Pertahankan Budaya Lokal Lewat Alat Musik Tradisional

Pertahankan Budaya Lokal Lewat Alat Musik Tradisional



Komunitas Seni Kumbili (KSK) adalah salah satu komunitas pengrajin alat musik tradisional yang masih bertahan di Kota Palu. Lewat kerajinan alat musik tradisional, komunitas yang berasal dari Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Palu Utara ini berjuang mempertahankan identitas budaya lokal.

Lohis, Ketua KSK, yang juga salah satu pengrajin alat musik tradisional, kepada Mercusuar, Minggu (26/4/2015), menuturkan bahwa komunitas tersebut berdiri sejak tahun 2001, dan sering ikut pentas-pentas seni. KSK baru aktif sebagai kelompok pengrajin alat musik tradisional setahun belakangan. 


“Awalnya kami hanya berkeinginan mencoba. Kami berpikir, jika orang lain bisa, maka kami juga bisa” ujar Lohis. 

KSK kini memiliki 10 orang anggota. Mereka sebagian besar telah berumah tangga  dan menggantungkan hidup dengan bekerja di perusahaan pengolah hasil hutan seperti rotan dan kayu. 

“Aktivitas sebagai pengrajin alat musik tradisional hanya dijadikan sebagai usaha sampingan saja” lanjut Lohis.

Komunitas pengrajin alat musik tradisional ini biasa memproduksi alat musik seperti kakula, gong, gamba, dan gimba. Mereka biasanya memproduksi sesuai pesanan. Harga satu set alat musik tradisional yang diproduksi oleh KSK pun bervariasi tergantung jenisnya.

“Satu set kakula ini biasanya dijual dengan harga Rp.8.000.000” ujar Lohis seraya menunjuk kepada satu set kakula yang baru saja selesai dibuat.

Alat musik tradisional produksi KSK biasanya dipasarkan ke komunitas-komunitas seni yang ada di Kota Palu dan sekitarnya. Mereka kini juga tengah mengerjakan pesanan 12 buah gimba yang kabarnya akan digunakan pada gelaran Sail Tomini nanti. 

Kehadiran KSK sebagai salah satu kelompok pengrajin alat musik tradisional pun menuai respon positif dari pemerintah. Beberapa waktu lalu, Lurah Kayumalue Pajeko, Roy Topan Sandjaya bahkan mencanangkan pusat kegiatan KSK di RW 02 sebagai kawasan wisata seni dan budaya.

KSK juga mendapatkan bantuan dari Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) untuk membangun pondok sebagai tempat berproduksi. Bantuan ini dirasakan Lohis sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap budaya lokal. 

Kini, Lohis membuka diri bagi generasi muda di Kayumalue Pajeko yang tertarik belajar membuat dan memainkan alat musik tradisional. Dari situ, ia berharap kekayaan budaya lokal ini dapat terus diwariskan kepada generasi berikutnya. 

“Intinya, lewat alat musik tardisional ini, kami hanya ingin mempertahankan budaya lokal agar tidak punah tergerus jaman” tutupnya.

Post a Comment

1 Comments