Membangun kepekaan masyarakat
terhadap mitigasi bencana berbasis kearifan lokal, penting dilakukan di wilayah
yang memiliki potensi bencana yang tinggi, seperti lembah Palu yang dilalui
Sesar Palu Koro, salah satu sesar paling aktif di Indonesia. Sejarah panjang
kebencanaan di suatu wilayah, yang diwariskan dari generasi ke generasi secara
turun temurun lewat pewarisan ingatan, penting untuk digali kembali, dalam
rangka upaya meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Hal inilah yang mendasari Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco), mengundang arkeolog
Museum Negeri Sulteng, Iksam, untuk berkunjung ke Jepang, beberapa waktu lalu.
Kunjungan tersebut dalam rangka peningkatan SDM dalam metode penyimpanan koleksi
museum yang aman bencana dan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal.
Iksam menjelaskan, selama
seminggu di Jepang, pihaknya mengunjungi museum, kantor surat kabar dan
universitas di Tokyo, Sendai serta Tohoku. Tempat-tempat tersebut kata dia, memiliki
sejarah panjang kebencanaan, utamanya gempa dan tsunami, namun kemudian mampu
bangkit kembali.
Masyarakat di Jepang kata Iksam,
juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang diimplementasikan sebagai
aspek-aspek mitigasi bencana. Menurut dia, edukasi tentang mitigasi bencana di
Jepang, dilakukan berkelanjutan kepada semua elemen publik.
Salah satu hal yang dilakukan
sebagai upaya mitigasi bencana di sana, di antaranya belajar dari sejarah,
termasuk sejarah alam. Iksam mencontohkan, adanya folktale (cerita rakyat) yang
berumur sekitar 400 tahun di Jepang tentang tsunami, yang menjadi ingatan kolektif
masyarakat di pesisir timur Jepang.
Jurnalis Kompas, Ahmad Arif
misalnya, dalam tulisannya berjudul Globalisasi Tsunami menyebutkan, masyarakat
di Jepang telah mengenal tsunami dari periode 1600an. Istilah tsunami sendiri
muncul setelah gempa bumi 2 Desember 1611, yang mengguncang Sanriku, pantai
timur Jepang, dan memicu ombak tinggi yang menewaskan ribuan warga di pesisir
Sendai. Bencana ini dikisahkan dalam ‘Sumpuki’, catatan resmi pemerintah,
Januari 1612.
Kisahnya dimulai dari tiadanya
upeti yang biasanya rutin dikirim Daimyo Sendai, Date Masamune (1566-1636),
kepada Shogun Tokugawa Ieyasu (1542-1616). Dari kawasan utara Honshu, Masamune
biasanya mengirim hatsu tara, ikan kod terbaik di awal musim. Namun, pada
Januari 1612 tak ada upeti yang dipersembahkan. Masamune hanya mengirim utusan
yang mengabarkan bencana yang melanda Sendai di akhir tahun itu. Sebanyak 5.000
orang tewas di wilayah kekuasaan Masamune. Sementara di Nambu- clan, wilayah
Morioka dan Tsugaru, dilaporkan 3.000 orang tewas dan hilang. Sang utusan
menyebut bencana itu sebagai tsunami (yo ni tsunami to yu’u). Tsu dimaknai
sebagai ’pelabuhan’ dan nami bermakna ’gelombang’.
Kemudian ada pula cerita tentang
heroisme Goryo Hamaguchi di Hirogawa pasca gempa Nankai 24 Desember 1854.
Hamaguchi memutuskan membakar lumbung padinya, untuk memperingati warga desanya
agar menjauhi pantai yang lautnya surut pasca gempa dan segera lari ke bukit.
Apa yang dilakukan Hamaguchi ini, menyelamatkan sekitar 400 nyawa saat itu.
Kisah heroik ini ditulis oleh penulis asal Yunani, Lafcadio Hearn alias Koizumi
Yakumo, dengan judul A Living God, yang terbit tahun 1896.
Masyarakat jepang di masa lalu
juga percaya, adanya seekor lele raksasa, yang dijuluki Nazu. Mitos hewan
raksasa ini konon tinggal di bawah perut Bumi, tepat di bawah Jepang dan gerakan
liar ikan berwarna hitam dan berkepala gepeng itu diyakini memicu guncangan
hebat. Diyakini, hanya Dewa Kashima yang bisa mengendalikan polahnya. Selain
itu, sebagian masyarakat Jepang percaya, kemunculan ikan oar (oarfish) ke
daratan, adalah pertanda gempa dan tsunami akan terjadi. Ikan Oar ini merupakan
jenis ikan yang hidup di laut dalam.
Dalam kunjungannya ke Jepang,
Iksam juga melihat bagaimana upaya pemulihan pasca bencana di sana yang sangat
sistematis. Pasca gempa bumi dan tsunami Tohoku 2011, yang melanda pesisir
timur Jepang, wilayah-wilayah terdampak seperti Sendai serta Tohoku, mampu
kembali bangkit dan pulih seperti sebelum bencana. Hal ini diharapkannya juga
dapat menjadi pelecut semangat bagi masyarakat yang terdampak bencana di Palu,
Sigi, Donggala, serta Parigi Moutong, untuk bersama bangkit dan pulih.
Selain peningkatan kapasitas
terkait mitigasi bencana berbasis kearifan lokal, dalam kunjungan kali ini, Iksam
juga mempelajari bagaimana metode penyimpanan koleksi museum yang aman dan anti
bencana. Menurut dia, pasca bencana 28 September 2018, Unesco juga menaruh
perhatian terhadap upaya recovery dan restorasi Museum Negeri Sulteng, yang
menderita banyak kehilangan koleksi bersejarah dan arsip karena rusak akibat
bencana, dengan membantu memperbaiki koleksi yang rusak.
Menurut Iksam, metode penyimpanan
koleksi dan arsip yang anti bencana tersebut, penting untuk diterapkan di
Sulteng, yang memiliki potensi bencana yang tinggi. Peralatan di museum di Indonesia
kata Iksam, harus dibenahi, seperti menyiapkan laboratorium koleksi yang anti
bencana.
Lewat kunjungan di museum di Tokyo, Iwate, dan
Miyagi, Iksam mendapat inspirasi sekaligus semangat untuk membangkitkan kembali
Museum Negeri Sulteng pasca bencana. Kata dia, hal yang utama harus dilakukan
adalah membenahi kembali manajemen pengelolaan warisan (koleksi dan arsip). JEF
0 Comments