Silsilah Karaeng Poetih berdasarkan Silsilah Kita Santina. DOK: KHST |
Narasi tentang tokoh dalam sebuah
cerita sejarah, memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih jika
tokoh tersebut memiliki peran sentral dalam sebuah peristiwa sejarah.
Di Sulawesi Tengah, khususnya
wilayah lembah Palu, banyak tokoh sejarah yang memiliki peran sentral di
masing-masing peristiwa sejarah, di masing-masing periode sejarah. Salah satu
periode yang paling banyak ditulis oleh para sejarawan adalah periode akhir
abad 19 dan awal abad 20, di mana para penguasa kerajaan-kerajaan di lembah
Palu, mulai menjalin kontak dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Relasi sosial
ini, ibarat dua sisi mata uang, di mana di satu sisi kehadiran pemerintah
kolonial diartikan sebagai tonggak awal kolonialisme, sedangkan di sisi lain,
kehadiran pemerintah kolonial, justru karena “diundang” oleh penguasa setempat,
atau yang disebut oleh sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, sebagai
invited colonialism atau kolonialisme yang diundang.
Masuknya pemerintah kolonial
kedalam wilayah kerajaan-kerajaan di lembah Palu ini, ternyata juga menimbulkan
resistensi, baik dari penguasa lokal, maupun oleh bangsawan lokal. Karenanya
muncul gerakan-gerakan perlawanan, baik dengan kekuatan senjata, maupun
kekuatan massa.
Salah satu yang menarik, adalah
peran serta tokoh-tokoh yang berdiaspora dari wilayah Sulawesi bagian selatan
terhadap resistensi tersebut, terutama mereka yang menyandang gelar Karaeng dan
Sayyid. Diaspora mereka di lembah Palu dan pertalian hubungan dengan bangsawan
atau penguasa kerajan setempat melalui jalur perkawinan, melibatkan mereka
dalam pusaran konflik kepentingan ini. Salah seorang tokoh yang menarik
ditelusuri narasi sejarahnya adalah sosok Karaeng Putih.
Sosok Karaeng Poetih mungkin
merupakan sebuah narasi baru dalam sejarah Sulawesi Tengah, khususnya lembah
Palu, pada periode kolonial ini. Namanya jarang disebut dalam tulisan-tulisan
sejarah tentang kawasan lembah Palu, pada periode tersebut. Padahal, melihat
rekam jejak dan latar belakangnya, sosok yang satu ini, menarik untuk
ditelusuri narasi sejarahnya, karena merupakan bukti legitimasi pengaruh
diaspora dari ”selatan” dalam struktur sosial di lembah Palu.
Siapakah Karaeng Poetih?
Ada dua sumber yang digunakan
untuk mengetahui latar belakang keturunan Karaeng Poetih. Pertama Silsilah Kita
Santina yang disusun oleh Moh Noor Lembah, kemudian kedua, Silsilah keturunan Sayyid
Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid, yang diperoleh dari keluarga
besar Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid.
Dalam Silsilah Kita Santina,
Karaeng Poetih (Putih) disebutkan merupakan anak dari Daendisenga (Dae
Ndisinga). Dae Ndisinga merupakan anak kedua dari Syekh (Sayyid) Umar dan Dae
Ndilidja Dg Mpalili. Dae Ndilidja Dg Mpalili merupakan anak dari Dg Mpalili,
yang menjabat Madika Malolo Kagaua Palu pada masa pemerintahan Magau Lamakaraka
(pertengahan hingga akhir 1800an), dengan Dupawongi.
Sementara itu, dalam silsilah
keturunan Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid, yang diperoleh
dari keluarga besar Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid, Karaeng Poetih
disebutkan merupakan keturunan dari Dae Ndisinga, di mana Dae Ndisinga
merupakan anak kedua dari Syekh (Sayyid) Umar. Sayyid Umar merupakan keturunan Sayyid
Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid, di mana garis keturunannya
yaitu Sayyid Umar bin Sayyid Rahmatullah bin Sayyid Ali Akbar bin Sayyid Umar
Bafagih Aidid bin Sayyid Jalaluddin.
Silsilah Karaeng Poetih versi Keluarga Besar Sayyid Jalaluddin Al Aidid di Palu. DOK: JEFRI |
Sayyid Jalaluddin sendiri
merupakan keturunan Hadramaut yang masih keturunan langsung dari Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah RA, putri dari Rasulullah SAW, tepatnya keturunan yang ke-29
dari Nabi Muhammad SAW. Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid tiba
di Gowa sekitar abad ke 17, hampir bersamaan dengan kedatangan Sayyid Ba’alwy
bin Abdullah Tahir. Sayyid Jalaluddin berdakwah di wilayah Cikoang, Makassar
dan lalu di Bima, pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya, sementara Sayyid Ba’alwy berdakwah di wilayah
Bontoala Makassar.
Salah seorang keturunan Sayyid
Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid di Palu, Randi Ibrahim Bafaqih
menjelaskan, Sayyid Umar merupakan sepupu Sayyid Baharullah, yang sama-sama bermarga
Bafaqih Aidid, yang hijrah dari Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1840. Kata dia,
ketika hijrah ke wilayah lembah Palu, keduanya berpisah wilayah tempat hijrah.
Sayyid Baharullah hijrah dan menetap di Boyantongo (sekarang wilayah Kelurahan Baru),
sementara Sayyid Umar memilih menetap di Tatanga.
Dari sini dapat kita lihat bahwa
dari silsilahnya, Karaeng Poetih merupakan keturunan Sayyid Jalaluddin bin
Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid, merupakan keturunan Hadramaut yang masih keturunan
langsung dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah RA, putri dari Rasulullah SAW.
Sementara dari jalur neneknya, Karaeng Poetih merupakan keturunan dari
bangsawan lokal Palu yaitu Madika Malolo Palu, Dg Mpalili.
Peran Karaeng Poetih Dalam Politik Kagaua Palu
Tidak banyak yang mengetahui,
bahwa sosok Karaeng Poetih, ternyata memiliki peran yang cukup sentral, dalam
percaturan politik di tataran Kagaua palu, terutama di masa pemerintahan Magau
Parampasi. Sumber Kolonial Verslag over het jaar 1910, menyebutkan sosok
Karaeng Poetih sebagai figur yang menjabat sebagai Madika Malolo Kagaua Palu.
Hal ini merupakan antitesa dari
wacana sejarah yang dibangun selama ini, jika Palu dan Tatanga adalah dua
entitas kerajaan yang berbeda, karena faktanya, sejak masa kakek buyut Karaeng
Poetih yaitu Dg Mpalili, keturunan dari Tatanga sudah diserahi jabatan penting dalam
struktur pemerintahan, yaitu sebagai Madika Malolo, yang diartikan sebagai
wakil Magau.
Hal ini juga tercatat dalam
Kolonial Verslag over het jaar 1911, di mana disebutkan pada periode 1910, ada
sejumlah kampung di lembah Palu yang menolak untuk patuh terhadap perintah
Magau, sehingga sosok Karaeng Poetih yang saat itu disebutkan memiliki banyak
pengaruh di sejumlah kampung di wilayah Kagaua Palu, diserahi tanggung jawab
untuk memerintah kawasan tersebut, agar situasi kembali kondusif. Disinyalir, wilayah
yang disebutkan menolak patuh terhadap perintah Magau Palu tersebut, merupakan
wilayah Tatanga.
Wilayah Kebaligauan Tatanga sendiri
menurut Koordinator Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST), Moh Herianto, saat
itu seperti kehilangan sosok pemimpin, setelah pada tahun 1908, Baligau
Ranginggamagi beserta suaminya dan Amir Kasa ditangkap di Uve Mpomata.
Berdasarkan Silsilah Kita Santina, Karaeng Poetih merupakan keponakan dari Amir
Kasa, karena ayah Amir Kasa yaitu Dg Pangando Dg Mpalili, merupakan saudara
dari nenek Karaeng Poetih, Dae Ndilidja Dg Mpalili.
Perlawanan Karaeng Poetih
Penyerahan jabatan Madika Malolo
kepada Karaeng Poetih sendiri, disinyalir sebagai upaya Kagaua Palu, untuk
meredam perlawanan di wilayah Tatanga, utamanya pasca peristiwa penangkapan Ranginggamagi
beserta suaminya dan Amir Kasa di Uve Mpomata. Sejarawan Untad, Moh Sairin,
merujuk pada Kolonial Verslag over het jaar 1911 mengatakan, harapan akan
perbaikan kondisi pasca Karaeng Poetih menjabat sebagai Madika Malolo, ternyata
tidak tercapai.
“Dalam sumber tersebut
disebutkan, Karaeng Poetih mencoba untuk meluaskan kekuasaannya dengan
mengorbankan Magau, dengan cara membujuk kampung-kampung lain agar berada di
bawah perintahnya, dengan janji seperti pengurangan kerja wajib, pajak, dan
sebagainya,” jelas Sairin.
Penelusuran sumber data kolonial tentang Karaeng Poetih oleh penulis. FOTO: DOK MOH SAIRIN |
Dari sini dapat dilihat, pada
kenyataannya, Karaeng Poetih juga akhirnya tetap melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan yang sah, dengan mengobarkan semangat pemogokan. Pada masa
tersebut, pemerintah kolonial telah masuk ke Kagaua Palu, ditandai dengan
penandatanganan perjanjian kontrak antara Magau Palu dan pemerintah kolonial.
Lanjut Sairin, Karaeng Poetih
akhirnya ditangkap dan kemudian diasingkan ke Manado, dengan tuduhan melakukan
penghasutan untuk melawan pemerintah yang sah, karena sejumlah kepala kampung
melakukan pembangkangan dengan tidak mau menanggapi panggilan pemerintah,
bahkan setelah Karaeng Poetih diasingkan.
“Dalam sumber tersebut juga
disebutkan, mereka hanya menerima perintah dari Karaeng Poetih dan menolak
untuk melaksanakan kerja wajib, sehingga pemerintah mengambil sikap dengan
mengerahkan kekuatan militer,” lanjutnya.
Dalam Kolonial Verslag over het
jaar 1910 juga disebutkan, Karaeng Poetih juga disinyalir telah melakukan
tindakan pemerasan terhadap penduduk, yang membuat pejabat Kontroliur Palu
beserta sekelompok militer berangkat kesana untuk meninjau pada bulan Juni
1909. Data ini menurut Sairin masih perlu ditelusuri lebih mendalam, terutama aspek
kritik sumber terhadap sumber data tersebut.
“Kita juga harus kritis melihat
data kolonial, terutama dari aspek sudut pandang laporannya. Banyak laporan
juga yang ditengarai dibuat dengan mengedepankan aspek ABS (asal bos senang),”
ujarnya.
Puncaknya pada malam tanggal 3-4
Desember 1910, para pengikut Karaeng Poetih, sebagaimana dikutip dari Kolonial
Verslag over het jaar 1911, melakukan penyerangan terhadap rumah penguasa
swapraja (Magau) dan melakukan pembakaran terhadap rumah tersebut, sehingga menyebabkan
beberapa orang terbunuh dan terluka. Para pelaku penyerangan tersebut menurut
sumber ini, segera diketahui jejaknya dan segera setelah itu sebagian besar
dari mereka tertangkap.
Koordinator KHST, Moh Herianto
mengatakan, nama Karaeng Poetih juga menjadi bahan pemberitaan di sejumlah
surat kabar Belanda pada tahun 1910, seperti pada surat kabar De Preanger Bode,
yang terbit pada hari Sabtu, 16 Juli 1910. Dalam pemberitaan surat kabar dengan
judul Van Hier En Daar Van Menado ini dijelaskan, Karaeng Poetih yang
diharapkan untuk membawa perubahan pada situasi dan administrasi di Kagaua Palu,
tidak semua memenuhi harapan itu. Bahkan segera setelah itu, dirinya mencoba
untuk memperluas otoritasnya dengan mengorbankan Magau, yang menjadi alasannya
Karaeng Poetih dikirim (ditahan) ke Donggala.
Surat kabar De Preanger Bode, tanggal 16 Juli 1910, yang memuat berita tentang pengasingan Karaeng Poetih di Minahasa. FOTO: DOK KHST |
Sebagaimana diberitakan dalam
surat kabar ini, para kepala-kepala kampung yang berada di bawah pengaruh
Karaeng Poetih, menolak untuk mematuhi perintah pemerintah dan hanya melaksanakan
perintah dari Karaeng Poetih. Karenanya, kekuatan militer harus dilakukan di
kampung-kampung yang melakukan pembangkangan tersebut, di mana kedamaian
dipulihkan, tanpa adanya tindakan pembunuhan terhadap orang-orang ini.
Lanjut surat kabar tersebut, setelah
kepergian Karaeng Poetih ke Donggala dan dari sana kemudian pergi (diasingkan) ke
Minahasa, perintah dari Magau Palu akhirnya kembali diikuti oleh para kepala kampung
dan orang-orang dari wilayah Palu, khususnya Tatanga.
Dari sini dapat dilihat bahwa
Karaeng Poetih dengan status kebangsawanan dan latar belakang sebagai keturunan
Sayyid, memiliki pengaruh yang sangat besar di masyarakat pada saat itu,
terlebih setelah dirinya menjabat sebagai Madika Malolo Palu. pengaruh inilah
yang membuatnya mengobarkan semangat perlawanan di masyarakat, seperti
penolakan untuk melaksanakan kerja wajib dan membayar pajak kepada pemerintah.
Terlepas
dari segala kontroversi yang hadir dengan narasi tentang sosoknya, Karaeng
Poetih merupakan sosok yang memegang peranan penting dalam percaturan
perpolitikan saat itu, sehingga dianggap mampu meredam perlawanan di Tatanga,
namun ternyata justru semakin mengobarkan perlawanan.
Dari Manado ke Pulau Panggang: Misteri Makam Karaeng Poetih
Berdasarkan keterangan keluarga
besar Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid di Palu, kabarnya
Karaeng Poetih tidak menghabiskan masa pengasingannya di Manado (Minahasa
menurut surat kabar De Preanger Bode). Pihak keluarga kata Adriansyah Malik,
terutama yang berdomisili di wilayah Pelawa, Kabupaten Parigi Moutong, menerima
cerita turun temurun, yang menyebutkan kalau Karaeng Poetih dikirim ke Pulau Jawa,
setelah sebelumnya diasingkan ke Manado oleh pemerintah kolonial.
“Kalau tidak salah, yang saya
dengar dari Pelawa, Karaeng Putih bukan hanya sendirian diasingkan ke Pulau
Jawa, tapi bersama dengan salah seorang Madika dari wilayah Parigi,” ujarnya.
Hal ini juga dikuatkan oleh
pernyataan Randi Ibrahim Bafaqih yang menyebutkan jika pamannya, Barahama Lasa
Aidid, juga pernah bercerita tentang hal yang sama. Adapun menurut Adriansyah
Malik, lokasi yang disinyalir sebagai lokasi pengasingan Karaeng Poetih di
Pulau Jawa adalah Pulau Panggang, yang terletak di kawasan Kepulauan Seribu,
DKI Jakarta.
“Salah seorang saudara saya sudah
pernah berkunjung kesana. Kata dia, ada makam di sana, nisannya tertulis nama Karaeng
Poetih, yang di sana dikenal berasal dari Donggala-Mandar. Letak makamnya
berada dalam satu kompleks dengan Al-Habib Ali Bin Ahmad Bin Zein Aidid,
mubaligh yang menyebarkan Islam di pulau tersebut. Menurut dia, di pulau
tersebut juga ada peninggalan tradisi peringatan maulid, dengan tata cara yang sama
dengan kita di Sulawesi,” jelasnya.
Keterangan dari pihak keluarga
tentang kepastian lokasi makam Karaeng Poetih ini, juga harus ditelusuri lebih
jauh. Sebagai salah seorang tokoh yang mengobarkan semangat perlawanan dan
kemudian diasingkan, narasi sejarah kisah hidup Karaeng Poetih layak untuk
diteliti lebih mendalam, untuk memperkaya khasanah sejarah lokal Sulawesi Tengah,
khususnya sejarah Palu. ***
1 Comments
Terimakasih kak sudah nulis tentang artikel ini. sangat membantu banget setelah membacanya.
ReplyDeletejangan lupa kunjungi website kami yang di tidak kalah menarik juga ya dibawah ini
Berikut link Harga Tiket wisata dari beberapa tempat wisata di indonesia .
Harga Tiket The Lodge Maribaya
Harga Tiket Taman Legenda Keong Mas
Virtual Tour Indonesia
Harga Tiket agung fantasi waterpark
Harga Tiket watersplash darmawangsa
Harga Tiket rinjani waterpark
Harga Tiket Go splash panjibuwono
Virtual Tour Indonesia