FOTO: Penderita kusta di Watusampu, antara Donggala dan palu, tahun 1924. FOTO: Koleksi Troppen Museum |
Kruyt menulis, para penderita kusta berada di bawah pengawasan harian seorang perawat pemerintah, yang menerima gaji 200 gulden sebulan, di mana dirinya sendiri juga adalah seorang penderita kusta. Koloni ini sepenuhnya didanai oleh dana kas Onderafdeeling Paloe (Palu). Dikatakan, bagi mereka yang datang dari luar wilayah ini, harus membayar sejumlah 0,50 gulden per hari dan per orang, ke kas Paloe (Palu).
Para pasien ditempatkan di rumah-rumah kecil yang mereka bangun sendiri, sejauh mungkin. Kuyt menulis, pernikahan tidak jarang diselesaikan di antara mereka.
Pemerintah lanjutnya, memiliki niatan untuk menyerahkan penanganan penyakit kusta ini kepada Bala Keselamatan, dengan cara dan kondisi seperti di Surabaya dan di Semarang, dengan instansi pemerintahan serupa di Semarung dan Pelantungan.
Semarung dan Pelantungan sendiri diketahui merupakan rumah sakit khusus penderita lepra, yang masing-masing didirikan pada 1912 dan 1875. Pada tanggal 28 Desember 1910, Pelantungan beralih di bawah pengelolaan Bala Keselamatan.
Pada tahun 1924, penanganan kusta telah diambil alih oleh Bala Keselamatan. Hal ini tercatat dalam buku karya E.H. Hermans, Het Lepra Vraagstuk, yang terbit tahun 1924. Menurut Hermans, penanganan kusta di Palu, dikelola oleh Bala Keselamatan, dengan sistem paviliun, yang dilengkapi untuk 150 penderita.
Penanganan kusta di Watusampu sendiri, menerima kritikan saat dilakukan inspeksi oleh Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD), sebuah lembaga layanan kesehatan sipil bentukan Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1924. Hal ini tercatat dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad edisi 21 Oktober 1924.
Surat kabar tersebut menulis, lokasi penanganan penyakit kusta di antara Donggala dan Palu yang disebut Watusampu, yang dikelola oleh lanskap, ternyata sangat merugikan. Hal ini karena lokasi penanganan kusta tersebut, didirikan di atas sebidang tanah berbatu, sehingga tidak ada kesempatan untuk bercocok tanam tanaman pertanian, yang diperlukan untuk mata pencaharian, bagi para penderita kusta.
Surat kabar ini menulis, fasilitas iitu dikelola oleh orang Eropa, sementara dokter dari Palu datang untuk memeriksanya sesekali. Fasilitas ini terdiri dari empat puluh rumah kampung, di mana dalam satu rumah, tiga sampai enam pasien dirawat.
Sistem ini dinilai baik dan diikuti oleh banyak penderita kusta, dan berkontribusi pada penderita kusta yang tinggal di lingkungan di mana dia dijauhi, akan merasa seperti di rumah sendiri.
Namun, karena lokasi yang tidak sesuai, maka dipilih lokasi yang berbeda untuk pendirian fasilitas ini, yakni lokasi yang lebih dekat dengan pemukiman, yang lebih sesuai untuk kelangsungan penyakit kusta.
Pemindahan lokasi penanganan kusta ini juga ditulis oleh surat kabar De Sumatera Post edisi 31 Oktober 1924. Surat kabar ini menulis, lokasi penanganan kusta di Watusampu, yang terletak di antara Donggala dan Palu akan dipindahkan ke lokasi yang lebih dekat dengan pemukiman, karena lokasi sebelumnya terletak di medan berbatu dan tidak sesuai.
Sekretaris Jenderal Bala Keselamatan di Hindia Belanda, Letnan Kolonel J.P. Rawie, dalam nukilan wawancaranya dengan De Indische Courant, terkait perjalanannya ke wilayah Sulawesi Tengah, Juli-Agustus 1929, yang diterbitkan pada 10 September 1929 menceritakan, ada rencana untuk mendirikan sebuah prakoloni Bala Keselamatan di Watusampu. Kata dia, saat itu sudah ada rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah dan di dalamnya terdapat sekitar 110 penderita kusta yang dapat dirawat.
Kini (1929 red.) kata Rawie, pemerintah berencana menyerahkan pengelolaan rumah sakit kepada Bala Keselamatan, kemudian koloni akan berkembang pesat. Untuk saat ini (1929 red.), penerimaan akan ditetapkan pada 200 penderita kusta, di mana jumlah tersebut dinilai cukup untuk wilayah itu. Pembahasan pendahuluan kata dia, berjalan lancar, sehingga bisa diharapkan keputusan yang mungkin diambil tidak lama lagi.
Pada awal tahun 1937, Kruyt dalam De West Toradjas op Midden Celebes menulis, jumlah pasien kusta mencapai 55 orang. Sementara itu, dalam data distribusi minyak kaulmogra dan ester oleh Layanan Pengendalian Kusta selama tahun 1937, yang tercatat dalam tulisan J.B. Sitanala berjudul Lepra en sentiment yang terbit di Geneeskundig Tijdschrift Voor Nederlandsch-Indië volume 79, No. 11, edisi 14 Maret 1939, jumlah penderita kusta di Palu saat itu mencapai 70 orang.
0 Comments