Jejak Sejarah Tambak Garam di Teluk Palu

Jejak Sejarah Tambak Garam di Teluk Palu


 

Pengolahan garam secara tradisional telah dilakukan di wilayah Palu sejak lama. Catatan paling tua tentang pengolahan garam di Palu, terekam dalam cerita kedatangan Dato Karama, yang dinarasikan kembali oleh etnolog A. C. Kruyt dan ahli linguistik, N. Adriani, dalam De Baree Sprekende Toradjas van Midden Celebes[1]

Dalam buku yang diterbitkan tahun 1912 tersebut disebutkan, kedatangan Dato Karama diwartakan pertama kali kepada penguasa wilayah saat itu, Pue Nggari, oleh para penambak garam di pantai di kawasan Teluk Palu. Kabar inilah yang membuat Pue Nggari mengecek sendiri kebenarannya, dengan mendatangi langsung lokasi berlabuhnya Dato Karama tersebut, di pinggir pantai Teluk Palu, dengan menunggang kuda[2]

Dari cerita ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa di masa itu, para penambak garam sudah melakukan aktivitas di pantai Teluk Palu. Jika merujuk pada perkiraan waktu yang diambil oleh antropolog berkebangsaan Finlandia, Eija Maija Kotilainen, dalam tulisannya, When  The  Bones  are  Left;  A  Study  of  the Material  Culture  of  Central  Sulawesi, yang terbit tahun 1992, menyebut tahun 1606 sebagai kedatangan Dato Karama ke Palu[3]. Jika didasarkan pada cerita rakyat tersebut, berarti aktivitas tambak garam di Teluk Palu sudah dimulai di sekitar awal abad ke 17 atau mungkin sebelumnya.

Pendapat bahwa aktivitas tambak garam di Teluk Palu telah dimulai sejak awal abad ke 17 atau mungkin sebelumnya, bisa saja terjadi. Etnolog berkebangsaan Prancis, Christian Pelras, dalam Religion, Tradition, and The Dynamics of Islamization in South Sulawesi menyebutkan, saat proses islamisasi Gowa pada akhir abad ke 16, tidak semua orang siap untuk beralih. Cukup banyak yang bertahan dalam tradisi lokal.  Di antara mereka, ada sejumlah Bissu[4], di mana beberapa di antaranya terpaksa mengasingkan diri ke Kaili[5]

Migrasi para Bissu ini, merupakan salah satu dari penanda migrasi dari wilayah Gowa ke wilayah Kaili. Migrasi ini sendiri, kemungkinan besar didasari oleh kontak yang sebelumnya terjadi antara Gowa dan Kaili, di mana Raja Gowa ke X, I Manriwagau (Mariogauq) Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau yang dikenal dengan nama Tunipalangga Ulaweng (1545-1565), dalam A Chain Of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq, yang diedit dan diterjemahkan oleh William Cummings, disebutkan pernah menduduki wilayah Tolitoli dan Kaili[6].

Pendudukan oleh Gowa ini, jika dilihat, bisa jadi merupakan awal dari kontak dan migrasi yang dilakukan oleh orang-orang dari Gowa ke wilayah Sulawesi bagian tengah, termasuk Palu. Masyarakat di pesisir Sulawesi Selatan, dikenal sejak dahulu sebagai penambak garam secara tradisional. Pelras menyebut, teknik bertani mungkin didatangkan dari Jawa Timur, tetapi pembuatan tambak di pesisir Sulawesi Selatan, kemungkinan besar berevolusi dari pembuatan tambak garam yang telah lama digunakan di bagian selatan Sulawesi Selatan. Di Pangkaje'ne misalnya kata dia, beberapa tambak ini digunakan untuk budidaya ikan pada musim hujan dan sebagai tambak garam pada musim kemarau[7].

Meski wilayah Buol, Tolitoli, Dampelas, Balaesang, Sirenja dan Kaili yang sebelumnya merupakan wilayah yang berada di bawah pengaruh Gowa, pasca perjanjian Bongaya tahun 1667 lepas dari Gowa. Namun, pengaruh Gowa tidak begitu saja lepas dari wilayah-wilayah tersebut. Mukhlis Paeni menyebutkan, pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya tahun 1667, kelompok masyarakat di wilayah Kerajaan Gowa terbagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok menerima dan melaksanakan isi perjanjian tersebut, satu kelompok menyingkir ke wilayah pedalaman untuk memperdalam ilmu agama, khususnya tarekat, sementara satu kelompok lainnya memutuskan untuk berdiaspora keluar dari wilayah Makassar, dengan berbagai wilayah tujuan, seperti kawasan Melayu (Sumatera dan semenanjung Malaysia), Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, serta ke wilayah Sulawesi bagian tengah. Migrasi ini terjadi karena terjadi perubahan politik yang telah mempengaruhi jejaring perdagangan di Sulawesi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda menguasai seluruh daerah ini secara langsung dan menerapkan sistem administrasi modern. Jabatan-jabatan penting bukan lagi dari kalangan bangsawan, bahkan jabatan-jabatan penting dalam istana kerajaan juga dihilangkan. Akibatnya terjadi pengungsian dari kalangan bangsawan Bugis. Mereka keluar menuju daerah-daerah yang sebelumnya merupakan daerah migrasi para pedagang Bugis-Makassar[8].

Orang Cikoang Menambak Garam di Palu

Salah seorang keturunan mubaligh asal Cikoang, Sulawesi Selatan, Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid[9] yang bermukim di wilayah Besusu, Randi menjelaskan, aktivitas tambak garam ini dipelopori oleh orang-orang dari Gowa, Sulawesi Selatan. Golongan Karaeng ini kata dia, yang membuka lahan pegaraman di Teluk Palu, berdasarkan pengetahuan pengelolaan garam dari Gowa[10].

Pembukaan lahan pegaraman ini kata dia, erat kaitannya dengan aktivitas pelabuhan rakyat di Pantai Besusu. Pelabuhan ini kata dia, menjadi pintu gerbang para pendatang dari Sumatera, Bugis, Makassar, Arab, sekaligus tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang, yang menandai dimulainya perdagangan dengan pihak luar Palu, termasuk ikatan dagang garam dari Sulawesi bagian selatan, yakni Kerajaan Laikang, cabang dari Kerajaan Gowa[11].

Sejarawan Maritim Universitas Tadulako (Untad), Wilman Darsono Lumangino mengatakan, pelabuhan rakyat Besusu mulai beraktivitas di akhir abad ke 18 atau akhir tahun 1700 – an. Namun kata dia, masyarakat di Lembah Palu belum lama memproduksi garam dalam jumlah besar dan mereka memproduksinya bukan lewat jalur korporat[12].

Jika melihat penuturan tersebut, pembukaan aktivitas tambak garam di Teluk Palu belum lama dilakukan, mengingat menurut versi golongan Karaeng yang bermukim di Besusu, kedatangan komunitas Cikoang ini diperkirakan terjadi pada pertengahan abad ke 19, atau sekitar tahun 1840. Namun jika melihat kenyataan bahwa interaksi antara Gowa dan Kaili sudah berlansgung sejak abad ke 16, bukan sebuah hal yang mustahil bila sebelum rombongan Sayyid Bahrullah datang pada 1840, telah ada masyarakat migran dari Gowa yang lebih dulu membuka tambak garam di pesisir Teluk Palu, meskipun masih dalam skala kecil.

Kemungkinan lainnya, lokasi tambak garam dibuka oleh masyarakat yang bermigrasi dari Vonggi, di pegunungan sebelah timur lembah Palu. Kelompok migrasi yang dipimpin oleh Pue Nggari ini, berdasarkan catatan Mashyudin Mashyuda dalam buku Palu Meniti Zaman, sempat singgah untuk bermukim di lokasi yang kemudian menjadi lokasi tambak garam di Talise tersebut. Di lokasi ini mereka membuat satu sumur air tawar yang dinamakan Buvu Rasede, sebelum akhirnya mereka pindah ke kawasan Besusu (Pandapa). Kelompok migrasi ini mungkin saja menjadi pihak awal yang membuka kawasan tambak garam di lokasi tersebut, berdasarkan pengetahuan lokal yang didapatkan dari leluhur mereka yang menjalin kontak dengan Mandar, sebagaimana dituliskan oleh Kruijt dalam De West Toradjas op Midden Celebes[13].

Kehadiran para penambak garam yang merupakan masyarakat migran dari Cikoang ini, tidak hanya membuka pertambakan garam di pesisir Teluk Palu, tapi juga mengajari masyarakat lokal setempat untuk melakukan hal serupa. Hal inilah yang membuat usaha menambak garam ini, terwariskan secara turun temurun, meski tidak lagi dikelola oleh keturunan dari masyarakat migran asal Cikoang.

Selain membuka tambak garam secara massal di wilayah Limbuo (Talise), masyarakat migransala Cikoang ini juga tercatat membuka lahan tambak garam disejumlah wilayah lainnya, seperti Silae (Tonggo), Layana, dan Baiya (Tawaeli).

Darsan Indrajaya (65), salah seorang keturunan Cikoang di Mamboro, yang kini bermukim di Baiya menuturkan, setelah membuka tambak garam di Talise, para penambak garam ini kemudian membuka lahan tambak garam di wilayah Layana. Wilayah bekas tambak garam ini kata dia, saat ini berada persis di wilayah bekas perusahaan kayu Iradat Puri, di depan Masjid Iradatullah. Kata dia, karena lokasi yang sempit, penambakan garam di wilayah ini tidak berhasil. Selanjutnya, para penambak ini membuka tambak garam di wilayah antara Baiya dan Pantoloan, di bawah pengawasan Radja Tiangso. Upaya membuka lahan garam di wilayah ini terbilang sukses, karena bertahan hingga awal 1900-an. Tambak garam inilah yang membuat kawasan tersebut hingga kini dikenal dengan sebutan Pogara (penggaraman)[14]. 

Tambak Garam di Masa Kolonial

Dalam De West Toradjas op Midden Celebes dijelaskan, Kruijt saat mengunjungi kawasan lembah Palu di sekitar periode 1897 menyebut, saat mereka melanjutkan perjalanan di sepanjang teluk, mereka tiba di sisi timur teluk di Limbuo, di mana terdampat tambak garam yang luas, yang diciptakan oleh pemerintah lanskap Palu. Tambak garam ini kata dia, dikelola oleh penduduk dan pemerintah membeli dari mereka seharga f1 (satu gulden) per pikul atau sekitar 60,479 kg[15].

Kruijt mencatat, gudang garam ini terletak di Talise Bali. Pemerintah memonopoli perdagangan garam tersebut dengan harga jual f6 per pikul, selama beberapa tahun. Perusahaan ini menurut dia, telah memberikan pemerintah keuntungan besar, terutama dalam pembangunan infrastruktur, antara lain jembatan besi yang dibangun di Palu dan di atas Gumbasa dekat Sakidi, di bagian selatan lembah Palu[16].

Ada dua tempat produksi garam di Palu saat itu, yaitu di Limbuo (Talise) dan Tonggo (Silae). Di antara kedua tempat yang memproduksi garam tersebut, Limbuo merupakan yang paling produktif, sedangkan tambak garam yang ada di Tonggo, sejak tahun 1924 sudah mulai terabaikan oleh para pembuat garam, karena adanya tanaman kelapa di sekitar pantai Tonggo, sehingga pemilik kelapa keberatan atas usaha pembuatan garam tersebut[17].

Pemerintah kolonial sendiri menurut Idrus, tampaknya lebih memberikan perhatian terhadap Limbuo, karena dari hasil pembuatan garam, Onderafdeeling Palu dapat meraup keuntungan sebagai kas pemerintah. Selama periode 1921-1925, Limbou berhasil memproduksi garam masing-masing; 7.229 pikul, 14.007 pikul, 14.941 pikul 5.825 dan 10.572 pikul[18]

 

Penurunan produksi garam Limbuo pada tahun 1924. Penurunan yang sangat tajam ini, dipengaruhi oleh cuaca yang lembab selama periode 1924. Di samping itu, sebelum tahun 1924, para pembuat garam Limbou masih mencapai 100 orang namun turun hingga 50 persen pada tahun 1924[19].

Adapun dalam tulisan tersebut, Idrus menjelaskan, harga garam dari para pembuat garam, ditetapkan f1,25 per pikul. Sementara itu dari gudang garam Palu ke perusahaan dagang Borneo-Sumatera, ditetapkan dengan harga f3,60 per pikul[20]

Adanya perusahaan yang melakukan ekspor garam ke berbagai daerah di Indonesia, menunjukkan garam merupakan salah satu komoditi andalan dalam perdagangan di Palu. Oleh sebab itu, tidak mengherankan Belanda memberikan perhatian yang besar terhadap tambak garam Limbuo, termasuk menentukan secara monopoli perusahaan yang diberikan kontrak untuk mengekspor garam. 

Pengusaha etnis Cina di Palu maupun Donggala, sebenarnya juga tertarik melakukan kontrak penjualan garam ke daerah lain, tapi sampai tahun 1925, Belanda tidak memberikan ijin kepada pengusaha Cina. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 15 Pebruari 1933, usaha garam Talise diambil-alih oleh pemerintah dan kemudian dihentikan. Para pembuat garam menerima ganti rugi dengan hasil bruto selama lima tahun[21].

Salah seorang keturunan Karaeng dari Besusu, Randi menjelaskan, setelah 1945, salah seorang pedagang garam asli Cikoang terakhir yang menetap dan mengelola garam di lokasi tersebut adalah Habib Ali bin Muhammad Bajrun Bafagih Al-Aidid. Setelah beliau wafat, sepenuhnya perdagangan garam dikelola warga setempat[22].

Dermaga Limbuo: Pintu Gerbang Komoditi Garam di Palu

Pasca bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang melanda wilayah Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala, 28 September 2018 lalu, sebagian wilayah di kawasan Pantai Talise yang sempat ditimbun untuk proses reklamasi beberapa tahun sebelumnya, kembali seperti semula. Wilayah pantai yang kembali seperti semula ini, menyajikan fenomena menarik. Tidak jauh dari lokasi kawasan penggaraman pantai Talise, di bekas kawasan reklamasi tersebut, nampak berdiri sejumlah tiang pancang bekas dermaga.

Siapa nyana, tiang pancang tersebut merupakan tiang pancang bekas dermaga pelabuhan Limbuo yang telah eksis sejak zaman kolonial. Koordinator Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST), Moh Herianto, Sabtu (27/10/2018), membenarkan hal tersebut. Menurut Anto, sapaan akrabnya, setelah tim KHST melakukan penelusuran dan mencocokkan dengan arsip foto dermaga Limbuo tahun 1920an serta cerita dari sejumlah narasumber yang mengetahui cerita tentang dermaga tersebut, dipastikan tiang pancang tersebut adalah tiang pancang dermaga Limbuo[23].

“Dermaga ini eksis pada medio 1920an. Hal ini dapat dilihat dari foto karya seorang fotografer asal Belanda, HF Tillema, dengan latar sebuah bentangan alam berupa teluk dan gunung yang menjulang, dengan keterangan pada metadata fotonya ‘overdekte boot en een prauw met een overdekte aanlegplaats bij steiger te Paloe Celebes’ (perahu tertutup dan perahu dengan tempat berlindung di dermaga Palu, Celebes). Adapun tahun pengambilannya tertulis sekitar tahun 1920-1925,” jelas Anto[24].

Dermaga kayu dalam foto ini kata Anto, turut menjadi korban saat bencana gempa bumi dan tsunami melanda kawasan teluk Palu, 1 Desember 1927. Kata dia, pasca bencana tersebut, kemungkinan tiang pancangnya diganti dengan tiang pancang berbahan besi[25].

Dermaga dengan tiang pancang besi ini, diperkirakan tetap beroperasi hingga akhir 1960an. Andi Alimuddin Rauf, salah seorang tokoh masyarakat Kota Palu mengisahkan, sekitar tahun 1968, saat masih duduk di bangku SD, dirinya pernah naik kapal motor ke Donggala (Banawa), berangkat dari pelabuhan Limbuo tersebut.

“Letaknya kalau tidak salah, persis di dekat jembatan yang ada di pantai Talise itu. Waktu itu, saya bersama ayah saya yang merupakan salah sseorang anggota DPRD Donggala saat itu, ikut rombongan Bupati Donggala saat itu, Azis Lamadjido, bersama Ketua DPRD Donggala. Di kapal motor itu, hanya saya dan Rudi Lamadjido, anak kecil yang turut dalam rombongan itu. Saat itu, banyak perahu yang berlabuh di sekitar dermaga itu,” kenangnya[26].

Dermaga Limbuo ini pada masa jayanya, sekitar tahun 1920an, merupakan pintu gerbang lalu lintas perdagangan di kawasan Teluk Palu. Sejarawan Universitas Tadulako (Untad), Moh Sairin menjelaskan, Dulu Pelabuhan Limbuo ini rutin disinggahi kapal motor milik Koninklijk Paketvaart Matschappij (KPM), semacam PELNI di zaman kolonial. Menurutnya, salah satu ekspor utama dari Palu adalah garam, bahkan dulu ada gudang penyimpanan garam yang berdiri di dekat pelabuhan tersebut[27].

Bertahan Pascabencana 28 September 2018

Setelah kemerdekaan, usaha garam mengalami perkembangan, sehingga dapat mencukupi kebutuhan lokal dan sekitar lembah Palu. Usaha garam ini sampai sekarang masih tetap bertahan dalam kepungan perkembangan pariwisata (pantai) dan pembangunan pertokoan serta perumahan. Tambak garam Limbou sudah terjepit di bagian barat dan selatan oleh pariwisata, di bagian timur oleh menjamurnya pertokoan dan di bagian utara telah dijepit oleh pembangunan perumahan.

Pascabencana 28 September 2018, tambak garam di kawasan Limbuo (kini Talise), berada dalam kondisi rusak parah dan menjadikan kawasan penggaraman yang telah eksis sejak 1920an, bahkan jika ditelusuri lebih jauh sejak abad 17 ini, sempat lumpuh beberapa saat. Berdasarkan data nelayan terdampak bencana di Palu dan Donggala, yang dirilis Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulteng, Desember 2018 lalu, ada sekitar 157 petani garam yang terdampak bencana, di mana empat di antaranya meninggal dunia[28].

157 petani garam yang terdampak ini, terbagi dalam 16 kelompok Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Dalam data tersebut juga disebutkan, luasan lahan tambak garam yang terdampak mencapai 18,05 hektar[29].

Pasca bencana, para petani garam ini kembali menjual hasil panen garam yang tersisa. Selain itu, mereka juga membeli garam dari penjual lain untuk dijual kembali. Garam yang dibeli berasal dari Sulawesi Selatan. Sekarung garam dibeli dengan harga Rp120 ribu[30].

Garam yang dibeli kemudian dijual kembali, dengan harga jual yang bervariasi. Untuk ukuran satu gayung besar dihargai Rp15 ribu, sedangkan untuk gayung berukuran sedang dihargai Rp10 ribu[31].

Sebagian petani garam memutuskan untuk pindah lokasi berjualan ke depan lapangan Abadi Talise. Sebagian memutuskan untuk berjualan di sepanjang jalan Yos Sudarso, Kelurahan Talise[32].

Usman, salah seorang petani garam di kawasan penggaraman Talise misalnya, memutuskan untuk kembali mengolah tambaknya, pascabencana 28 September 2018. Tambak miliknya, sudah mulai beroperasi kembali sejak awal Februari 2019[33].

“Dari Desember saya sudah mulai perbaiki tambak, produksinya nanti awal April,” ujarnya[34].

Usman juga mengaku, produksi garam pascabencana ini, tidak seoptimal sebelum bencana. Dalam seminggu, bisa dilakukan hingga tiga kali panen. Jika dulu sekali panen bisa sampai 3-4 karung, sekarang paling banyak hanya 2 karung[35].

“Tambak saya ada dua. Luasnya kurang lebih 700 meter persegi. Pas bencana lalu, pematang, kolam, penampung, semuanya rusak, hampir 100 persen rusak,” ujarnya[36].

Lanjut ayah dua anak ini, pascabencana, baru sekitar 70 persen petani garam yang kembali mengolah tambak garamnya. Mereka sedikit terbantu dengan bantuan peralatan untuk memperbaiki tambak, seperti papan, sekop, pacul, dan alat-alat lainnya, yang dibantu oleh Oxfam serta Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng[37].

Terkait harga jual garam pascabencana, Usman mengaku masuknya garam dari luar Palu, membuat garam Talise semakin ketinggalan, dari segi harga. Menurutnya, setelah panen, paling hanya seminggu harga bertahan normal, lalu kemudian jatuh lagi[38].

Harga garam lokal sendiri kata dia bisa sampai Rp100 ribu yang kotor, lalu Rp120 ribu sampai Rp150 ribu per karung ukuran 50 kg, jika harga sedang bagus. Kalau harga anjlok kata dia, bisa sampai Rp60 ribu per karung[39].

Usman mengaku sudah sekitar 25 tahun terjun di usaha tambak garam ini. Sejak usia TK, dia sudah dibawa oleh orang tuanya untuk mengolah garam[40].

“Sudah turun temurun kami mengolah garam di sini. Kalau dihitung-hitung, sampai ke saya, sudah generasi kelima,” ucapnya[41].

Ia mengisahkan cerita neneknya, dahulu orang pribumi disini mata pencahariannya hanya menjual garam dan kelapa, lalu orang dari Selatan (Sulawesi Selatan red.), datang lewat dermaga di Limbuo, bawa bahan pokok untuk ditukar dengan garam. Para pedagang ini lalu kawin dengan penduduk lokal dan akhirnya ikut mengolah garam[42].

Menurut dia, jika ada petani garam yang meninggal, maka cucu dan keponakannya yang menggantikan mengelola tambak. Ada juga kata dia, menggunakan sistem bagi hasil dengan pemodal yang meminjamkan modal untuk mengelola tambak[43].



[1] De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes adalah sebuah buku yang dipublikasikan pada tahun 1912 oleh ahli bahasa dari BelandaNicolaus Adriani dan rekannya Albertus Christiaan Kruyt. Buku ini berfokus mengenai kehidupan Suku Toraja dan juga Dialek Bare'e yang ada di Sulawesi. Beberapa puluh tahun setelah perilisan, buku ini dikutip oleh berbagai penulis dan peneliti seperti H.C. RavenWalter KaudernJohn SidelGreg AcciaioliDavid HenleyLorraine Aragon dan masih banyak peneliti lain sebagai salah satu sumber rujukan dalam penulisan tentang Suku Toraja untuk studi mereka.

[2] Adriani N., Kruijt A.C, De Bare’e-Sprekende Toradja’s van Midden-Celebes (Eerste Deel). (Batavia: Landsdrukkerij, 1912), hlm. 299.

[3] Eija-Maija Kotilainen, When the Bones Are Left: A Study of the Material Culture of Central Sulawesi (Helsinki: The Finnish Anthropological Society, 1992), hlm. 47.

[4] Pelras menyebut, Bissu pada zaman La Galigo berada di luar sistem sosial: sebagai pendeta, dukun, dan spesialis dalam ritual. Mereka menjadi perantara antara umat manusia dan dunia para dewa, dan mereka memiliki makhluk surgawi sebagai pasangan mistik. Selengkapnya, baca Christian Pelras, The Bugis, (Oxford: Blackwell Publisher, 1996), hlm. 82-83.  

[5] Christian Pelras, Religion, Tradition, and The Dynamics of Islamization in South Sulawesi, dalam L’Islam en Indonesie I, Archipel 29, (Paris: EHESS, 1985), hlm. 146. 

[6] William P. Cummings (editor dan penerjemah), A Chain Of Kings: The Makassarese chronicles of Gowa and Talloq, (Leiden: KITLV Press, 2007), hlm. 35

[7] Christian Pelras, The Bugis, (Oxford: Blackwell Publisher, 1996), hlm. 241.

[8] Mukhlis Paeni. Mobilitas Sosial Kota Makassar 1900-1950, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985), hlm 36.

[9] Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid merupakan cicit dari Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid, seorang ulama penyebar Islam di kawasan Cikoang, Sulawesi Selatan, pada abad ke 17. Bersama Sayyid Ibrahim, Sayyid Umar, dan Sayyid Mohammad Tafsir, Sayyid Bahrullah bermigrasi dari Cikoang ke Palu. Kedatangan komunitas Cikoang ini diperkirakan terjadi pada pertengahan abad ke 19, atau sekitar tahun 1840. Selengkapnya baca Jefrianto, Islamisasi Ala Cikoang di Lembah Palu: Peran Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid, dalam http://jefriantogie.blogspot.com/2018/05/islamisasi-ala-cikoang-di-lembah-palu.html, diakses pada 7 November 2020, pukul 13.50 WITA. 

[10] Jefrianto, Tambak Garam Talise di Titik Nadir, dalam http://jefriantogie.blogspot.com/2019/01/tambak-garam-talise-di-titik-nadir.html, diakses pada 7 November 2020, pukul 13.52 WITA.

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Wawancara dengan Darsan Indrajaya di Baiya, 7 November 2020, pukul 11.40 WITA.

[15] A.C. Kruyt, De West-Toradjas Op Midden-Celebes (Deel I), (Amsterdam: Uitgevers Maatschappij, 1938), hlm. 22-23.  

[16] Ibid

[17] Idrus A. Rore, Sistem Sosial dan Peranan Ekonomi Kota Palu, kertas kerja, tidak diterbitkan, hlm. 26.

[18] Ibid

[19] Ibid

[20] Ibid

[21] Ibid

[22] Jefrianto, Tambak Garam Talise di Titik Nadir, dalam http://jefriantogie.blogspot.com/2019/01/tambak-garam-talise-di-titik-nadir.html, diakses pada 7 November 2020, pukul 14.34 WITA.

 

[23] Jefrianto, Dari Dermaga Limbuo Hingga Garam Talise, dalam http://jefriantogie.blogspot.com/2018/10/dari-dermaga-limbuo-hingga-garam-talise.html, diakses pada 7 November 2020, pukul 14.39 WITA.

[24] Ibid

[25] Ibid

[26] Wawancara dengan Andi Alimuddin Rauf via Facebook, 27 Oktober 2018, pukul 14.41 WITA.

[27] Wawancara dengan Moh. Sairin di Talise, 27 Oktober 2018, pukul 15.00 WITA.

[28] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng, Data Nelayan Terdampak Bencana di Palu dan Donggala, (Palu: Desember 2018).

[29] Ibid

[30] Jefrianto, Tambak Garam Talise di Titik Nadir, dalam http://jefriantogie.blogspot.com/2019/01/tambak-garam-talise-di-titik-nadir.html, diakses pada 7 November 2020, pukul 14.47 WITA.

[31] Ibid

[32] Ibid

[33] Jefrianto, Belajar Bangkit Dari Petani Garam Talise, dalam https://kabarsultengbangkit.id/belajar-bangkit-dari-petani-garam-talise/, diakses pada 7 November 2020, pukul 14.52 WITA.  

[34] Ibid

[35] Ibid

[36] Ibid

[37] Ibid

[38] Ibid

[39] Ibid

[40] Ibid

[41] Ibid

[42] Ibid

[43] Ibid

Post a Comment

0 Comments