”.....sekolah favorit itu sekolah yang tidak bagus”
Pernyataan ini terlontar dari
salah seorang dosen panutan saya, ketika kami sedang asyik berdiskusi tentang
penerimaan siswa baru sekitar 1 bulan yang lalu di sebuah kantin di halaman
ruang kuliah.
Mendengar pernyataan tersebut, saya lantas bertanya apa alasan beliau menyatakan seperti itu. Dalam benak saya, sekolah favorit itu adalah sekolah yang prestise dan selalu dibanjiri pendaftar setiap kali penerimaan siswa baru. Label favorit tersebut tentu saja diiringi dengan kualitas yang mumpuni, fasilitas yang memadai dan sistem yang terkelola dengan baik. Semua itu jelas merupakan impian setiap siswa baru.
Mendengar pernyataan tersebut, saya lantas bertanya apa alasan beliau menyatakan seperti itu. Dalam benak saya, sekolah favorit itu adalah sekolah yang prestise dan selalu dibanjiri pendaftar setiap kali penerimaan siswa baru. Label favorit tersebut tentu saja diiringi dengan kualitas yang mumpuni, fasilitas yang memadai dan sistem yang terkelola dengan baik. Semua itu jelas merupakan impian setiap siswa baru.
Tahun ajaran baru akan segera
tiba. Para orang tua sudah mulai berburu sekolah terbaik untuk anaknya. Ada
bermacam-macam pilihan sekolah yang ditawarkan dengan masing-masing keunggulan.
Namun, sekolah-sekolah yang menyandang status sebagai sekolah favorit tampaknya
masih menjadi pilihan utama.
Istilah “sekolah favorit”
namapaknya dapat menjadi bahan diskusi yang menarik untuk diperbincangkan. Istilah
tersebut mencitrakan sesuatu yang hebat, elegan, mewah, dan sempurna.
Kesuksesan dan prestasi gemilang menjadi jaminan mutu dan seolah melekat dalam
status favorit yang disandang suatu sekolah. Menarik untuk menelisik lebih jauh
apa makna di balik kata sekolah favorit.
Di sela-sela penggambaran saya
tentang status favorit yang disandang sebuah sekolah, dosen tersebut kemudian
menyeletuk.
“.......wajar kalau sekolah favorit itu dianggap bagus, karena siswa yang
mendaftar disaring sedemikian rupa sehingga yang terkumpul adalah siswa-siswa
dengan indeks prestasi yang tinggi. Guru pun tidak perlu lagi susah payah
mendidik karena mereka juga dibekali dengan berbagai macam les. Ibarat bengkel,
para guru hanya kebagian tugas mengecat saja”.
Saya pun berkata bahwa hal itu
bagus untuk pengembangan mutu pendidikan di Sulawesi Tengah. Guru-guru jadi
tidak perlu bersusah payah dan berpeluh keringat mengajar siswa karena mereka
sudah diberi les tambahan. Bagi saya itu adalah hal yang baik.
Mendengar pernyataan saya, dosen
tersebut melanjutkan penjelasannya.
“.......coba kamu bandingkan dengan sekolah-sekolah non favorit, yang
komposisi siswanya lebih beragam indeks prestasinya, bahkan ada yang indeks
prestasinya biasa-biasa saja (rata-rata air). Guru-gurunya lebih bekerja keras
untuk merubah pola pikir siswanya. Ibarat bengkel, mereka mengerjakan mulai
dari mengelas, duco, cat, hingga finishingnya. Di sekolah favorit, tidak sulit
merubah orang jadi pintar karena siswa yang masuk semuanya pilihan dan diberi
les tetapi di sekolah biasa, ada proses untuk merubah dari yang bodoh dan
biasa-biasa saja menjadi pintar. Itu nilai plus sekolah biasa yang jarang
dilihat orang”.
Mendengar pernyataan tersebut
saya terdiam. Kadang memang kita selalu terjebak dalam menilai reputasi
sekolah. Semua itu terjadi karena ukuran keberhasilan hanya bersifat populer di
mata masyarakat, misalnya persentase kelulusan murid dalam Ujian Nasional,
peringkat akreditasi sekolah, jumlah calon murid baru yang mendaftar,
keberhasilan para murid dalam olimpiade matematika dan sains, jumlah piala yang
dipajang di sekolah, dan fasilitas yang super fantastis.
Sedangkan pencapaian hasil
berbobot edukasi masih jarang dievaluasi, seperti berapa banyak murid yang
awalnya malas belajar berubah jadi rajin belajar, berapa banyak murid yang
mengalami perubahan perilaku menjadi lebih baik, berapa banyak murid yang mampu
berpikir kritis dan kreatif, serta berapa banyak murid yang memiliki kecakapan
memecahkan masalah yang bermanfaat dalam kehidupan keseharian mereka. Tragisnya,
kata ‘favorit’ masih cukup ampuh mengecoh sebagian besar masyarakat yang hendak
mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah.
Predikat favorit tersebut lebih
banyak didukung oleh strategi dan hasil pencapaian sekolah dalam membangun
reputasinya. Ada sekolah yang tampak baik dan punya pencapaian keberhasilan.
Tapi jika ditelaah lebih jauh, sekolah seperti ini masih mengabaikan pentingnya
kesadaran dan pemahaman atas strategi dan rencana tindakan penentu hasil yang
efektif.
Sekolah banyak diuntungkan
karena memeroleh input siswa yang sangat berkualitas dengan orangtua berstatus
sosial ekonomi menengah-atas. Tanpa strategi atau tindakan tertentu yang
dirancang secara ‘sengaja’, sekolah sudah tampak berhasil dengan raihan
prestasi yang ditorehkan murid dalam berbagai bidang.
Sebagai contoh, sekolah bisa berbangga karena cukup banyak muridnya yang berbahasa Inggris. Inti persoalannya, apakah murid mahir berbahasa Inggris karena hasil proses pembelajaran bahasa yang dirancang sekolah atau faktor les di luar sekolah? Sekolah boleh tercatat sebagai sekolah dengan tingkat kelulusan 100% pada Ujian Nasional. Lantas, apakah capaian itu merupakan hasil proses pembelajaran yang berkualitas? Ataukah karena sebagian besar para muridnya dipersiapkan lembaga bimbingan belajar di luar sekolah?
Sebagai contoh, sekolah bisa berbangga karena cukup banyak muridnya yang berbahasa Inggris. Inti persoalannya, apakah murid mahir berbahasa Inggris karena hasil proses pembelajaran bahasa yang dirancang sekolah atau faktor les di luar sekolah? Sekolah boleh tercatat sebagai sekolah dengan tingkat kelulusan 100% pada Ujian Nasional. Lantas, apakah capaian itu merupakan hasil proses pembelajaran yang berkualitas? Ataukah karena sebagian besar para muridnya dipersiapkan lembaga bimbingan belajar di luar sekolah?
Inilah “sekolah beruntung” yang
diuntungkan karena label favorit dan mayoritas siswanya yang memiliki indeks
prestasi yang tinggi sehingga tingkat pencapaian keberhasilannya juga tinggi. Bandingkan
dengan sekolah yang masuk kategori biasa-biasa saja yang mengalami tingkat
pencapaian keberhasilan yang rendah. Kegagalan meraih prestasi turut
disumbangkan oleh sikap menyalahkan aspek eksternal sekolah tampak lebih akrab
dijumpai di sekolah ini.
Mereka lebih fokus mengeluhkan
masalah-masalah seperti; kualitas murid-murid barunya yang semakin rendah,
jumlah murid semakin berkurang, sulitnya merekrut guru berkualitas, sarana dan
prasarana sekolah serba terbatas, banyak muridnya yang bermasalah dalam
perilaku dan masalah-masalah lainnya daripada menata manajemen sekolah yang
tanggap mengatasi persoalan yang tengah terjadi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mungkinkah sekolah berkategori biasa-biasa saja ini berpeluang menjadi sekolah nasional terbaik? Sangat mungkin. Syaratnya, konsisten menerapkan standar manajemen mutu yang memastikan pencapaian keberhasilan sekolah bisa diukur dan dievaluasi setiap waktu. Tak ada pihak yang meragukan prestasi dan reputasi sekolah karena semua sudah direncanakan dengan sangat baik.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mungkinkah sekolah berkategori biasa-biasa saja ini berpeluang menjadi sekolah nasional terbaik? Sangat mungkin. Syaratnya, konsisten menerapkan standar manajemen mutu yang memastikan pencapaian keberhasilan sekolah bisa diukur dan dievaluasi setiap waktu. Tak ada pihak yang meragukan prestasi dan reputasi sekolah karena semua sudah direncanakan dengan sangat baik.
Sekolah favorit juga perlu
merenungi kembali sebuah pemikiran hebat bahwa kesuksesan adalah kegagalan.
Mengapa demikian? Karena kita menjadi lebih mudah lupa diri ketika berada dalam
kondisi sangat sukses. Kesuksesan pada kenyataannya mengembangkan rasa puas
diri. Yang paling berbahaya dapat menimbulkan sikap arogansi. Ketika kita
benar-benar sukses, sering kali kita jatuh cinta pada diri sendiri.
Sekolah adalah institusi
terhormat yang musti mengedukasi masyarakat. Bukan menipu dan mengaburkan makna
‘favorit’ yang cenderung mengedepankan pencitraan secara sepihak. Jangan
gunakan istilah ‘favorit’ untuk sekadar mengeruk keuntungan dari orangtua murid
yang awam tentang makna tersebut.
Sekolah yang baik adalah sekolah
yang berhasil merubah pola pikir siswa dari yang biasa-biasa saja menjadi luar
biasa, bukan malah “menghias” siswa yang sudah “jadi”. Ini adalah cara terbaik
membangun reputasi sebagai sekolah yang bisa melayani pendidikan formal bagi
masyarakat. Ingatlah, kesuksesan adalah kegagalan. Agar tak merasa sudah di
puncak kesuksesan, bertanyalah setiap saat, seberapa pantas sekolah kita
digelari sukses dan terfavorit?
0 Comments