FOTO: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 19 Mei 1932 |
Gempa bumi yang terjadi di Minahasa, 14 Mei 1932, merupakan salah satu bencana besar yang terjadi di Pulau Sulawesi, dalam kurun 100 tahun terakhir. Bencana ini juga terekam dalam sejumlah surat kabar berbahasa Belanda, baik yang terbit di Hindia Belanda maupun di Belanda.
Salah satu surat kabar yang mewartakan bencana tersebut, yakni Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, pada edisi 19 Mei 1932. Surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda selama periode 1895-1942 ini, didirikan pada 1895 dan berbasis di Batavia.
Surat kabar ini memberi judul reportase bencana itu dengan judul De Aardbeving in de Minahassa, De Verwoesting in Kakas (Gempa di Minahasa, Kehancuran di Kakas). Reportase ini melaporkan secara resmi dari Buitenzorg (Bogor).
Surat kabar ini melaporkan, Residen Menado telah mengirimkan telegram kepada pemerintah, di mana mereka melaporkan jumlah korban gempa di Kakas tidak bertambah, meskipun malapetaka yang terjadi di sana sangat besar. Dilaporkan 592 rumah hancur, dan nilai kerugian mencapai 100.000 gulden.
Masyarakat Kakas dan sekitarnya, disebutkan tenang dan pasrah dengan apa yang terjadi. Sementara, penghuni beberapa pemukiman di kawasan Amurang, diam-diam meninggalkan kampungnya, karena khawatir pantai akan tenggelam atau datang gelombang pasang. Surat kabar ini juga melaporkan, tidak ada laporan yang diterima dari tempat-tempat terpencil, baik dari Donggala, Poso dan Sangihe.
Residen memperkirakan lebih dari 600 rumah di Minahasa telah hancur total dan 400 sebagian hancur. Kerusakan berjumlah sekitar 200.000 gulden, tetapi jumlah ini tidak termasuk kerusakan yang terjadi pada sekolah, gedung gereja dan pekerjaan umum.
Surat kabar ini juga melaporkan dari Menado, sebagaimana dilaporkan Aneta, kantor berita di masa Hindia Belanda, sungai Palaus dan Poela di ibu kota Ratahan banjir dan menyebabkan jembatan kayu terseret, sementara penggilingan padi hanyut, dan tiga penggilingan padi lainnya tenggelam. Dilaporkan juga, sebuah jembatan besi terendam dan rusak.
Gempa bumi juga menyebabkan retakan di tanah di Ratatotok dan beberapa kota pesisir lainnya, di mana air menyembur ke atas. Sebuah pohon kelapa dengan dua puluh pohon lainnya, roboh dan terlempar ke laut. Enam rumah ambruk.
Empat puluh rumah dan masjid runtuh di Bujat di lanskap Bolaang Mongondau, sementara keretakan bermunculan di tempat lain. Beberapa mata air panas di Tempang di Langoan mengeluarkan lumpur.
Selasa (17 Mei 1932 red.) malam pukul dua, kobaran api terlihat di atas kawah Suputan (Gunung Soputan). Kemudian, Senin (16 Mei 1932 red) pagi, pukul setengah enam, gempa ringan lainnya terasa.
Surat kabar ini juga melaporkan gempa yang terjadi di Taruna. Residen Menado memberi tahu pemerintah, gempa bumi besar dirasakan di Taroena di Kepulauan Sangihe, pada pukul 21.30 pada hari Minggu, 15 Mei 1932.
Guncangan berlangsung satu menit, hanya menyebabkan kerusakan pada gedung gereja,
Selain memberitakan dampak yang terjadi akibat gempa bumi Mei 1932, surat kabar ini juga melaporkan dukungan dari Belanda terhadap bencana tersebut. Oranje Kruis (Palang Oranye), sebuah organisasi independen di bidang pertolongan pertama, yang didirikan pada 1909 oleh Pangeran Hendrik, bertanya kepada Smeroe-fonds, sebuah lembaga donor yang berbasis di Surabaya, yang dibentuk pada 1911, melalui telegram, apakah bantuan keuangan dari Belanda diperlukan, sehubungan dengan bencana di Sulawesi. Dalam hal jawaban afirmatif, balasan akan ditujukan kepada orang-orang Belanda.
0 Comments