Kawasan penggaraman di Pantai
Talise, menjadi salah satu sentra ekonomi pesisir yang terdampak bencana 28
September 2018 lalu. Berdasarkan data nelayan terdampak bencana di Palu dan
Donggala, yang dirilis Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulteng,
Desember 2018 lalu, ada sekitar 157 petani garam yang terdampak bencana, di
mana empat di antaranya meninggal dunia.
157 petani garam yang terdampak
ini, terbagi dalam 16 kelompok Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Dalam data
tersebut juga disebutkan, luasan lahan tambak garam yang terdampak mencapai
18,05 hektar.
Pasca bencana, para petani garam
ini kembali menjual hasil panen garam yang tersisa. Selain itu, mereka juga membeli
garam dari penjual lain untuk dijual kembali. Garam yang dibeli berasal dari
Sulawesi Selatan. Sekarung garam dibeli dengan harga Rp120 ribu.
Garam yang dibeli kemudian dijual
kembali, dengan harga jual yang bervariasi. Untuk ukuran satu gayung besar
dihargai Rp15 ribu, sedangkan untuk gayung berukuran sedang dihargai Rp10 ribu.
Sebagian petani garam memutuskan
untuk pindah lokasi berjualan ke depan lapangan Abadi Talise. Sebagian memutuskan
untuk berjualan di sepanjang jalan Yos Sudarso, Kelurahan Talise.
Riwayat Tambak Garam di Teluk Palu
Aktivitas awal tambak garam di
teluk Palu, terlacak dalam nukilan cerita rakyat tentang kedatangan mubaligh
asal Minangkabau, Abdulah Raqie bergelar Dato Karama di lembah Palu, yang
didokumentasikan oleh ahli linguistik N Adriani dan Etnolog AC Kruijt, dalam
buku De Bare'e-Sprekepe Toradja's Van Midden-Celebes, yang terbit tahun 1912. Cerita
rakyat tersebut menyebutkan, kedatangan Dato Karama di teluk Palu, pertama kali
dilihat oleh petani garam yang beraktvitas di tambak garam di pantai tersebut. Para
petani garam ini kemudian pergi memberitahukan hal tersebut kepada pemimpin
setempat, Pue Nggari, yang merupakan Magau (Raja) Palu pertama.
Antropolog berkebangsaan Finlandia,
Eija-Maija Kotilainen, dalam bukunya When
The Bones are
Left; A Study
of the Material Culture
of Central Sulawesi, yang terbit tahun 1992, menyebut
tahun 1606 sebagai kedatangan Dato Karama ke lembah Palu. Jika didasarkan pada
cerita rakyat tersebut, berarti aktivitas tambak garam di Teluk Palu sudah
dimulai di sekitar awal abad ke 17 atau mungkin sebelumnya.
Salah seorang keturunan mubaligh
asal Cikoang, Sulawesi Selatan, Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid yang bermukim
di wilayah Besusu, Randi menjelaskan, aktivitas tambak garam ini dipelopori
oleh orang-orang dari Gowa, Sulawesi Selatan. Golongan Karaeng ini kata dia, yang
membuka lahan pegaraman di Teluk Palu, berdasarkan pengetahuan pengelolaan
garam dari Gowa.
Pembukaan lahan pegaraman ini
kata dia, erat kaitannya dengan aktivitas pelabuhan rakyat di Pantai Besusu. Pelabuhan
ini kata dia, menjadi pintu gerbang para pendatang dari Sumatera, Bugis, Makassar,
Arab, sekaligus tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang, yang menandai dimulainya
perdagangan dengan pihak luar Palu, termasuk ikatan dagang garam dari Sulawesi
bagian selatan, yakni Kerajaan Laikang, cabang dari Kerajaan Gowa.
Sejarawan Maritim Universitas
Tadulako (Untad), Wilman D Lumangino mengatakan, pelabuhan rakyat Besusu mulai
beraktivitas di akhir abad ke 18 atau akhir tahun 1700 – an. Namun kata dia, masyarakat
di Lembah Palu belum lama memproduksi garam dalam jumlah besar dan mereka memproduksinya
bukan lewat jalur korporat.
Jika dianalisis, dari berbagai
keterangan tersebut, dapat ditarik sejumlah kesimpulan. Pertama, sebelum kedatangan
Dato Karama, bisa jadi migrasi dari Sulawesi bagian selatan sudah terjadi,
namun kesimpulan ini masih lemah, karena Sejarawan Mukhlis Paeni menyebutkan,
pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya tahun 1667, kelompok masyarakat di
wilayah Kerajaan Gowa terbagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok menerima dan
melaksanakan isi perjanjian tersebut, satu kelompok menyingkir ke wilayah
pedalaman untuk memperdalam ilmu agama, khususnya tarekat, sementara satu
kelompok lainnya memutuskan untuk berdiaspora keluar dari wilayah Makassar,
dengan berbagai wilayah tujuan, seperti kawasan Melayu (Sumatera dan
semenanjung Malaysia), Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, serta ke wilayah
Sulawesi bagian tengah.
Kedua, pembukaan aktivitas tambak
garam di Teluk Palu belum lama dilakukan, mengingat menurut versi golongan Karaeng
yang bermukim di Besusu, kedatangan komunitas Cikoang ini diperkirakan terjadi
pada pertengahan abad ke 19, atau sekitar tahun 1840. Kedatangan ini
dipelopori oleh beberapa orang, di antaranya Sayyid Bahrullah bin Atiqullah,
Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang
kesemuanya bermarga Bafagih Aidid.
Ketiga, aktivitas tambak garam
sudah dimulai sejak pertengahan abad ke 17 di teluk Palu, pasca migrasi dari
Sulawesi bagian selatan sebagai konsekuensi isi perjanjian Bongaya. Jika merujuk
pada kemungkinan ini, kisah penambak garam dalam cerita kedatangan Dato Karama,
bisa jadi bukan terjadi pada awal 1600 an, dan bukan terjadi di masa Pue
Nggari, namun di fase selanjutnya, saat cucu Pue Nggari kembali dari Minangkabau,
setelah menimba ilmu agama, yang diperkirakan terjadi sekitar pertengahan abad
17.
Keempat, kemungkinan tambak garam
dibuka oleh masyarakat yang bermigrasi dari Vonggi, di pegunungan sebelah timur
lembah Palu. Kelompok migrasi yang dipimpin oleh Pue Nggari ini, berdasarkan
catatan Mashyudin Mashyuda dalam buku Palu Meniti Zaman, sempat singgah untuk
bermukim di lokasi yang kemudian menjadi lokasi tambak garam di Talise
tersebut. Di lokasi ini mereka membuat satu sumur air tawar yang dinamakan Buvu
Rasede, sebelum akhirnya mereka pindah ke kawasan Besusu (Pandapa). Kelompok migrasi
ini mungkin saja menjadi pihak awal yang membuka kawasan tambak garam di lokasi
tersebut, berdasarkan pengetahuan lokal yang didapatkan dari leluhur mereka
yang menjalin kontak dengan Mandar, sebagaimana dituliskan oleh Kruijt dalam De
West Toradjas op Midden Celebes.
Dalam buku De West Toradjas op
Midden Celebes dijelaskan, Kruijt saat mengunjungi kawasan lembah Palu di
sekitar periode 1897 menyebut, saat mereka melanjutkan perjalanan di sepanjang
teluk, mereka tiba di sisi timur teluk di Limbuo, di mana terdampat tambak
garam yang luas, yang diciptakan oleh pemerintah lanskap Palu. Tambak garam ini
kata dia, dikelola oleh penduduk dan pemerintah membeli dari mereka seharga f1 (satu gulden) per pikul atau sekitar 60,479
kg.
Kruijt mencatat, gudang garam ini
terletak di Talise Bali. Pemerintah memonopoli perdagangan garam tersebut
dengan harga jual f6 per pikul, selama
beberapa tahun. Perusahaan ini menurut dia, telah memberikan pemerintah keuntungan
besar, terutama dalam pembangunan infrastruktur, antara lain jembatan besi yang
dibangun di Palu dan di atas Gumbasa dekat Sakidi, di bagian selatan lembah
Palu.
Dosen Pendidikan Sejarah Untad,
Idrus A Rore, dalam kertas kerjanya tentang Sistem Sosial dan Peranan Ekonomi
Kota Palu, menjelaskan, Ada dua tempat produksi garam
pada Onderafdeeling Palu yaitu di Limbuo (Talise) dan Tonggo (Silae).
Di antara kedua tempat yang memproduksi garam tersebut, Limbuo merupakan yang
paling produktif, sedangkan tambak garam yang ada di Tonggo, sejak tahun 1924
sudah mulai terabaikan oleh para pembuat garam, karena adanya tanaman kelapa di
sekitar pantai Tonggo, sehingga pemilik kelapa keberatan atas usaha pembuatan
garam tersebut.
Pemerintah kolonial sendiri
menurut Idrus, tampaknya lebih memberikan perhatian terhadap Limbuo, karena
dari hasil pembuatan garam, Onderafdeeling Palu dapat meraup
keuntungan sebagai kas pemerintah. Selama periode 1921-1925, Limbou
berhasil memproduksi garam masing-masing; 7.229 pikul, 14.007 pikul, 14.941
pikul 5.825 dan 10.572 pikul.
Penurunan produksi garam Limbuo
pada tahun 1924. Penurunan yang sangat tajam ini, dipengaruhi oleh cuaca yang
lembab selama periode 1924. Di samping itu, sebelum tahun 1924, para
pembuat garam Limbou masih mencapai 100 orang namun turun hingga 50 persen pada
tahun 1924.
Adapun dalam tulisan tersebut,
Idrus menjelaskan, harga garam dari para pembuat garam, ditetapkan f1,25 per pikul. Sementara itu dari
gudang garam Palu ke perusahaan dagang Borneo-Sumatera, ditetapkan dengan
harga f3,60 per pikul.
Adanya perusahaan yang melakukan
ekspor garam ke berbagai daerah di Indonesia, menunjukkan garam merupakan salah
satu komoditi andalan dalam perdagangan di Palu. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan Belanda memberikan perhatian yang besar terhadap tambak garam
Limbuo, termasuk menentukan secara monopoli perusahaan yang diberikan
kontrak untuk mengekspor garam.
Pengusaha etnis Cina di Palu
maupun Donggala, sebenarnya juga tertarik melakukan kontrak penjualan garam ke
daerah lain, tapi sampai tahun 1925, Belanda tidak memberikan ijin kepada
pengusaha Cina. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 15
Pebruari 1933, usaha garam Talise diambil-alih oleh pemerintah dan kemudian
dihentikan. Para pembuat garam menerima ganti rugi dengan hasil bruto selama
lima tahun.
Salah seorang keturunan karaeng
dari Besusu, Randi menjelaskan, setelah 1945, salah seorang pedagang garam asli
Cikoang terakhir yang menetap dan mengelola garam di lokasi tersebut adalah Habib
Ali bin Muhammad Bajrun Bafagih Al-Aidid. Setelah beliau wafat, sepenuhnya
perdagangan garam dikelola warga setempat.
Setelah
kemerdekaan, usaha garam mengalami perkembangan, sehingga dapat
mencukupi kebutuhan lokal dan sekitar lembah Palu. Usaha garam ini sampai
sekarang masih tetap bertahan dalam kepungan perkembangan pariwisata (pantai)
dan pembangunan pertokoan serta perumahan. Tambak garam Limbou sudah terjepit
di bagian barat dan selatan oleh pariwisata, di bagian timur oleh
menjamurnya pertokoan dan di bagian utara telah dijepit oleh pembangunan
perumahan.
Kini, pasca bencana 28 September
2018, tambak garam di kawasan Limbuo (kini Talise), berada dalam kondisi rusak
parah dan menjadikan kawasan penggaraman yang telah eksis sejak 1920 an, bahkan
jika ditelusuri lebih jauh sejak abad 17 ini, berada di titik nadir.
Sebagaimana dilansir dari Tempo, Oktober
2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal memperbaiki sejumlah lahan
tambak garam milik masyarakat di daerah terkena dampak gempa Palu dan
sekitarnya. Sebelum dilakukan perbaikan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan
terlebih dulu memverifikasi luas lahan tambak yang rusak akibat gempa.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang
Laut, KKP, Brahmantya Satyamurti Poerwadi, 8 Oktober 2018, gempa yang menerjang
Kota Palu membuat kontur tanah di sana berubah sehingga luas lahan tambak garam
pun ikut berubah. Untuk itu, pengukuran ulang bakal perlahan dilakukan oleh BPN
selama 2 tahun masa rehabilitasi gempa Palu.
0 Comments