H.G. Bartelds dan Ekspedisi Emas di Sulawesi (II)

H.G. Bartelds dan Ekspedisi Emas di Sulawesi (II)

Pada bagian kedua tulisannya yang terbit pada 29 September 1897, Bartelds menceritakan secara detail gambaran tentang wilayah Donggala, Palu, dan Tawaeli. Teluk Palu kata dia, dikelilingi oleh tiga lanskap yang dihuni oleh orang Kaili, yakni Donggala atau Banawa, Tawaeli dengan bagian vasal Siresa atau Sireendjang (Sirenja) dan Palos atau Paloe (Palu).

Donggala di sebelah utara, berbatasan dengan Teluk Palu dan Tawaeli, di sebelah timur berbatasan dengan Residen Menado, di sebelah selatan dengan Toradja milik Luwu dan Mamuju, dan di sebelah barat dengan Selat Makassar. Donggala dan Wani yang masing-masing memiliki kurang lebih 100 rumah, merupakan desa utama, namun di bentang alam tersebut, ada beberapa desa yang lebih kecil, yang jika digabungkan, diperkirakan berjumlah 285 rumah.

Bartelds mengemukakan, tidak ada yang tahu luas wilayah Donggala, bahkan rajanya sendiri. Kampung atau desa dengan garis besarnya, yang digunakan untuk menentukan luasnya. Hanya batas Utara dan Selatan yang benar-benar ditetapkan, yakni sungai Oou yang berseberangan dengan Pulau Pangalasiang, yang memisahkan Tolitoli dari Donggala, dan Pasangkajoe (Pasangkayu), yang merupakan perbatasan dengan Mamuju.

Bartelds juga menulis, musim hujan dimulai pada Desember dan berakhir pada Mei. Hujan deras yang turun terus menerus jarang terjadi, tetapi juga tidak ada kekeringan yang berkepanjangan. Aktivitas menanam disebut berlangsung dari Desember sampai Juli, dengan jagung sebagai makanan utama penduduk, karena masyarakat tidak menanam padi. Beras menurut laporan Bartelds, hanya dimakan oleh yang lebih kaya, dan untuk kebutuhan itu hanya diimpor.

Sagu dan pohon kelapa banyak ditemukan di wilayah tersebut, di mana sagu digunakan sebagi bahan makanan, sedangkan daging kelapa dijadikan kopra, barang ekspor yang menonjol di daerah tersebut. Kualitas bambu yang hanya ditemukan di beberapa tempat, kurang baik.

Selanjutnya, ternak terdiri dari kerbau, kambing, domba dan kuda. Hanya di Donggala, ada kawanan sapi milik kepala suku Bugis di sana. Kuda yang diekspor dari Donggala, kebanyakan berasal dari Parigi. Ayam banyak tersedia di daerah pemukiman.

Kemudian, memancing dilakukan melalui “seroh” di Teluk Palu, namun jarang terlihat. Selanjutnya, perburuan rusa menjadi hiburan favorit para raja dan bangsawan, yang berburu di atas kuda dengan tombak busur. Bartelds menulis, tampaknya ada banyak perburuan, dilihat dari banyaknya tanduk rusa yang dikirim dari Donggala ke Singapura.

Penduduk asli Donggala disebut Bartelds, tidak terlalu sibuk. Para wanita menenun jenis sarung yang sangat padat, berpetak-petak dan dalam berbagai macam warna, dan keranjang tenun. Orang Donggala juga disebut berpengalaman dalam menempa klewang (parang) yang bagus, dan pembuat perahu yang baik. Satu perahu dijual seharga 150 gulden.

Dari hutan, penduduk mengambil damar, musk, rotan, lilin, dan kayu, yang mereka tukarkan ke pedagang Bugis dan Arab dengan kain linen, tembakau, garam, besi, tembikar, kuningan, karpet dan timah, atau menjualnya untuk mendapatkan uang. Dari Donggala, ada perdagangan yang ramai dengan Banjarmasin, Pagatan, Kutai, Paser, Berau, Batu Lijing dan Singapura, dengan kapal uap dan perahu.

Kargo dari kapal yang lebih besar, diangkut dalam perahu kecil di sepanjang pantai barat laut, ke Tambu, Tolitoli, Buol, Samaula dan Kwandang, atau melintasi tanah genting ke Parigi, Toboli, Moutong, Sausu, Poso dan Tojo. Bartelds menulis, pasar tertentu tidak ditemukan di wilayah Donggala.

Bartelds menulis, penduduk Donggala sebenarnya terdiri dari Alfoeren (Alifuru). Mereka dianggap kuat dan diperkirakan berjumlah kurang lebih 3000 jiwa, dengan jumlah orang asing diperkirakan mencapai 200 orang. Donggala menurut Bartelds, pada dasarnya damai, tetapi suka bermain dadu, dengan sedikit pengguna opium. Orang-orang disebut berpakaian sederhana dan umumnya miskin. Perbudakan di sana menurut Bartelds, sama lazimnya seperti di Sulawesi bagian selatan.

Raja Donggala, dalam bahasa sehari-hari disebut Madika, tinggal di Donggala, dalam sebuah rumah yang sangat besar yang dilapisi besi anti karat (galvanis). Dia dibantu oleh dewan kerajaan (hadat) dan kepala yang lebih rendah lainnya (Tomatowa). Dia diangkat oleh hadat dan di bawahnya adalah madika malolo (secara harfiah berarti pangeran muda), yang bisa menggantikannya jika perlu. Pendapatan raja dan semua kepala suku sangat kecil, oleh karena itu mereka juga terlibat dalam perdagangan dan pertanian. Di Donggala lanjut Bartelds, pengaruh ulama dan pendapatan mereka sangat tidak signifikan, raja memutuskan dengan hadat dalam masalah perkebunan, warisan dan perceraian.

Setelah Donggala, Bartelds juga menjelaskan tentang Palu. Bentang alam Palu disebut terletak di sekitar teluk dengan nama yang sama dan berbatasan dengan Donggala di barat dan Tawaeli di utara. Kota utama adalah Palu, yang disebut sebagai sebuah desa yang sangat luas dengan kurang lebih 500 rumah.

Populasi seluruh wilayah Palu diperkirakan 4.500 jiwa, termasuk seratus orang Bugis dan Mandar, di mana perkiraan ini menurut Bartelds agak rendah, mengingat luasnya ibu kota. Di teluk yang sangat luas, yang di beberapa tempat hampir tertutup seluruhnya dan kedalamannya tidak terduga. Sungai Gumbasa, yang juga dapat dilalui untuk perahu besar, mengalir keluar dan berhulu di Gunung Pakuli.

Bartelds menuliskan, kayu berat tidak ditemukan di Palu. Pegunungan kata dia, menawarkan pemandangan yang sunyi, dengan hanya semak belukar sejauh mata memandang. Puncak utamanya adalah Djilalahi (Njilalaki), Dombu, Loli, Pakuli dan Somba, yang memiliki ketinggian 1500 - 2000 kaki. Penduduk menggali bijih emas di pegunungan, yang secara khusus ditujukan untuk para raja dan tidak boleh diekspor. Untuk itu Barteld menulis, setiap pemohon izin eksplorasi pertambangan harus mempertimbangkan hal ini.

Penduduk Palu sebut Bartelds, menanam jagung dan padi, tetapi meskipun padi ditanam dua kali setahun, hasil panennya belum mencukupi bagi penduduk. Cara menanamnya juga sangat sederhana, di mana bulir padi ditebar di sawah yang sudah dibersihkan dari gulma, lalu dibiarkan hingga siap panen. Oleh karena itu, makanan utamanya penduduk adalah jagung, dan makanan lain seperti sagu, ubi, kacang dan pisang, untuk menggantikan nasi.

Menurut Bartelds, penanaman kopi dimulai setahun terakhir, di mana anakannya tumbuh dengan baik. Budidaya kelapa juga dilakukan dengan tujuan untuk mengekspor kopra. Selain itu, Kemiri ditanam untuk keperluan pribadi, betang atau ulin banyak ditemukan dan beberapa bambu tumbuh di sekitar teluk. Kapas tumbuh subur di sini dan diekspor dalam jumlah besar, nila ditanam untuk keperluan pribadi dan juga ditemukan mangga, jambu, nangka, pepaya, terong, jeruk dan tebu.

Ternak masyarakat Palu terdiri dari kuda, kerbau, domba dan kambing. Jumlah kuda dan kerbau cukup banyak, di mana kerbau di Palu disebut bertenaga dan besar, seperti yang ada di Makassar, sedangkan kuda-kudanya kecil, dan kalah kuat dari pada kuda Makassar. Harga kerbau mulai dari 10 – 20 gulden, saa dengan harga seekor kuda, sedangkan seekor domba dihargai dari 1 sampai 4 gulden. Kuda dan domba sering kali diekspor, khususnya ke Singapura. Kambing lebih jarang, namun ditemukan di semua kampung seperti ayam dan bebek.

Perburuan jarang dilakukan dan penangkapan ikan hanya terbatas di Teluk Palu. Industri rumahan hanya sebatas penempaan klewang (parang), tenun sarung dan anyaman keranjang. Penduduk membuat sampan atau perahu sendiri, dan rumah-rumah masih terlihat sederhana.

Selanjutnya, lilin, damar, rotan, musk dan kailie-papies (kulit pohon Kaili) diambil dari hutan kecil yang masih ada. Produk-produk ini dijual kepada pedagang Bugis, yang setiap tahun datang ke teluk dengan perahu mereka dan kemudian menukarnya dengan benang, linen, candu, gambir dan tembakau. Di ibu kota Palu kata Bartelds, orang dapat menemukan pasar resmi, yang dikunjungi setiap hari.

Selanjutnya wilayah Tawaeli, yang disebut berbatasan dengan Donggala di utara, Parigi di timur, Palu di selatan dan Selat Makassar di barat. Siresa (Sirenja), wilayah vasal milik Tawaeli, berbatasan di utara dan selatan dengan Donggala. Kota utama Tawaéli terdiri dari empat kampong, yang memiliki masing-masing kurang lebih 500 rumah. Desa-desa lainnya adalah Kajoe Malowe (Kayu Malue), yang memiliki 150 rumah, dan di Siresa yakni Tondo, Tandopada (Tanjung Padang), Tompeh (Tompe) dan Leende (Lende), masing-masing memiliki sekitar 50 rumah.

Menurut raja (Magau), sepuluh tahun lalu, di ibu kota Tawaeli telah terjadi kebakaran yang mencapai sekitar 2000 rumah. Dirinya juga menyebut, dulunya Wani dan Pantoloang (Pantoloan), yang sekarang berada di bawah Donggala, menjadi milik kerajaannya. Selain itu, di Kajoe Malowe (Kayu Malue), Taipa dan Mamboro, otoritas raja juga disebut sudah memudar karena pengaruh raja Palu.

Sungai utamanya adalah Sungai Tawaeli, yang bersumber dari Gunung Tanamalee (Tanamalei). Selain itu, ada juga sungai lain seperti Salopangie (Salupangi), Simaüeba (Simauba) dan Salolikoe (Saluliku) di Tawaeli, juga Salo tanropado (Salo Tanropado/Tandopada), Salo Tompi (Tompe?) dan Salo Renré (Lende?) di Siresa (Sirenja). Bartelds menulis, tidak satu pun dari sungai-sungai ini yang bisa dilayari, kecuali pada musim hujan atau di dekat muara. Menurut informasi penduduk, sebagian emas sedang dipanen dari sebagian besar yang ada.

Menurut laporan yang cukup pasti, ada danau pegunungan di bagian timur Tawaeli dekat perbatasan dengan Parigi, yang disebut Ranomalee (Rano Malei) atau Tamparang maédja (Tamparang Maeja). Danau yang airnya berwarna kemerahan ini, dialiri oleh aliran sungai yang bersumber dari Gunung Tanamalee (Tanamalei), dan pada tingkat yang agak tinggi, mencurahkan air yang melimpah ke sungai Tawaeli. Sungai ini diyakini pasti sangat dalam dan kaya akan ikan.

Pegunungan, yang menjadi daerah aliran sungai yang menjadi batas antara Gubernur Sulawesi dan Residen Menado ini, memiliki banyak puncak, yang tingginya bervariasi antara dua hingga empat ribu kaki. Puncak yang terkenal adalah Soebai (Subai), Ranomaoté (Ranomaoti), Toga, Taminggoe (Taminggu), Bingapa (?), Tanahmalee (Tanamalei), Soemangparee (Sumangpare), dan Karopoewa (Karopua), semuanya di wilayah Tawaéli. Nama-nama puncak gunung di wilayah Siresa (Sirenja) tidak diketahui.

Musim hujan dimulai di Tawaeli terjadi pada November atau Desember dan berlangsung hingga April. Hujan deras yang berkepanjangan terjadi bahkan saat kemarau panjang. Aktivitas menanam dimulai pada Januari dan dipanen pada Juli. Jagung merupakan makanan pokok penduduk. Padi terutama ditanam di sekitar kota utama, di mana beberapa pipa air telah dipasang. Budidaya padi diharapkan semakin berkembang, meskipun padi sekarang hanya digunakan oleh para bangsawan.

Ubi dan kacang banyak dibudidayakan dan pohon sagu banyak dijumpai, di mana tepungnya digunakan sebagai makanan. Pohon kelapa banyak ditemukan di antara kampung-kampung pantai, sehingga kopra menjadi barang ekspor utama. Aren, pisang, kemiri, sirih dan bambu sangat jarang ditemukan, tetapi banyak pisang yang ditanam. Buah lainnya sedikit.

Raja (Magau) sudah memulai dengan menanam kopi, di mana daerah pegunungan sangat cocok untuk budidaya ini. Tembakau ditanam, tetapi jumlahnya tidak mencukupi, sehingga barang ini harus diimpor. Di bagian timur Tawaeli dan Siresa (Sirenja) yang tidak berpenghuni, dikumpulkan damar, rotan, lilin, kayu dan bambu liar darinya.

Kerbau dan kuda adalah biasa ditemukan di sana, tetapi bertubuh kecil dan terlihat kurang dirawat. Domba, yang disebut domba berekor, biasa ditemukan dan dalam kondisi gemuk, tanahnya tampaknya cocok untuk budidaya hewan-hewan ini. Ayam dan bebek cukup langka. Rusa banyak dan ditangkap dengan jerat. Perburuan Amoeang (Amuang/Anoa, sapi utan, antelope celebica) kurang diminati, karena sifat berbahaya dari hewan ini. Burung hampir tidak pernah diburu dan babi liar hanya jika merusak. Hanya sedikit orang yang memancing.

Kerajinan tangan jarang dilakukan, di seluruh lanskap Tawaeli, hanya dapat ditemukan beberapa pandai besi dan emas. Sebagian besar alat pertanian yang didatangkan adalah parang, klewang, dan tombak dari Luwu dan Mandar. Para wanita menenun sarung dan kerudung kasar dan di sana-sini terdapat keranjang terbuat dari daun lontar.

Perdagangan tidak terlalu penting dan sebagian besar berada di tangan orang Arab, Bugis, dan Makassar. Damar, kopra, lilin, rotan dan minyak kelapa diekspor, sedangkan kain linen impor, gareus, tembaga, pot tanah liat, timah, tembakau, garam dan opium menjadi komoditas impor. Bea impor dan ekspor tidak diklaim.

Satu-satunya tempat para pedagang menetap adalah Tawaeli dan Kajoo malowé (Kayu Malue). Pasar hadir setiap hari Kamis di ibu kota, dipadati oleh ribuan orang. Jumlah jiwa diperkirakan sekitar 5000.

Tawaeli diatur dengan cara yang sama seperti Palu dan Donggala. Orang Bugis yang berdiri di wilayah ini dan di Palu, seperti halnya Donggala, berada di bawah kekuasaan Letnan Kalangkangang, yang berkedudukan di Donggala, sebagai Mayor Kalangkangang, yang bertempat tinggal di Mamuju (Mandar).

(Bersambung)

Post a Comment

1 Comments