hitam, putih, bahkan abu-abu. Kacamata apa yang kita pakai
menentukan warna pandangan kita.
Untuk
memandang peristiwa 65, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggunakan
kacamata hitam dan putih. Benar dan salah menjadi perdebatan yang hingga kini tak
kunjung usai. Berbagai tafsir baru dibuat dan berjejer rapi di toko-toko buku
dan perpustakaan.
Tafsir-tafsir
baru yang dikira ampuh dan mustajab ini toh ternyata bukan jawaban.
Istilah-istilah itu masih jadi hantu sampai saat ini. Bukan hanya di Medan,
Jombang, dan Bali yang jadi arena para jagal. Palu yang jauh dari hingar-bingar
para jagal juga ambil bagian.
HAM,
Kata Maaf, dan Bantuan, mungkin telah jadi Asam
Mefenamat bagi korban 65 di Palu. Namun, si pereda rasa sakit itu hanya
menjeda sakit. Luka menganga itu belum juga kering. Luka menganga tersebut semakin
perih. Ia terus digarami, diasami, dan dikoyak lagi oleh tebalnya tabir gelap
dalam sejarah bangsa ini.
Sesuatu
yang dianggap berbahaya, jahat, merusak, terkutuk, kejam dan tidak bermoral,
masih diidentikkan dengan tiga kata hantu di atas. “Dasar PKI”, “Eva PKI[1]”, “PKI bayangi[2]”
masih jadi umpatan kala emosi. Lalu, apakah luka itu hanya cukup dengan asam mefenamat?
Nampaknya
tiga kata hantu itu masih berkeliaran di dalam kepala. Ia merambat bersama
cahaya, mengalir bersama air, dan menguap dalam udara. Hadirnya membuat bulu
kuduk merinding, membuat sebagian orang jadi gelagapan.
Ia
mestinya diusir dengan atau tanpa sesajen. Ia dikembalikan ke tempat tinggalnya
yaitu kuburan. Namun adakah yang tahu letak kuburannya?
Ada
kok yang tahu letak kuburannya. Mereka menyebutnya dengan sebutan “Dayo nu
PKI”. Kuburannya tak bernisan seperti kuburan pada umumnya. Ia hanya gundukan
tanah dengan batu di kedua ujungnya.
Kuburan
ini berada di Karumba, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala. Semula tak ada
yang tahu siapa gerangan yang berada di dalamnya. Ah... nampaknya memang mereka
tak mau cari soal dengannya. Kuburan itu dikenal sebagai kuburan keramat.
Kemudian
datanglah kabar dari para penyintas. Asman Yodjodolo (72) mengatakan bahwa si
pemilik kuburan bernama S. Baka. Ia orang Kulawi yang dituduh sebagai anggota PKI.
Ia kemudian ditangkap, dipenjara dan dipekerja paksakan di jalan Palu-Parigi.
Kerja
berat, makan jarang, dan istirahat kurang, akhirnya perlahan-lahan membunuh S.
Baka. Ia orang malang, korban takdir yang kejam. Itu bukan maunya. Itu kemauan
Bapak Jenderal yang suka tersenyum.
S.
Baka lebih beruntung nampaknya. Yah...walaupun kata beruntung tak pantas
untuknya. Empat kawannya lebih naas nasibnya.
Jika
pusara S. Baka diketahui letaknya, lain hal dengan empat kawannya. Mereka
mungkin berpusara, mungkin tidak. Kalau pun berpusara, tak ada yang tahu di
mana letaknya.
Nama
empat kawannya adalah Abd. Rahman Dg. Maselo, S. Chaeri Ruswanto, Sunaryo, dan
Zamrud. Nasib mereka berakhir di tangan sang jagal. Tiga kata hantu jadi
penyebabnya.
Hampir
setengah abad khalayak tak tahu keberadaan mereka. Desas-desus yang beredar tak
jadi jalan keluar. Keluarga hanya bisa menanti penuh harap.
Maryam,
Istri Abd. Rahman Dg. Maselo hanya bisa pasrah. Ia hanya bisa mengirim doa.
Sedih hatinya jika melihat orang menziarahi kubur keluarganya di kala puasa.
Hanya potret wajah sang suami yang ia punya.
Ida
Nusiplo’o lain lagi. Istri S. Chaeri Ruswanto ini akhirnya menikah lagi. Ia tak
punya pilihan. Ketiga anaknya butuh perlindungan. Rahim Marhab jadi pilihan
kedua dalam hidupnya.
Sunaryo
malah lebih miris. Subagyono, sang adik ditahan oleh tentara. Setelah bebas, ia
pulang ke Jawa. Tak ada yang tersisa.
Zamrud
adalah penutup prahara. Ia dijemput paling terakhir saat kerja paksa di Sungai
Palu. Semua kawan menunggunya, namun ia tak kunjung kembali.
1965
adalah sebuah kunci. Kunci yang dipakai untuk membuka pintu gerbang prahara. Pintu
gerbang yang menuju ke dalam ruang gelap penuh jeritan. Jeritan kematian,
jeritan siksaan, dan jeritan kehilangan.
Mereka
yang berkalang tanah bukan akhir dari cerita. Episode penuh derita terus
berlanjut. Tahun 2014, SKP-HAM merilis 352 nama di Kota Palu yang jadi korban. Mereka
ada yang ditangkap, disiksa, dan sebagian besar ditahan.
352
nama kemudian dilabeli dengan tiga kata hantu. Label yang sampai hari ini
melekat bahkan hingga ke sumsum tulang mereka. Label yang tidak dipahami
maknanya oleh sebagian besar dari mereka.
Wajib
lapor jadi rutinitas baru para tapol. Kantor Koramil jadi ramai karenanya.
Jarak puluhan bahkan ratusan kilometer tak jadi soal. Mereka tak mau tambah
masalah
Lain
wajib lapor, lain pula kerja paksa. 17 titik di Kota Palu jadi borongan. Tapol
beralih fungsi jadi tukang bangunan. Tenaga dikuras, makan tak layak, upah tak
ada.
17
titik kerja paksa kini masih kokoh walau telah dimakan usia. Ia jadi tanda bahwa
Kota Palu pernah ambil bagian dalam prahara. Kantor Korem 132 Tadulako, Jalan
Basuki Rahmat, Bendungan Sungai Palu, Menara TVRI dan Pelabuhan Pantoloan
adalah beberapa bukti kerja mereka. Namun, banyak yang tak tahu ceritanya.
Kini
mereka tlah berani bersuara. Tak ada ketakutan terpancar dari diri mereka.
Sudah terlalu banyak derita yang
tersimpan. Saatnya khalayak untuk mendengar kebenaran.
Dua
buku telah lahir dari cerita mereka. Memecah Pembisuan dan Sulawesi Bersaksi
namanya. Mereka yang tegar bertutur mengurai luka sembari berharap sejarah akan
berubah.
Tafsir
sejarah akan berubah kalau ingatan masyarakat tentang prahara pun berubah. PKI,
Komunis, dan Kiri bukan Aqua, Rinso, dan Softex. Ia punya makna sendiri yang
tidak segegabah itu dikonotasikan dengan sesuatu yang jahat, kejam, tak
bermoral dan berbahaya.
Waktu
mungkin takkan bisa lagi terulang. Namun peristiwa yang sama tak boleh
berulang. Naganamo! Cukup Mereka! Jangan Anak Cucu Mereka!
0 Comments