Gempa Donggala di Masa Kolonial

Gempa Donggala di Masa Kolonial

 

FOTO: Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant edisi 5 Desember 1927

Jumat petang, 28 September 2018, gempa bumi berkekuatan 7.4 SR mengguncang wilayah Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Gempa tersebut berpusat di 80 km arah barat laut Kota Palu, tepatnya di Desa Lende, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala. Gempa bumi yang kemudian disusul dengan tsunami dan likuefaksi ini, menambah daftar panjang catatan gempa bumi di Sulawesi Tengah, khususnya di wilayah Donggala.

Gempa bumi 28 September 2018 ini, sejatinya membuka pintu penelusuran jejak sejarah kegempaan di wilayah Donggala (Kabupaten Donggala saat ini, yakni wilayah Loli, Banawa, Rio Pkava, dan wilayah Pantai Barat). Orang-orang mungkin mengenal peristiwa gempa bumi dan tsunami 15 Agustus 1968 di Dusun Mapaga, Desa Labean, Kecamatan Balaesang, serta gempa bumi dan tsunami 1 Januari 1996 yang melanda wilayah Kecamatan Sojol dan sekitarnya.

Jauh sebelum dua bencana tersebut, dalam sejumlah literatur berbahasa Belanda, baik buku maupun nukilan berita surat kabar, mendokumentasikan sejumlah bencana gempa bumi yang juga berdampak di wilayah Donggala.  

Gempa dan Tsunami Teluk Palu 1870/1880-an

Ahli geologi berkebangsaan Belanda, E. C. Abendanon misalnya, yang melakukan penelitian di Sulawesi Tengah pada tahun 1909 hingga 1910, dalam hasil penelitiannya yang menjadi buku berjudul Midden-Celebes-Expeditie : Geologische en Geographische Doorkruisingen van Midden-Celebes (1909-1910) atau Ekspedisi Sulawesi Tengah: Persilangan Geologi dan Geografi di Sulawesi Tengah (1909-1910) menyebutkan, berdasarkan pengamatannya, hanya dalam beberapa tahun terakhir (1900-an awal, masa saat dirinya melakukan ekspedisi red.), fenomena seismologis Sulawesi Tengah dapat dipublikasikan. Menurutnya, tidak banyak data yang terlestarikan tentang gempa bumi di wilayah Sulawesi Tengah.

Dirinya misalnya menemukan cerita, sekitar 40 tahun yang lalu dari 1909-1910, artinya antara periode 1870-an hingga 1880-an, ada gelombang pasang terjadi di Teluk Palu, di mana diamati terjadi di Lero dan Mamboro, pada ketinggian beberapa meter. Gelombang ini menurut cerita tersebut, terjadi akibat penurunan muka tanah di Teluk Palu, yang mengakibatkan gelombang air laut secara tiba-tiba dari Selat Makassar.

Cerita serupa muncul dari De Heeren de Vogel dan Dibbetz, pejabat urusan pertanian, yang menceritakan kepada Abendanon, tentang kisah-kisah menarik tentang gempa bumi di Donggala. Menurut mereka, berdasarkan laporan dari penduduk desa, terjadi banjir 40 - 50 tahun yang lalu (dari 1909/1910 red.), di Palu, Mamboro dan Lero, di mana tinggi gelombang kurang lebih 7 meter dan di wilayah Donggala sekitar 4 meter. Banjir ini juga diwarnai semburan air tanah berwarna hitam. Kata De Heeren de Vogel dan Dibbetz, gelombang ini disebabkan oleh penurunan tanah.

Gempa Kulawi 1909

Abendanon juga menulis, gempa bumi yang terjadi di wilayah Kulawi pada 18 Maret 1909, guncangannya juga terasa di Donggala, di mana guncangan disertai dengan getaran dan suara, seperti gemuruh. Dibbetz dari Donggala, mendeskripsikan gemuruh tersebut sebagai suara gesekan yang terdiri dari getaran pendek, yang sangat cepat, hampir satu suara.

Gempa dan Tsunami Teluk Palu 1927

Selanjutnya, surat kabar Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant edisi 5 Desember 1927 misalnya, melaporkan bencana gempa bumi yang terjadi pada Kamis sore, 1 Desember 1927, di Donggala. Laporan surat kabar yang mengutip Algemeen Nieuws en Telegraaf Agent Schap (Aneta) atau Keagenan Umum Berita dan Telegraf, kantor berita pertama di wilayah nusantara yang didirikan di Batavia tahun 1917, menyebutkan, akibat gempa bumi tersebut, kantor asisten residen di Donggala sebagian roboh. Sementara itu di Palu, dua bangunan pasar juga ambruk. sementara dermaga pelabuhan sebagian hancur. Selanjutnya di Biromaru, sebuah bangunan passar hancur dan kantor lanskap rusak parah.

Gempa bumi ini juga diserta dengan gelombang pasang (tsunami) di Teluk Palu, yang menghancurkan rumah penduduk asli. Dilaporkan empat belas orang tewas dan lima puluh lainnya terluka, dengan kerusakan diperkirakan mencapai 50.000 gulden.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Andries Cornelis Dirk de Graeff, dalam laporan surat kabar itu, disebut menyampaikan belasungkawa. Sebagai tanda belasungkawa tersebut, asisten residen di Donggala diberi wewenang untuk memberikan bantuan, dengan menggunakan uang dari kas lanskap.

Gempa Donggala 1935

Kemudian pada tahun 1935, surat kabar De Telegraaf edisi 31 Mei 1935, mengutip dari Aneta melaporkan, pada 31 Mei 1935 pukul lima lewat seperempat (05.15) pagi waktu Jawa, Observatorium Meteorologi di Batavia mencatat gempa kuat pada jarak 8300 km. Dilaporkan, tidak ada rincian yang diketahui tentang ini.

FOTO: De Telegraaf edisi 31 Mei 1935

Surat kabar ini melaporkan, tiga gempa bumi kuat berturut-turut telah dirasakan di Donggala. Namun, guncangan tersebut belum dicatat oleh Observatorium Meteorologi di Batavia.

Gempa Donggala 1936

Selanjutnya, surat kabar De Sumatra Post edisi 14 Januari 1936, yang mengutip Aneta melaporkan, pada 14 Januari 1936, pukul 12.13 waktu Jawa, Observatorium Metereologi di Batavia mengukur gempa yang dirasakan di Donggala sebagai gempa lemah, dengan jarak yang sulit ditentukan.

FOTO: De Sumatra post edisi 14 Januari 1936

Gempa dan Tsunami 1938

Terakhir, gempa bumi disertai tsunami pada 20 Mei 1938. Bencana gempa bumi ini, juga tercatat dalam sejumlah surat kabar, baik terbitan Belanda maupun terbitan di Indonesia yang berbahasa Belanda. Salah satu yang paling rinci menggambarkan keadaan pasca bencana tersebut adalah Leeuwarder Nieuwsblad, surat kabar harian tertua di Belanda yang didirikan oleh Abraham Ferwerda, yang pertama kali muncul pada tahun 1752.

FOTO: Leeuwarder nieuwsblad edisi 21 Mei 1938

Dalam edisi 21 Mei 1938, surat kabar tersebut melaporkan, gempa bumi tersebut dirasakan di wilayah Palu dan Mamboro, dan menyebabkan kerusakan besar. Di Palu, 50 rumah dilaporkan ambruk, sementara di banyak tempat tanah terbelah. Di Wani, delapan rumah telah hancur atau rusak. Di Mamboro, 17 rumah rusak telah hanyut oleh gelombang pasang (tsunami), di mana seorang wanita Cina telah tenggelam. Adapun di Donggala, guncangan pertama dirasakan pada sepuluh menit sebelum jam 00.30 waktu setempat.

Guncangan ini dilaporkan intens terjadi dan berlangsung selama satu menit. Guncangan kedua bahkan lebih buruk dan berlangsung selama tiga menit. Orang-orang dilaporkan hampir tidak bisa berdiri dan melarikan diri ke jalanan. Sepanjang malam tersebut, warga menghabiskan waktu di luar rumah, dengan akibat yang lebih serius, daripada dugaan awalnya.

Gempa bumi ini juga dirasakan di wilayah Sigi, sebagaimana dilaporkan surat kabar Bataviaasch nieuwsblad edisi 21 Mei 1938, Markas Bala Keselamatan di Bandung mendapat informasi, beberapa bangunan di daerah koloni pertanian dan markas divisi mereka di Bora, Rowiga dan Sibalaya rusak parah akibat gempa bumi tersebut, namun tidak terdapat korban jiwa.

FOTO: Bataviaasch nieuwsblad edisi 21 Mei 1938

Sementara itu surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 25 Mei 1938 melaporkan, Komandan De Groot dari Bala Keselamatan menerima laporan dari Sulawesi Tengah, akibat gempa bumi di wilayah tersebut, mengakibatkan kerugian sekitar 10.000 gulden dari basis koloni pertanian di Kalawari/Kalawara. Selain itu, terdapat kerugian sekitar 4.000 gulden, diakibatkan kerusakan disebabkan oleh bangunan dan sekolah lain. Di wilayah basis mereka di Kapiroi, dilaporkan, hampir semuanya telah hancur. Adapun total kerugian yang disebabkan oleh gempa bumi berjumlah 14.000 hingga 15.000 gulden.

FOTO: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 25 Mei 1938 

Dampak gempa bumi ini juga sangat dirasakan di wilayah Pantai Timur (kini wilayah Kabupaten Parogo Moutong). Surat kabar Nieuwe Apeldoornsche Courant misalnya, pada edisi 21 Mei 1938 atau sehari setelah peristiwa, mengutip laporan Aneta menjelaskan, gempa bumi 20 Mei 1938 memiliki konsekuensi lebih serius daripada yang diperkirakan. Dilaporkan delapan orang hilang serta 450 rumah ambruk.

FOTO: Nieuwe Apeldoornsche Courant  edisi 21 Mei 1938 

Surat kabar yang berkantor di Kanaalstraat 8, Apeldoorn, Belanda ini juga melaporkan, ternyata Parigi juga terkena dampak serius dari bencana tersebut. Di Toribulu, gelombang pasang naik hingga 100 meter ke daratan dan memiliki efek merusak. Dari delapan orang hilang, tiga mayat telah ditemukan.

Selain itu, banyak ternak, puluhan ribu pohon kelapa telah tersapu gelombang pasang. Kemudian, wilayah Ampibabo juga sangat terpengaruh akibat gempa. Kemudian, gempa juga mengakibatkan jalan dari Toribulu ke Parigi rusak parah. Banyak retakan yang muncul kemudian, tegak lurus dan sejajar dengan garis pantai.

Surat kabar ini juga melaporkan, permukaan tanah di pantai, turun di banyak tempat dan hampir semua jembatan telah hancur. Lumpur berwarna abu-abu dan kuning telah keluar dari tanah. Jalan dari Toboli ke Kebun Kopi tidak dapat dilewati, karena longsoran batu dan amblesan tanah.

Laporan lainnya, seperti yang termuat dalam surat kabar Utrechts volksblad edisi 3 Juni 1938 menyebutkan, guncangan gempa dengan intensitas rendah masih terasa di Parigi. Adapun jumlah total rumah yang hancur adalah 942, dengan perkiraan nilai kerugian mencapai 50.000 gulden. Adapun dampak dari bencana tersebut, gudang milik K.P.M, perusahaan pelayaran Belanda, telah hancur total, juga jalur antara Parigi dan Palu sepanjang lebih dari 14 km, tidak bisa dilewati. Dampak lainnya yang lebih parah adalah Kampung Torue di selatan Parigi, telah hilang tersapu oleh laut, kemudian bukit di belakang Torue sebagian telah runtuh.

FOTO: Utrechts volksblad edisi 3 Juni 1938

Dampak gempa di kawasan Parigi, juga dijelaskan dalam laporan surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 27 Mei 1938. Laporan yang mengutip laporan Aneta dari Poso tersebut menyebut, gempa berkekuatan besar, masih dirasakan di daerah Parigi (hingga 27 Mei 1938 red.). Gempa ini menimbulkan kerusakan yang parah, di mana hanya beberapa bangunan yang masih berdiri. Sejauh ini (hingga 27 Mei 1938 red.), jenazah dua puluh korban telah ditemukan. Adapun menurut laporan tersebut, kampung di sepanjang pantai, merupakan yang paling menderita akibat gempa.

FOTO: Bataviaasch Nieuwsblad edisi 27 Mei 1938

Laporan lainnya juga datang dari surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 30 Juni 1938. Laporan tersebut menyebutkan, sejauh ini (hingga 30 Juni 1938 red.), gempa dirasakan di Parigi, Palu dan Donggala. Gempa menurut laporan tersebut, masih sering terjadi di Parigi, dengan arah gempa biasanya dari Tenggara ke Barat Laut. Lebih sebulan pascabencana, koneksi jalur jalan, sekarang normal kembali.

FOTO: Algemeen Handelsblad edisi 30 Juni 1938

Sementara itu, surat kabar De standard edisi 7 Juni 1938 menulis, menurut laporan terbaru dari Donggala (7 Juni red.), kerusakan yang disebabkan oleh gempa termuda (20 Mei 1938 red.), diperkirakan mencapai 80.000 gulden. Beberapa sungai dilaporkan telah dibendung oleh endapan gunung (longsoran red). Setelah bendungan jebol, terjadi banjir yang kembali menyebabkan kerusakan. Saat mengamati situasi, asisten residen Donggala menempuh jarak lima puluh kilometer dengan berjalan kaki, bahkan ada bagian yang merangkak. Dilaporkan, dukungan terhadap situasi tersebut juga telah ditingkatkan.

 

FOTO: De standard edisi 7 Juni 1938

Post a Comment

0 Comments