Perkembangan Islam di lembah
Palu, terbagi dalam beberapa fase penyebaran. Sejarawan Universitas Tadulako,
Haliadi menyebutkan, ada tiga fase penyebaran Islam di kawasan lembah Palu,
yakni fase pertama yaitu fase mitologi, yang dikaitkan dengan cerita-cerita
rakyat dan mitos yang menceritakan tentang kedatangan mubaligh asal
Minangkabau, Abdullah Raqie bergelar Dato Karama di lembah Palu, yang
diperkirakan terjadi pada awal abad ke 17 atau sekitar tahun 1605.
Dato Karama sendiri, dalam buku
De Bare’e Sprekende Toradja van Midden Celebes karya Albert C Kruyt dan
Nicolaus Adriani tahun 1912 menyebutkan, kedatangan Dato Karama disambut oleh
penguasa lembah Palu saat itu yaitu Pue Nggari. Sumber lain dalam buku Sejarah
Daerah Sulawesi Tengah menyebutkan, kedatangan Dato Karama beserta keluarga dan
pengikutnya, disambut oleh salah seorang bangsawan Palu, Pue Njidi.
Sejarawan muda Untad, Wilman
Lumangino menyebutkan, berdasarkan analisisnya, kedatangan Dato Karama untuk
menyebarkan Islam di lembah Palu, sedikitnya telah memberikan jejak yang
berarti dalam kebudayaan lokal, salah satu yang paling mencolok adalah
pengadopsian sistem matrilineal (keturunan dari garis ibu) yang berlaku di Minangkabau,
oleh wilayah lembah Palu, dengan konsep yang disebut Ntina.
Fase kedua yaitu fase ideologis,
ditandai dengan penyebaran Islam oleh kelompok yang bermigrasi dari wilayah
Sulawesi bagian selatan, pasca Perjanjian Bongaya yang ditandatangani oleh
Sultan Hasanuddin pada tahun 1667. Fase ini ditandai dengan kedatangan
orang-orang Makassar, Bugis, dan Mandar ke kawasan lembah Palu, sebagai bagian
dari rentetan pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya tersebut.
Sejarawan Mukhlis Paeni
menyebutkan, pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya tahun 1667, kelompok
masyarakat di wilayah Kerajaan Gowa terbagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok
menerima dan melaksanakan isi perjanjian tersebut, satu kelompok menyingkir ke wilayah
pedalaman untuk memperdalam ilmu agama, khususnya tarekat, sementara satu
kelompok lainnya memutuskan untuk berdiaspora keluar dari wilayah Makassar,
dengan berbagai wilayah tujuan, seperti kawasan Melayu (Sumatera dan
semenanjung Malaysia), Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, serta ke wilayah
Sulawesi bagian tengah.
Fase ketiga adalah fase ilmu
pengetahuan, yang ditandai dengan berdirinya perguruan Islam Alkhairaat oleh
Syekh Idrus bin Salim Al Djufri (SIS Al Djufri) atau yang dikenal dengan
sebutan Guru Tua. Perguruan Alkhairaat ini, kini telah menjadi perguruan Islam
terbesar, tidak hanya di kawasan lembah Palu, tapi di Sulawesi Tengah, bahkan
Indonesia Timur.
Sayangnya, dari ketiga fase
penyebaran Islam di lembah Palu tersebut, tulisan tentang fase penyebaran Islam
secara ideologis yang dilakukan oleh kelompok yang bermigrasi dari ‘selatan’
ini, masih sangat kurang dalam historiografi sejarah penyebaran Islam di lembah
Palu. Salah satu fase yang kurang mendapat perhatian sejarawan untuk diangkat
ke dalam tulisan sejarah, adalah fase penyebaran Islam oleh komunitas Cikoang
di sejumlah wilayah di lembah Palu, bahkan wilayah Sulawesi Tengah lainnya,
seperti wilayah Buol, Sigi, dan Parigi Moutong.
Komunitas Cikoang ini sendiri,
merupakan kelompok masyarakat di wilayah Cikoang, Makassar, yang merupakan
keturunan dari salah seorang ulama penyebar Islam di kawasan tersebut, yaitu Sayyid
Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid. Sayyid Jalaluddin bin Muhammad
Wahid Bafaqih Al-Aidid lahir di Aceh, tahun 1603. Ibunya bernama Syarifah
Khalisah Bin Alwi Jamalullail yang diklaim masih memiliki keturunan dari Sultan
Aceh, Iskandar Muda Mahkota Alam.
Sayyid Jalaluddin merupakan
keturunan Hadramaut yang masih keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah RA, putri dari Rasulullah SAW, tepatnya keturunan yang ke-29 dari Nabi
Muhammad SAW. Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid tiba di
Gowa sekitar abad ke 17, mhampir bersamaan dengan kedatangan Sayyid Ba’alwy bin
Abdullah Tahir. Sayyid Jalaluddin berdakwah di wilayah Cikoang, Makassar dan
lalu di Bima, pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya, sementara Sayyid Ba’alwy berdakwah di wilayah Bontoala
Makassar.
Di lembah Palu sendiri,
kedatangan komunitas Cikoang ini diperkirakan terjadi pada pertengahan abad ke 19,
atau sekitar tahun 1840. Kedatangan ini dipelopori oleh beberapa orang, di antaranya
Sayyid Bahrullah bin Atiqullah, Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan
Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang kesemuanya bermarga Bafagih Aidid.
Salah seorang keturunan Sayyid
Bahrullah bin Atiqullah, Baharama Lasa Aidid, yang ditemui penulis pada Jumat
(18/5/2018) malam mengatakan, secara genealogi, Sayyid Bahrullah merupakan
cicit dari Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid, yang jika
dirunut, yaitu Sayyid Bahrullah bin Atiqullah bin Ali Akbar bin Umar bin Sayyid
Jalaluddin.
Salah seorang keturunan Sayyid
Bahrullah bin Atiqullah lainnya yaitu Randi Ibrahim Bafaqih Aidid mengatakan, nama
Sayyid Bahrullah bin Atiqullah yang sebenarnya adalah Sayyid Baharullah, kemudian
menjadi Bahrullah, karena pengaruh logat
Kaili. Nama ini kata dia, berasal dari bahasa arab, yaiu Bahar yang berarti lautan.
“Jadi arti nama beliau Baharullah
adalah lautannya Allah, dengan maksud agar beliau bisa bermanfaat untuk umat,
berdakwah dan berilmu, seluasnya lautannya Allah. Adapun marga leluhurnya
adalah Bafaqih Al-Aidid, yang artinya ahli fiqih Kota Aidid (Aidid adalah salah
satu nama kota di Hadramaut, Yaman Selatan),” jelasnya.
Sayyid Bahrullah bin Atiqullah diriwayatkan
pada awal kedatangannya menetap di kawasan Boyantongo, yang sekarang dikenal
dengan Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat. Rumah tempat tinggal beliau
berlokasi di kawasan Masjid Jami, tepatnya di lahan yang kini berdiri menara
masjid tertua di Kota Palu tersebut.
Oleh masyarakat setempat, beliau
dipanggil dengan sebutan Karaeng. Randi mengatakan, panggilan Karaeng ini adalah
istilah lokal untuk menggantikan kata Maula. Dalam kebiasaan Sayyid kata dia,
setiap keturunan Sayyid digelari Maula, sesuai dengan wilayah tempatnya
berkuasa, berdakwah atau tinggal.
“Karena nenek beliau adalah cucu
dari Sultan Alauddin yang merupakan Sultan Gowa, maka oleh pengikutnya, kata Maula
dirubah jadi Karaeng (bangsawan). Beliau juga mendapat nama panggilan lainnya
yaitu Tuan Ngeta. Panggilan ‘tuan’ sendiri ditujukan bagi mereka yang merupakan
keturunan Sayyid dan Syarifah, yang bernasab pada Sayyidina Ali bin Abi Thalib
dan Fatimah RA, anak bungsu Rasulullah SAW,” jelasnya.
Moh Amin Aidid mengatakan, Sayyid
Bahrullah bin Atiqullah disebutkan menikahi salah seorang bangsawan Kerajaan
Palu, di mana pernikahan tersebut dikaruniai lima orang anak, yaitu Sayyid Mohyiddin
bergelar Karaeng Boyantongo karena memilih wilayah dakwah di kawasan Boyantongo,
Sayyid Mohammad Din yang bergelar Karaeng Paleleh, karena memilih berdakwah di
kawasan Paleleh, Buol, Sayyid Mohammad Syah bergelar Karaeng Pelawa, yang
berdakwah di kawasan Pelawa, Kabupaten Parigi Moutong, Sayyid Mohammad Amin bergelar
Karaeng Loro-loro (karena serng menggunakan baju bermotif garis-garis atau
loro-loro), yang berdakwah di kawasan Besusu, serta Sayyid Abdul Rasyid
bergelar Karaeng Tiba, yang berdakwan di wilayah Sidondo, Kabupaten Sigi.
Silsilah yang disadur dari silsilah sebelumnya, yang disusun pada tahun 1975. FOTO: JEFRI/MS |
Tradisi Maulu: Ideologisasi Islam Ala Cikoang di Lembah Palu
Sebagai sarana dakwahnya, Sayyid
Bahrullah secara perlahan mengubah kebiasaan masyarakat setempat, yang saat itu
sebagian besar masih menganut animisme dan dinamisme, dengan pendekatan
kebudayaan. Tradisi Palaka yaitu sebuah tradisi berupa persembahan sesajian
bersifat animisme dan politeisme yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat
di masa itu, perlahan dirubah dengan peringatan
Maulid (Maulu), yang secara turun temurun dilakukan oleh Komunitas Cikoang. Jika
di Cikoang, peringatan Maulid (Maudu) identik dengan bentuk perahu atau kapal, yang
menujukkan akulturasi dengan budaya setempat yaitu budaya maritim, peringatan
Maulid di wilayah Boyantongo, menggunakan media berbentuk segi empat, yang
dinamakan Paha’ atau Paham, di mana filosofinya, dengan peringatan Maulid
tersebut, masyarakat setempat mulai memahami bahwa tradisi yang mereka lakukan
sebelumnya, bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam pelaksanaan peringatan Maulid
ini, dilakukan pembacaan pujian-pujian Sarafal A’nam sampai selesai, dan kini
biasanya setelah pembacaan hikmah maulid, para jamaah yang hadir langsung
saling berebut telur yang ada di pohon telur hias yang diadakan untuk memeriahkan
maulid, yang dipercaya membawa keberkahan dalam Maulid. Setiap bagian dalam Paha’ memiliki
filosofinya masing-masing, misalnya kotak kayu paha’ untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa Kabbah
sebagai kiblat umat Islam, bentuknya persegi, bendera adalah simbolisasi sahabat
Nabi, di mana 4 bendera besar di tiap sudutnya adalah pengenalan 4 sahabat Nabi
yang utama, kemudian kain hijau yang menutupi Paha’ bertuliskan kalimat tauhid Laa
Ilaha Ilallah, bermakna kita harus berpegang pada kalimat tauhid ‘Tiada Tuhan
Selain Allah’.
Peringatan Maulid ini awalnya diperkenalkan melalui kerabat-kerabat Kerajaan Palu dan Dewan Adat Patanggota Kerajaan Palu, yang kemudian menyebar sampai ke wilayah Besusu, Pogego, Vunta (sekarang Tadulako), Talise, Sidondo, Dolo, Biromaru, Tawaeli, Pantoloan dan wilayah-wilayah lainnya yang berada di lembah Palu.
Kemudian, telur bisa diartikan
sebagai rahasia Islam (thariqah), bila telah berma'rifat, di mana kuning
telurnya adalah rahasianya, ayam yang disediakan, sama artinya dengan telur,
yakni telur bisa berubah menjadi ayam, yang bermakna, manusia selalu mengalami
perubahan nasib sesuai takdir-Nya. Kemudian, bunga-bunga ditaruh di Paha’ melambangkan
cucu Rasulullah yaitu Hasan dan Husain, serta para sahabat yang harum sejarah
hidupnya, karen berdakwah dan berjihad di Jalan Allah.
“Lalu pembacaan ratib maulid
syarafal anam adalah dzikir shalawat, sesuai dengan perintah Allah untuk
bershalawat kepada Nabi dan dzurriyahnya, dan pembagian sudaka maulid berupa pulut
dan isinya, yang dianggap sebagai ungkapan rasa syukur, mengajarkan kita untuk
bersedekah. Jadi, ketika pendahulu mendirikan Maulid, beliau menjelaskan satu
persatu tentang Islam melalui media Paha dan Ratib Maulid,” jelas Randy.
Peringatan Maulid ini awalnya diperkenalkan melalui kerabat-kerabat Kerajaan Palu dan Dewan Adat Patanggota Kerajaan Palu, yang kemudian menyebar sampai ke wilayah Besusu, Pogego, Vunta (sekarang Tadulako), Talise, Sidondo, Dolo, Biromaru, Tawaeli, Pantoloan dan wilayah-wilayah lainnya yang berada di lembah Palu.
“Bahkan tradisi Maulid ini sampai
menyebar ke wilayah Pantai Timur Kabupaten Parigi Moutong, tepatnya di
Kecamatan Parigi dan Kecamatan Ampibabo. Untuk peringatan Maulid ini, kini masih
bisa kita jumpai di beberapa wilayah, seperti di Desa Rogo, Desa Pulu, Desa Sambo,
Desa Bobo, Desa Deasi di Kabupaten Sigi, Desa Pelawa, Kota Parigi, di Kabupaten
Parigi Moutong, serta Kelurahan Baru, Kelurahan Kamonji, wilayah Besusu, Kelurahan
Talise, serta wilayah Tawaeli,” jelas salah seorang tokoh perempuan Kelurahan Besusu
Barat, Iriatul Zahra Hasan.
Jika dilihat dari esensinya,
pelaksanaan peringatan Maulid ini, merupakan upaya ideologisasi ajaran Islam di
masyarakat setempat, yang mencoba menyentuh alam pikiran masyarakat, melalui pendekatan
kebudayaan. Pendekatan serupa juga dilakukan oleh para Wali Songo di Jawa, yang
menggunakan pendekatan kesenian dan kebudayaan. Pendekatan seperti ini,
dilakukan oleh para mubalig untuk mencegah rsistensi di masyarakat atas
penyebaran Islam, sekaligus sebagai upaya mendekatkan ajaran Islam dengan
kehidupan sosial antropologis masyarakat setempat.
FOTO: Silsilah
Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid
yang ditulis dalam gulungan kertas yang
disimpan dalam bilah bambu. FOTO: JEFRI/MS
|
Eksistensi Saat Ini
Selain terus menggelar peringatan
Maulid setiap tahunnya, komunitas Cikoang yang ada di lembah Palu ini, kini
juga tengah dalam proses untuk terus melakukan pemutakhiran silsilah keluarga, dengan
menambahkan keturunan yang baru lahir. Adapun masing-masing keluarga memegang
silsilah keluarga yang disalin dari sebuah silsilah besar, yang kini berada di
dalam pengawasan Penghulu Adat Kerajaan Laikang, Makassar. Keluarga Sayyid Bahrullah
sendiri memiliki silsilah beraksara Arab yang ditulis dalam kertas gulungan
yang disimpan dalam sebliah batang bambu. Silsilah ini menurut Randy Ibrahim
Bafaqih, dibuat sekitar akhir 1800-an oleh Sayyid Bahrullah.
“Silsilah ini kita tulis kembali
dengan penambahan anggota keluarga secara berkala. Disadur kembali pertama kali
tahun 1975, masih dengan aksara Arab, kemudian pada tahun 1998 disadur kembali
ke dalam huruf latin. Saat ini kita juga masih dalam tahap pemutakhiran terus,”
jelasnya.
Selain silsilah, keluarga Sayyid Bahrullah
juga masih menyimpan sejumlah kitab-kitab tasawuf peninggalan Sayyid Bahrullah,
yang sebagian besar merupakan kitab golongan Tarekat Alawiyyah atau Tarekat As-Sadah
Al-Ba’alawi, yang merupakan suatu tarekat sufi Islam Sunni yang
terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba'alawi, bergelar Al-Faqih
Al-Muqaddam.
Untuk merekatkan silaturahmi
keluarga, keturunan Sayyid Bahrullah membentuk sebuah kerukunan keluarga, di
mana di dalamnya terdapat berbagai kegiatan, seperti arisan keluarga, dzikir
bersama, hingga halal bihalal di acara hari besar Islam, seperti peringatan Maulid,
Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.***
2 Comments
Assalamu’alaikum kak. Boleh tau alamat om sejarahwan ini? Soalnya saya mau tau lebih detail silsilah Al’Aidid ini. Makasih kak 🙏🏻
ReplyDeletewalaikum salam, silahkan hubungi akun FB Randy Ibrahim Bafagih.
ReplyDelete