Konflik antar kampung merupakan aksi
kolektif yang bersifat destruktif dari satu desa terhadap desa lain. Tindakan destruktif
itu merupakan kerusuhan yang dilakukan dengan cara kekerasan. Konflik antar
kampung yang terjadi di beberapa daerah di Sulawesi Tengah melibatkan kelompok
masyarakat yang masih bertetangga, seperti Nunu dan Tavanjuka, Kayumalue dan
Tawaeli, Kayumalue dan Taipa, dan masih
banyak lagi.
Konflik antar kampung sering kali terjadi di
beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Konflik merupakan indikator lemahnya pembinaan, pengawasan,
dan penanaman nilai-nilai persaudaraan kepada masyarakat terutama generasi
muda. Konflik yang terjadi dipicu oleh tindakan-tindakan yang tidak sesuai
dengan norma dan nilai sosial seperti mabuk-mabukan, geng motor, dan lain
sebagainya.
Pemicu terjadinya konflik sosial dari data yang didapatkan
oleh KontraS antara lain seperti sengketa lahan (tapal batas), ketidakpuasan
terhadap penegakan hukum oleh negara, beredarnya pesan-pesan provokatif dan
dendam konflik lama. Dari 15 konflik sosial yang terjadi, alat kekerasan yang
sering dipakai merupakan senjata tradisional. Alat yang banyak dipakai dalam
konflik sosial seperti panah, dum-dum,
busur, samurai, tombak dan parang. Ada juga yang menggunakan seperti bom dan
senjata api rakitan.
Kebanyakan pemicu dan elemen masyarakat yang terlibat
konflik justru berasal dari kalangan generasi muda. Mereka beranggapan, bahwa
ada nilai plus dari lingkungan sekitar mereka apabila mereka terlibat dalam
konflik tersebut. Nilai plus tersebut adalah rasa percaya diri karena dianggap
sebagai anak/orang yang berani dan membela daerahnya. Hal ini menjadi bukti
bahwa telah terjadi degradasi nilai-nilai kepemimpinan dan norma sosial yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan nilai seperti yang telah
dikemukakan di atas.
Penyebab latennya konflik yang terjadi di beberapa wilayah
di Sulawesi Tengah adalah politisasi memori kolektif tentang konflik. Memori
warga di masing-masing kampung merekam kembali atau mengingat kembali terhadap
pengalaman masa lalu mereka dalam peristiwa yang menjadi awal penyebab konflik.
Di samping pengingatan (remembering) juga
terjadi pelupaan (forgetting), bahwa
antara warga kampung tersebut masih terikat dalam satu hubungan kekerabatan,
yakni berasal dari nenek moyang yang sama.
Memori ini terus diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi,
sehingga setiap terjadi persoalan (walaupun persoalan kecil/sepele) di antara
kampung tersebut, peristiwa lama kembali diingat-ingat yang menyebabkan konflik
ini semakin berlarut-larut dan mudah disulut kembali.
Penanganan maupun pencegahan terjadinya konflik terutama
konflik yang melibatkan generasi muda di dalamnya, butuh partisipasi dari
generasi muda pula. Penanaman nilai-nilai kepemimpinan dan nilai-nilai sosial
jangan hanya sampai ke tingkat mahasiswa dan pelajar saja, tetapi harus
mencakup ke seluruh elemen generasi muda terutama generasi muda yang terlibat
konflik. Kedepannya diharapkan, dengan mengenal dan memahami nilai-nilai
kepemimpinan dan nilai-nilai sosial tersebut, generasi muda tidak lagi terlibat
kedalam konflik dan sebaliknya berusaha maksimal untuk ikut serta dalam
pembangunan daerah.
0 Comments