Pemanfaatan sumber daya energi di Indonesia selalu diwarnai dengan berbagai permasalahan. Berbagai macam masalah tersebut antara lain penyelewengan, monopoli, korupsi, penguasaan aset oleh asing, dan masih banyak lagi. Pertama, kita akan berbicara mengenai penguasaan dan monopoli sumber daya energi Indonesia oleh pihak asing. Hal tersebut dimulai pada tahun 7 April 1967, beberapa minggu setelah Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal tersebut, Soeharto menandatangani Kontrak Karya dengan sebuah perusahaan pertambangan Amerika Serikat, Freeport Sulphur kemudian menjadi Freeport Mc Moran Copper and Gold, yang menjadikan Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di wilayah Kabupaten Fak-fak, Papua.
Langkah tersebut merupakan pembuka jalan bagi masuknya monopoli modal asing di Indonesia. Kehadiran Freeport diikuti oleh perusahaan-perusahaan lainnya seperti, Caltex, Shell, dan masih banyak lagi. Melalui kebijakan tersebut diharapkan bahwa aset-aset tersebut dapat memberikan sumbangsih lebih terhadap pendapatan negara. Selama ini, kekayaan alam Indonesia yang dikelola oleh pihak asing memang menguntungkan Indonesia lewat pendapatan dan bea yang masuk. Tetapi jika melihat prospek keuntungan jangka panjangnya, kita akan disuguhkan kenyataan bahwa perlahan-lahan, kekayaan negara kita mulai dikeruk oleh pihak asing yang jelas mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari yang mereka berikan terhadap negara. Pada tahun 1976, Pemerintah Indonesia membeli 8,5% saham PTFI dari Freeport Minerals Company dan investor lain. Ini membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki kuasa terhadap aset sumber daya energinya karena saham yang dimiliki hanya sepersekian dari keseluruhan jumlah saham yang ada.
Kedua, masalah penyelewengan dan penyalahgunaan sumber daya energi. Masalah ini merupakan masalah klasik yang seringkali terjadi. Salah satu contoh saat ini adalah penyalahgunaan BBM bersubsidi yang semestinya digunakan oleh masyarakat kecil tapi malah digunakan oleh orang-orang “berduit”. Kemudian, kasus selanjutnya adalah penyalahgunaan energi listrik. Saat ini banyak praktek “sambung liar” listrik oleh masyarakat yang tidak mampu memasang instalasi listrik. Akibat dari praktek ini sangat berbahaya karena pemasangan listrik illegal dapat menyebabkan korslet (hubungan arus pendek) yang dapat menyebabkan kebakaran.
Ketiga, kasus korupsi di sektor pemanfaatan sumber
daya energi. Kasus ini merupakan penyakit sosial yang paling parah di
Indonesia. Pada awal orde baru, kasus korupsi menimpa Pertamina di bawah
pimpinan Ibnu Sutowo. Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis pada tanggal 30 Januari 1970 memberitakan bahwa simpanan Ibnu
Sutowo pada saat itu mencapai Rp 90,48 milyar (kurs rupiah saat itu Rp
400/dolar), dan melaporkan kerugian negara akibat “kongkalikong” Ibnu dan pihak
Jepang mencapai US$1.554.590,28. Saat itu, pemerintah Indonesia di bawah
Presiden Suharto membentuk tim yang bernama Komisi Empat untuk menyelidiki dugaan korupsi di
Pertamina. Tim ini menghasilkan laporan yang menyimpulkan terjadinya beberapa
penyimpangan-penyimpangan, namun tanpa tindakan hukum apa pun terhadap pelaku
korupsi. Pada tahun 1975, Pertamina jatuh krisis. Pada tahun 1976, Sutowo diberhentikan
sebagai Dirut Pertamina, dan meninggalkan Pertamina dalam kondisi utang sebesar
US$ 10,5 milyar.
Kemudian, kasus yang
terbaru adalah kasus korupsi proyek pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
oleh Neneng Sri Wahyuni, Istri dari mantan bendahara Partai Demokrat yang saat
ini terjerat kasus suap, Muhammad Nazaruddin. Keterlibatan Neneng diketahui
saat KPK mengusut kasus korupsi proyek PLTS dengan tersangka Pejabat Pembuat
Komitmen Direktorat Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Timas Ginting.
Dari ketiga alur penjabaran di atas, kita dapat melihat
bahwa pemanfaatan sumber daya energy di Indonesia selalu dihantui oleh
permasalahan-permasalahan yang rumit. Sekarang tinggal bagaimana kita dapat
belajar dari sejarah dan tidak mengulang kesalahan masa lalu demi kehidupan
yang lebih baik di masa kini.
*Penulis adalah
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah
Koordinator Divisi
Pendidikan dan Pengkaderan, Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se- Indonesia
(IKAHIMSI).
0 Comments