Uta Kelo berasal
dari bahasa Kaili yang artinya Sayur Kelor. Sesuai dengan namanya, Uta Kelo adalah kuliner yang menggunakan
daun kelor sebagai bahan utamanya. Tanaman Kelor (Merunggai) dapat dijumpai di
hampir seluruh wilayah Sulawesi Tengah. Tanaman ini biasanya tumbuh liar dan
dapat tumbuh hingga mencapai 11 meter. Oleh masyarakat, tanaman ini dijadikan
sebagai pagar pembatas lahan atau tanaman pekarangan. Daun dan buah tanaman ini
dapat diolah menjadi bahan makanan.
Uta Kelo adalah
kuliner yang berbahan dasar daun kelor dengan kuah santan kental. Sebagai
pelengkap, biasanya ditambahkan irisan terung muda, pisang muda, dan lamale (udang halus). Kuah santan yang
gurih, daun kelor yang segar, terung/pisang muda dengan tekstur yang lembut,
dan rasa lamale yang khas menjadikan Uta Kelo sebagai salah satu menu wajib bagi masyarakat suku Kaili.
Beberapa daerah di Indonesia selain Sulawesi Tengah
juga memanfaatkan kelor sebagai bahan dasar kuliner. Di Sulawesi Selatan, daun
kelor dimasak menjadi sayur bening. Di daerah lainnya, buah kelor atau yang
biasa disebut kelantang juga
dijadikan sebagai bahan makanan. Walaupun terdapat beberapa kuliner yang
berbahan dasar dari tanaman kelor di daerah lain, namun cita rasa dan penyajian
Uta Kelo yang khas dan unik membuat
kuliner yang satu ini memiliki ciri khas
dan keunikan tersendiri.
To Kaili (sebutan
bagi masyarakat suku Kaili) biasanya menyajikan Uta Kelo bersama nasi jagung atau yang biasa disebut dengan talebe. Sebagai pelengkap, biasanya juga
dihidangkan penja/duo (sejenis ebi),
dan bau tunu (ikan bakar). Berbeda
dengan Kaledo yang biasanya dihidangkan pada acara-acara tertentu, Uta Kelo menjadi menu rumahan yang
hampir setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat.
Cita rasa yang nikmat membuat kuliner yang satu ini
tidak hanya dikonsumsi oleh To Kaili saja.
Kuliner ini juga dikonsumsi oleh masyarakat dari etnis lain yang bermukim di
Sulawesi Tengah seperti Bugis, Mandar, Jawa, dan lain-lain. Proses akulturasi
budaya turut andil dalam membuat kuliner yang satu ini diterima oleh lidah
masyarakat “pendatang” di Sulawesi Tengah.
Proses akulturasi tersebut pula yang kemudian
melahirkan berbagai cerita menarik seputar Uta
Kelo dan tanaman kelor itu
sendiri. Cerita-cerita tersebut dikemas dalam bentuk mitos, jargon, bahkan joke lucu. Pemitosan yang satu ini
muncul dari masyarakat suku Kaili. Masyarakat suku Kaili percaya bahwa tidak
boleh memasak atau memakan Uta Kelo pada
saat ada orang meninggal. Jika hal tersebut dilanggar, mereka percaya bahwa di
dalam Uta Kelo tersebut nantinya akan
terdapat anggota tubuh orang yang meninggal tersebut seperti kuku, rambut,
gigi, dan lain-lain.
Meski terkesan tidak rasional, toh mitos tersebut
sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat. Belum ada pembuktian secara
ilmiah untuk mengkaji mitos tersebut. Penulis berasumsi bahwa di balik mitos
tersebut aada sebuah pesan yang tersirat bahwa ketika ada orang yang meninggal
kita wajib melayat ke rumah duka, bukannya malah memasak atau makan di rumah.
Adab menghormati orang yang telah meninggal ini menurut penulis,
diejahwantahkan dalam mitos ini.
Mitos yang lainnya berkaitan dengan tanaman kelor
yaitu ranting atau batang kelor. Masyarakat percaya bahwa jika seseorang
dipukul dengan ranting atau batang kelor, maka orang tersebut akan
terkencing-kencing. Tentu saja apa yang dikatakan dalam mitos ini rasional
sebab orang yang dipukul dengan kayu atau semacamya pasti akan menimbulkan rasa
sakit yang sangat bahkan bisa sampai terkencing-kencing.
Mitos berikutnya yang sering juga dijadikan lelucon
oleh masyarakat adalah “orang yang memiliki susuk atau ilmu gaib, tidak bisa
makan kelor, sebab susuk atau ilmunya akan hilang”. Di beberapa daerah, kelor
dianggap sebagai pantangan bagi orang yang menggunakan susuk, dan memiliki ilmu
gaib. Kelor dipercaya dapat menetralisir bahkan menghilangkan pengaruh susuk
atau ilmu gaib tersebut. Ketika ada orang dari luar Sulawesi Tengah ingin
mencoba Uta Kelo, biasanya diberitahu
dulu seperti ini, “bae-bae le hilang komiu
punya ilmu gara-gara komiu makan ini uta kelo” (hati-hati hilang ilmu mu (gaib/susuk)
gara-gara kamu makan sayur kelor. Pada beberapa daerah, daun kelor juga tidak
dikonsumsi dengan alasan daun kelor biasa digunakan untuk memandikan jenazah.
Terlepas dari berbagai pemitosan tentang tanaman
kelor dan Uta Kelo. Kuliner yang satu
ini telah mendapat tempat di hati setiap orang yang pernah mencicipinya hingga
terbersit keinginan untuk kembali mencicipinya. Bagi para pelancong yang datang
ke Sulawesi Tengah khususnya Kota Palu, ada sebuah mitos unik yang kemudian
dijadikan jargon bahwa “orang dari luar Palu yang sudah pernah makan uta kelo, pasti akan kembali ke Palu
lagi atau bahkan tinggal menetap di Palu”. Atau “belum dikatakan datang ke Palu
kalau belum mencicipi Uta Kelo”.
Kehadiran mitos-mitos dan jargon-jargon tersebut
justru makin meningkatkan nilai jual kuliner yang satu ini dan menggugah rasa
penasaran orang dari luar Sulawesi Tengah untuk mencicipi kuliner tersebut. Peluang
inilah yang dilihat oleh beberapa usaha kuliner di Kota Palu, mulai dari usaha
yang berskala rumahan sampai usaha yang berskala besar dengan menghadirkan Uta Kelo sebagai salah satu menu
andalannya.
Seiring dengan mulai maraknya usaha kuliner di Kota
Palu, mulai dari catering, prasmanan,
penjual makanan di kaki lima, hingga usaha warung makan, rumah makan, hingga
restoran, kuliner lokal mulai mendapat tempat untuk merambah pasar kuliner Kota
Palu. Dulu kita tidak dapat menemukan penjual makanan, warung makan, hingga
restoran yang menyediakan kuliner lokal seperti uta kelo hingga kita harus memasak sendiri jika ingin mencicipi
makanan tersebut. Sekarang, kuliner lokal termasuk uta kelo dapat kita temukan mulai dari penjual makanan kaki lima
hingga restoran.
Hal ini menjadi bukti bahwa kuliner lokal seperti uta kelo telah menjadi “tuan rumah di
negerinya sendiri”. Restoran dan rumah makan berskala besar di Kota Palu tidak
lagi ragu menyajikan kuliner lokal kepada pengunjungnya. Cita rasa yang khas
serta penyajian yang unik menjadi nilai plus tersendiri bagi kuliner lokal
untuk menjadi identitas daerah. Bahkan ada restoran dan rumah makan yang khusus
menyediakan kuliner lokal seperti Uta
Kelo.
Berbagai cerita menarik mengiringi perjalanan Uta Kelo sebagai salah satu identitas
kelokalan Sulawesi Tengah. Kuliner yang satu ini pada awalnya “hanya” menjadi
menu rumahan yang selalu ada di meja makan. Tetapi kini, ia telah menjadi duta
sekaligus identitas Sulawesi Tengah yang siap diperkenalkan ke mana saja. Uta kelo telah bertransformasi dari
kuliner rumahan menjadi identitas daerah. Tentu menjadi tugas kita semua untuk
memperkenalkan kuliner lokal seperti uta
kelo sebagai kuliner khas Sulawesi Tengah kepada semua pihak. Karena kalau
bukan kita siapa lagi yang cinta dengan kekayaan budaya lokal tersebut?
4 Comments
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletenice artikel broow ^_^
ReplyDeleteterima kasih atas informasinya, bisa juga mampir ke artikel mengenai pinjaman cepat jika berkenan. terima kasih banyak
ReplyDelete