Peta Lembah Palu yang dibuat oleh
Topografischen Dients (Departemen Layanan Topografi) Kolonial Belanda tahun
1939, menyajikan fakta menarik. Dalam peta tersebut, terdapat lambang jangkar
sebagai representasi kenampakan alam buatan yakni pelabuhan, yang diletakkan di
kawasan Teluk Palu, tidak jauh dari muara Sungai Palu. Jika melihat pada lokasi
di peta dengan keadaan saat ini, lokasi lambang jangkar dalam peta berada di
wilayah Pantai Besusu.
Berdasarkan cerita rakyat yang
berkembang di Besusu, sebagaimana diceritakan salah seorang tokoh masyarakat Besusu,
Yusran Tembantina, kawasan Pantai Besusu dibagi atas tiga wilayah besar, yakni
Bambana (Muara) di sekitar muara Sungai Palu, kawasan Anjere dari lokasi bekas
Anjungan Nomoni hingga lokasi bekas Anjungan Nusantara, hingga kawasan Binangga
di muara Sungai Pondo. Yusran juga mengindentifikasi wilayah-wilayah kecil di
antaranya, seperti kawasan urban La Tunde di lokasi dekat TVRI, yang diyakini sebagai
perkampungan awal pendatang dari Sulawesi Selatan, kemudian kawasan pantai
penghibur dari lokasi bekas Anjungan Nusantara hingga pertigaan jalan Cut
Meutia.
Kawasan setelah pantai penghibur hingga
kawasan Binangga, diidentifikasi oleh Sejarawan Maritim Universitas Tadulako
(Untad), Wilman D Lumangino, sebagai kawasan Karampe. Kawasan Karampe ini
sendiri diyakini sebagai lokasi berlabuh mubaligh asal Minangkabau, Abdullah
Raqie bergelar Dato Karama.
Wilman menyebut, kawasan Anjere
sendiri dikenal sebagai kawasan pelabuhan rakyat, tempat perahu dan kapal-kapal
kecil berlabuh. Kawasan ini menjadi lokasi aktivitas bongkar muat barang, yang
sebagian besar berasal dari Donggala dan Pantai Barat.
Aktivitas bongkar muat itu
sendiri menurut Wilman, telah dimulai sejak akhir abad ke-18, dengan komoditi
yang diperdagangkan, seperti kopra, rotan, kayu cendana, hingga kayu gopasa
dari Mandar. Untuk mendukung aktivitas bongkar muat ini kata dia, dibuatlah
pelabuhan rakit.
Ada satu hal menarik dari
kehadiran pelabuhan rakyat Besusu ini, menurut Yusran Tembantina. Dirinya menyebut,
penamaan Anjere untuk kawasan tersebut, didasarkan pada kenyataan bahwa di
sekitar pelabuhan rakyat tersebut, berdiri sebuah mercusuar.
“Anjere itu, penyebutan untuk
mercusuar. Sepertinya mengadopsi bahasa dari Selatan (Sulawesi Selatan red),”
jelasnya.
Wilman mengamini adanya mercusuar
yang dibangun di sekitar lokasi pelabuhan rakyat tersebut. Letaknya menurut
dia, tidak persis berada di bekas lokasi Anjungan Nusantara, seperti yang
diperkirakan, namun diperkirakan terletak di kawasan dekat pagar depan eks
Hotel Mompesana, yang terletak di belakang Palu Golden Hotel.
Hal tersebut cukup rasional, jika
menyitir penjelasan selanjutnya dari Yusran Tembantina, bahwa dahulu garis
pantai di Besusu, melewati ruas badan jalan di depan bundaran patung kuda saat
ini. Kata dia, di masa itu, air pasang mampu mencapai lokasi Rumah Sakit Mata,
yang kini juga porak poranda diterjang tsunami 28 September lalu.
Mercusuar ini kata Wilman, tidak
berukuran besar seperti mercusuar yang ada di Donggala. Bangunanya hanya
menggunakan beton di bagian pondasi, kemudian dibangun dengan konstruksi besi
dan kayu.
Bangunan mercusuar ini kata
Wilman, dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sebagai penanda pelabuhan di
kawasan tersebut. Tahun pembuatannya, diperkirakan antara kisaran tahun 1917
atau 1923.
Pada saat tsunami menghantam
kawasan teluk Palu pada tahun 1927 dan 1938, mercusuar ini dilaporkan mengalami
kerusakan. Wilman menyebut, ada kabar bahwa mercusuar ini diperbaiki pasca dua
bencana tersebut, namun dirinya belum menemukan data yang lebih akurat untuk
menjelaskannya.
Namun Wilman menemukan fakta, di
masa pendudukan Jepang, mercusuar tersebut tidak lagi digunakan. Menurutnya, hal
ini bisa saja diakibatkan oleh kerusakan yang dialami mercusuar tersebut pasca
bencana 1938.
Mercusuar tersebut sendiri kata
dia, mengalami kerusakan sepenuhnya pada sekitar tahun 1956. Hingga sekitar
tahun 1982 kata dia, masyarakat masih dapat menemukan sisa-sisa bangunannya. JEF
0 Comments