Lemodaru: Jejak Cendana di Tana Kaili

Lemodaru: Jejak Cendana di Tana Kaili

FOTO: Komunitas Peduli Masyarakat Adat dan Kelurahan Poboya, saat menelusuri jejak Cendana (Lemodaru) di wilayah Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Juli 2021.
FOTO: DOK Irwan S. Levantina / Grup FB Komunitas Sejarah dan Budaya Kaili


Dalam sejarah Indonesia, keberadaan kayu Cendana identik dengan kepulauan Nusa Tenggara. Nama Nusa Cendana bahkan disematkan kepada wilayah kepulauan yang berada di selatan nusantara itu.

Tidak banyak yang mengetahui, kayu Cendana ternyata pernah menjadi salah satu komoditi unggulan dari wilayah teluk Palu dan sekitarnya, yang dulu dikenal dengan sebutan Kaili. Pedagang Portugal, Antonio de Paiva, dalam catatannya menyebut, dirinya meninggalkan Malaka pada 1542 menuju Sulawesi, untuk berdagang kayu Cendana di Durate, yang terletak di Tolitoli dan Dampelas. Paiva juga menyebut, wilayah pantai barat laut Sulawesi, kaya akan kayu cendana dan emas.

Sementara itu, sejarawan UIN Datokarama Palu, Moh. Sairin, dalam tulisannya, Dunia Maritim Teluk Palu Masa Prakolonial menyebut, kayu cendana jenis Santalum album dan Santalum Malabarica yang berasal dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, telah diperdagangkan di Cina pada awal abad ke-15, bersama kayu Eboni. Kehadiran kayu cendana dari Donggala juga telah dimuat dalam catatan Paiva tahun 1544. Mengutip Ferrand, Sairin menjelaskan, kayu mewah yang disebut Makasari, yang dikabarkan oleh Abu’l Fazl-i’ Allami kepada Maharaja Mughal di India merupakan kayu cendana, terutama jenis kayu cendana akar yang dihasilkan di Donggala.

Sumber lainya, yakni Cornelis Speelman, dalam catatannya yang disebut J. Noorduyn dalam Islamisasi Makassar menyebut, kayu Cendana (Sandelhout) adalah komoditi dari Kaili yang diperdagangkan ke sejumlah wilayah, seperti Macao, Siam, Kamboja, Batavia, Banten, Palembang, Jambi, Johor, Malaka, Aceh, pada medio 1600-an. Hal ini yang menjadikan Kaili sebagai salah satu daerah singgah kapal-kapal dagang Bugis Makassar.

Kaili sendiri menurut Sairin, digunakan untuk menamai wilayah di kawasan Teluk Palu dan sekitarnya. Sairin menyebut beberapa orang asing yang menggunakan kata Kaili dalam konteks penamaan kawasan Teluk Palu dan sekitarnya, misalnya  A.C. Kruyt yang menyebut Kaili merupakan nama sebuah kampung di dekat Tawaeli, di sekitar Pantoloan, kemudian Navarette yang menyebut Kerajaan Caile, lalu Padtbrugge yang menggunakan Kaili sebagai sebutan untuk seluruh wilayah di Teluk Palu.

Selanjutnya, sebuah sumber VOC abad 18 mendefenisikan Kaili sebagai penduduk yang bermukim antara Palu dan Tolitoli. Kemudian Sairin, mengutip catatan Valentijn yang mengutip kesaksian seorang serdadu VOC yang berkunjung ke wilayah sekitar Teluk Palu pada September 1681 menyebut, Teluk Palu disebut dengan nama Teluk Cajeli (baca: Kaili).

Pasca 1600-an, kayu Cendana di wilayah Kaili tidak lagi terdengar gaungnya. Sairin menyebut, Ada kemungkinan penggundulan hutan yang terjadi di wilayah lembah Palu, terkait dengan ekploitasi kayu yang berlebihan. Sumber VOC tahun 1669 menyebutkan, lereng pegunungan terjal yang memagari Teluk Palu sudah gundul tanpa pepohonan, berumput, dan mirip barisan gundukan pasir. Pejabat kolonial Belanda pada abad 20 kata Sairin, meyakini bahwa penggundulan hutan di lembah Palu merupakan akibat ulah manusia.

Masyarakat lokal di wilayah Teluk Palu dan sekitarnya, mengenal Cendana dengan sebutan Lemodaru. Donna Evans dalam Kamus Kaili Ledo, menyebut Lemodaru sebagai pohon jeruk, sementara itu, dalam banyak referensi mengenai kayu, Lemodaru atau Lemo Daru, digunakan sebagai penamaan lokal dari Santalum album (Cendana).

Pegiat Komunitas Sejarah dan Budaya Kaili, Rahmat Hidayat Yodjo menyebut, Cendana atau lemodaru, banyak tumbuh liar di pegunungan, seperti di wilayah perbukitan Vatutela, Poboya, dan Kawatuna, di sisi Timur Kota Palu. Namun kata dia, Cendana yang tumbuh di kawasan ini, tidak sama besarnya dengan pohon Cendana di bagian Jawa. Cendana Kaili lebih kerdil namun memiliki aroma yang lebih kuat.

Lanjut Rahmat, sekira tahun 2006, banyak sekali pembeli Cendana dari luar Sulteng, yang membeli Cendana di wilayah Palu dan sekitarnya. Pembeli kata dia, berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan, yang membeli tiga macam pohon, yakni Lemodaru, Tumpu Jono dan Valangguni. Ketiga kayu ini dijual dengan cara ditimbang per kilo, namun untuk khusus Lemodaru, harga jual dilihat berdasarkan kualitas “mareno” nya.

FOTO: Bagian yang diberi tanda nomor 1, oleh pembeli dan penjual Lemodaru, dikenal dengan istilah Mareno, sedangkan nomor 2 adalah Gubal.
FOTO: DOK RAHMAT YODJO


“Bagian lapisan tengah kayu yang meligkar berwarna hitam, oleh pembeli dan penjual Lemodaru dikenal dengan istilah Mareno, sedangkan sisi bagian luar Mareno, dinamakan Gubal. Semakin besar diameter Mareno, semakin mahal harga jualnya,” ujar Rahmat, Kamis (26/8/2021).

Lanjut Rahmat, pada masa pemerintahan Gubernur Sulteng periode 1986-1996, Abdul Aziz Lamadjido, sempat dikembangkan penanaman Cendana. Saya masih menemukan jejak sisa-sisa penanaman itu di area sekitar Gedung TMG di Jalan Soekarno-Hatta, Palu. Bentuk pohonnya lebih besar namun Mareno -nya kecil, sehingga keharumannya kurang, karena keharuman Cendana banyak terdapat di dalam Mareno.

“Pembeli asal Makassar saat itu menyebut Cendana lokal kita (Lemodaru) dengan sebutan Cendana hitam, Tumpu Jono dengan sebutan Cendana jantan, dan Valangguni dengan sebutan akar kuning," jelasnya.

Menurutnya, pohon Cendana (Lemodaru) di wilayah Palu dan sekitarnya masih banyak. Tunas Cendana kata dia, dapat begitu mudah tumbuh, karena Cendana dapat mengeluarkan tunas, lewat sisa potongan akar, walaupun potongan akar lainnya telah diambil oleh pencari Cendana.

Pemerintah sudah seharusnya melihat potensi kayu Cendana di wilayah Palu dan sekitarnya, karena tanaman ini pernah menjadi komoditi unggulan daerah kita di masa lalu. ***

Post a Comment

0 Comments