Gedung Bekas Sekolah Cina: Bukti Eksistensi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Kota Palu

Gedung Bekas Sekolah Cina: Bukti Eksistensi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Kota Palu



Siang itu cuaca di Kota Palu cukup terik. Libur Tahun Baru Imlek yang jatuh hari ini membuat lalu lintas menjadi agak lengang. Saya memacu sepeda motor menuju kawasan Lorong Bakti yang terletak di Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat. 

Suasana di Lorong Bakti siang itu terlihat sepi. Lorong yang menghubungkan Jalan Sungai Malei dan Jalan Gajah Mada ini sebagian besar dihuni oleh masyarakat keturunan Tionghoa. Tidak ada yang spesial siang itu. aktifitas berjalan seperti biasanya. 


Perjalanan saya terhenti di sebuah lorong kecil di dalam lorong tersebut. Di depan saya ada sebuah bangunan tua bertingkat yang masih kokoh berdiri walau telah kusam dimakan usia. Lantai atas bangunan tua tersebut terbuat dari kayu. 

Saya pun memarkir motor di depan bangunan tersebut dan turun untuk menyapa dan bertanya kepada beberapa orang yang terlihat duduk bercengkerama di depan bangunan tersebut. Dari penuturan mereka, terungkap bahwa bangunan itu dulunya adalah sebuah Sekolah Cina yang kini telah jadi kontrakan. 

Karena tidak mengetahui lebih jauh tentang sejarah sekolah cina tersebut, salah seorang dari mereka pun memanggil seorang lelaki paruh baya yang tinggal di lantai atas bangunan tersebut. Menurut mereka, lelaki tersebut lebih tahu mengenai sejarah sekolah cina tersebut karena ia pernah mengikuti ujian pelulusan di sekolah tersebut.

Tak berapa lama, lelaki paruh baya tersebut pun keluar dari rumahnya dan menuruni tangga. Senyum hangat dan jabat salam mewarnai pertemuan kami. Lelaki paruh baya tersebut bernama Zainal.

Zainal kemudian bercerita tentang sekolah cina tersebut. hal yang masih diingatnya adalah ketika ia mengikuti ujian pelulusan SMP di sekolah tersebut pada tahun 1966. 

“Tahun 1966 saya ikut ujian di sekolah ini. Saya waktu itu dari SMP 1 disuruh ujian di sini” ujar Zainal.

Zainal mengungkapkan bahwa saat itu, ada ratusan siswa keturunan tionghoa yang sekolah di sekolah tersebut. mereka adalah anak-anak dari para pemilik toko yang berada di kawasan sekitar jalan Gajah Mada. Jalan Gajah Mada sendiri sejak dulu dikenal sebagai kawasan pemukiman masyarakat keturunan tionghoa. 

Zainal mengungkapkan bahwa bangunan sekolah ini cukup kokoh. Lantai atasnya dibuat dari kayu ulin. Walaupun sudah terlihat kusam, namun bangunan ini masih mampu berdiri kokoh. 

Asnani, salah satu warga yang juga telah lama bermukim di bangunan tersebut menurutkan bahwa bangunan sekolah tersebut sudah ada sejak tahun 1950an, bahkan mungkin lebih tua. Hal yang menjadi penandanya adalah ketika Permesta datang ke Palu pada tahun 1958, bangunan sekolah tersebut ditempati oleh tentara.

Lebih lanjut Asnani menuturkan bahwa para siswa yang sekolah di sekolah cina tersebut kini sebagian besar telah menjadi pengusaha atau pemilik toko.
“Semuanya sudah jadi orang sekarang. Sebut saja yang punya Toko Aneka Jaya, Toko Bakti, UD. Madju, dan Apotik Sulinda. Mereka itu dulunya sekolah di sini. Bahkan yang dari Apotik Sulinda itu dulu pernah datang kesini bawa foto masa sekolahnya dulu” kenang Asnani.  

Pada tahun 1974, Sekolah Cina tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Danau Poso berdasarkan PP No 10 dan kemudian menjadi Sekolah Katolik atau yang biasa disebut masyarakat dengan sekolah RK. 

Menurut penuturan Asnani, bangunan bekas Sekolah Cina tersebut kemudian digunakan oleh IKIP Ujung Pandang cabang Palu sebagai gedung perkuliahan. Penyerahan dilakukan langsung oleh Abdul Aziz Lamadjido yang saat itu menjabat sebagai Bupati Donggala kepada IKIP Ujung Pandang cabang Palu. Pemfungsian bangunan tersebut sebagai ruang perkuliahan berlangsung dari tahun 1974 hingga 1980. 

Pada tahun 1980, aktivitas perkuliahan dipindahkan ke kampus Bumi Bahari. Bangunan tersebut pun ditempati oleh para dosen dan pegawai sebagai tempat tinggal. Sebagian ruangan juga digunakan oleh pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Donggala sebagai tempat tinggal. 

Kini, gedung bekas sekolah cina tersebut telah sebagian telah menjadi kontrakan dan sebagian lagi dihuni oleh mantan pegawai IKIP Ujung Pandang Cabang Palu yang beralih menjadi Universitas Tadulako. 

Asnani dan suaminya Sudirman, yang dulu merupakan pegawai UNTAD mengaku tinggal di bangunan tersebut untuk melaksanakan pesan dari UNTAD untuk menjaga bangunan tersebut. Tinggal mereka yang bertahan di bangunan tersebut. 

“Keinginan pindah ada, tapi kami berpegang pada pesan tersebut. itu amanah yang harus dijalankan” ujar Asnani. 

Gedung bekas sekolah cina tersebut merupakan bukti eksistensi masyarakat keturunan tionghoa di Kota Palu. Gedung sekolah yang berusia puluhan tahun tersebut penuh dengan cerita bersejarah. Sudah sewajarnya jika pemerintah meliriknya sebagai salah satu kekayaan sejarah Kota Palu.

Post a Comment

0 Comments