FOTO: Gedung Juang saat ini. FOTO: DOK. JEFRI |
Hujan mengguyur setiap sudut Kota Palu sejak siang. Terik matahari dari pagi hingga siang, seolah tidak berarti. Sesekali, gemuruh petir menggelegar, menyeruak di antara deru hujan.
Terjebak di tengah derasnya hujan, di sebuah warung kopi di sudut Kota Palu, di sisi sebuah jalan yang belum lama ini berubah nama dan menjadi lebih ramai, setelah hadir sebuah jembatan penghubung yang membelah Sungai Palu, membuat saya iseng membuka kembali foto-foto Kota Palu masa kolonial, di sebuah laman situs berbahasa Belanda. Ada dua foto yang menarik perhatianku, dua-duanya foto sebuah gedung yang kini menyandang nama Gedung Juang, yang masih berdiri kokoh di sisi Jalan Cempaka, yang kini berada di wilayah Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Timur. Di seberang jalannya, sebuah taman yang dulu dikenal dengan nama Lapangan Hombo, kini dalam proses renovasi.
Foto pertama berjudul Controleurswoning, Paloe (Rumah Kontrolir, Palu), dengan estimasi titimangsa 1920 - 1935. Dalam foto ini, terlihat tampak depan gedung (Gedung Juang) yang terhalang rimbun pepohonan. Di depannya, nampak tiang pagar berkelir putih dengan rangka kayu berwarna gelap.
FOTO: Rumah Kontrolir Palu (kini Gedung Juang). FOTO: NMVW |
Foto kedua mengambil judul yang sama, dengan estimasi titimangsa 1930 – 1936. Dalam foto tampak gedung diambil dari posisi dekat dan menyamping, sehingga memperlihatkan dengan jelas ornamen di bagian atas gedung. Potret ini nampak tidak jauh berbeda dengan kondisi Gedung Juang saat ini.
FOTO: Rumah Kontrolir Palu di tahun 1930-an (kini Gedung Juang). FOTO: NMVW |
Kedua foto tersebut, saat ini merupakan satu-satunya penanda bahwa gedung ini memang dibangun pada masa kolonial. Namun, tahun pasti pembangunan gedung itu, alasan pemilihan kawasan, hingga bagaimana kawasan itu kemudian menjadi landmark kota kolonial Palu, sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.
Arsip memori serah terima jabatan Kontrolir Palu, M.C. Voorn pada 1925, membuka sedikit tabir gelap tahun pembangunan gedung itu, juga alasan pemilihan kawasan itu sebagai kawasan kota kolonial Palu. Kontrolir Palu periode 31 Mei 1924 hingga 9 Desember 1925 ini menulis dalam memorinya, dalam anggaran belanja tahun 1924, sejumlah dana diperuntukkan untuk pembangunan rumah pengawas (kontrolir). Hal ini dilakukan karena bangunan itu sudah tidak bagus lagi, dan terletak di lokasi yang terendam air (banjir), saat muka air di Sungai Paloe (Palu) sedang tinggi.
Oleh karena itu menurut M.C. Voorn, bangunan ini harus ditinggalkan karena alasan kesehatan. Tempat tinggal pribadi untuk staf senior juga harus dibangun, karena kondisi perumahan di tempat itu tidak terlalu menguntungkan.
Narasi Voorn ini mengindikasikan beberapa hal. Pertama, rumah Kontrolir Palu sebelum di Gedung Juang, terletak di kawasan yang berada di dekat Sungai Palu, sehingga kerap tergenang banjir saat Sungai Palu meluap. Kedua, sebelum terpusat di kawasan kota kolonial di sekitar Gedung Juang, kawasan kota kolonial Palu terletak di kawasan bantaran sungai Palu.
Dugaan sementara, kawasan kota kolonial Palu berada di wilayah yang kini dikenal dengan nama Maesa, yang terletak di wilayah Kelurahan Lolu Selatan, Kecamatan Palu Timur. Asumsi ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni keberadaan tangsi militer dan pemakaman Belanda dan Minahasa di kawasan itu. Kawasan ini juga berada di bantaran Sungai Palu dan di periode itu hingga 1960-an, selalu digenangi banjir, jika Sungai Palu meluap.
Kemungkinan kedua, rumah Kontrolir berada di kawasan Ujuna (sekarang Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat), dengan asumsi konsentrasi pemukiman pendatang di kawasan tersebut, serta keberadaan pasar di dekat kawasan itu.
Menurut laporan Voorn, pekerjaan pembangunan rumah kontrolir dimulai pada 1 Juni 1924. Untuk mendukung pembangunan ini, sebuah gudang sementara yang besar, didirikan untuk pekerja Cina. Lokasi yang dipilih untuk pembangunan itu, terletak lebih tinggi dari bangunan rumah kontrolir sebelumnya. Lokasi ini secara bertahap dibersihkan dari kaktus yang menutupi keseluruhan lokasi.
Dari narasi ini dapat dilihat bahwa lokasi yang dipilih untuk pembangunan rumah Kontrolir yang baru adalah lokasi gedung Juang saat ini, yang lebih tinggi dari lokasi sebelumnya. Narasi ini juga menghadirkan satu fakta menarik, bahwa lokasi itu dahulu merupakan lokasi yang ditumbuhi kaktus. Kontrolir Palu periode 11 Oktober 1932 hingga 1935, J.A. Vorstman dalam memorinya bahkan menulis laporan asisten konsultan pertanian di tahun 1933, tentang dominasi tumbuhan Kaktus di Palu. Hal ini disebutnya sebagai fenomena wabah Kaktus.
Adapun daerah di Palu yang ditumbuhi kaktus menurut laporan ini, yakni Tatura, jalur menuju Tawaeli, Talise, Tanamodindi, Kawatuna, Petobo dan Kapopo. Untuk membasmi wabah Kaktus ini, Vorstman melalui Dinas Kehutanan, berencana mengimpor ngengat dari Ceylon (Srilangka), yang dikenal sebagai kumbang pemakan Kaktus.
Geolog berkebangsaan Belanda, E.C. Abendanon, dalam buku hasil penelitiannya tentang geografi dan geologi di Sulawesi bagian Tengah, yang terbit tahun 1915 menyebut, lahan yang ditumbuhi kaktus itu, dulunya adalah padang sabana yang hijau. Pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman, menjadikan lahan tersebut stres dan kering
Voorn menulis, seluruh kantor administrasi baru, akan dibangun di daerah itu (lokasi Gedung Juang red.). Setelah sekitar 2 bulan, tempat tinggal staf pertama sudah siap dan dua lainnya hampir selesai. Sementara itu, pembersihan lokasi telah berkembang lebih jauh dan sebuah alun-alun besar telah dibuat, di mana rumah Kontolir akan ditempatkan.
FOTO: Kantor Kontrolir Palu (kini lahan kosong bekas Kantor DPRD Kab. Donggala). FOTO: NMVW |
Narasi ini menghadirkan dua kesimpulan. Pertama, lokasi ini kemudian dipilih sebagai lokasi kawasan perkantoran kolonial. Kedua, dari narasi ini terkonfirmasi jika alun-alun di depan Gedung Juang yang kini dikenal sebagai Bundaran Taman Nasional (sebelumnya dikenal dengan nama Lapangan Hombo), dibangun bersamaan dengan pembangunan rumah Kontrolir (Gedung Juang).
Lanjut Voorn dalam memorinya, rumah ini akan diserahkan pada akhir Desember 1924, tetapi keadaan tak terduga menyebabkan penundaan, sehingga rumah itu tidak siap dihuni, hingga 1 April 1925. Untuk pengembangan kawasan, dilakukan pembukaan jalan melalui kaktus ke kampung Tatoera (Tatura), yang saat itu masih terdiri dari empat rumah, sedangkan kampung-kampung (Boya) lainnya, tersebar di mana-mana. Jalan itu kemudian diratakan dan dilebarkan, sehingga sekarang menjadi jalan utama di pedalaman Palu, yang disebut membawa kawasan itu keluar dari keterisolasiannya.
Voorn juga menulis, di kiri dan kanan jalan melewati rumah Kontrolir, rumah-rumah pemimpin boya Tatura, muncul perlahan. Sebagian baru, sebagian dipindahkan dari tempat lama ke lokasi itu. Lambat laun, sebuah kampung yang sangat besar akan muncul di sini, yang berbatasan dengan Kota Paloe (Palu).
Dirinya juga menulis, dalam anggaran belanja tahun 1925, sejumlah dana dialokasikan untuk kantor Kontrolir baru, pasanggrahan baru dan rumah keempat bagi staf. Anggaran ini juga memperhitungkan pemindahan dan konversi kantor Kontrolir lama menjadi rumah sakit, yang mampu menampung kurang lebih 50 pasien, karena rumah sakit lama terlalu kecil dan tidak lagi memenuhi persyaratan kebersihan.
FOTO: Pesanggrahan baru yang dibangun pada 1925. FOTO: NMVW |
Dari narasi ini dapat kita lihat, dengan pembangunan rumah Kontrolir dan sejumlah bangunan di kawasan itu, kemudian dilakukan pengembangan kawasan untuk kantor Kontrolir, pesanggrahan, serta rumah staf.
Voorn menyebut, kantor Kontrolir tersebut diserahkan pada akhir Oktober 1925, sedangkan pasanggrahan baru akan siap sepenuhnya pada akhir 1925. tempat tinggal keempat untuk staf juga akan selesai pada saat itu. Kemudian, karena tidak adanya gambar desain yang diminta untuk rumah sakit, konstruksi ini hanya dapat dikontrakkan pada November 1925. Fasilitas ini sendiri disebut tidak akan selesai sampai 1926.
FOTO: Rumah Sakit di Palu tahun 1930. Pembangunannya dimulai pada 1925. FOTO: NMVW |
Selanjutnya, pada anggaran tahun 1926, sejumlah dana lebih lanjut disisihkan untuk pembangunan rumah kelima untuk staf, garasi dengan rol uap untuk mobil, juga untuk gedung sekolah baru untuk Gouvernements Inlandsche School der Tweede Klaase.
FOTO: Bangunan sekolah di Palu yang dibangun pada 1926. FOTO: NMVW |
Menurut Voorn, jika bangunan-bangunan ini telah didirikan, maka kompleks yang berkelanjutan telah muncul. Adapun rumah Kontrolir yang lama, yang untuk sementara digunakan sebagai pasanggrahan, akan diserahkan kepada Zelfbestuur Paloe, setelah selesainya pasanggrahan baru, yang dengan demikian akan memiliki rumah yang lebih baik daripada yang ia miliki.
FOTO: Rumah Kontrolir Palu yang lama (sebelum dipindahkan pada 1924), yang digunakan sebagai pesanggrahan, dan kemudian dijadikan rumah Zelfbestuur Palu. FOTO: NMVW |
Apa yang dikatakan Voorn, kemudian memang terbukti. Setelah bangunan-bangunan tersebut selesai, sebuah kawasan kota kolonial Palu terbentuk. Kawasan ini kemudian terkoneksi dengan pusat pemukiman di Palu bagian barat, dan Palu bagian timur, yang keduanya berada di bantaran Sungai Palu.
Apa yang disampaikan Voorn ini juga menegaskan, kawasan kota kolonial Palu, dibangun dengan perencanaan yang matang, yang mempertimbangkan segala aspek, bukan hanya asal bangun. Maka, sudah sepatutnya peninggalan di kawasan kota kolonial beserta kawasan pendukungnya ini, mendapat perhatian pemerintah untuk direhabilitasi dan tetap dijaga keasliannya, sesuai aturan yang berlaku untuk penanganan kawasan bernilai sejarah.
0 Comments