H.G. Bartelds dan Ekspedisi Emas di Sulawesi (III)

H.G. Bartelds dan Ekspedisi Emas di Sulawesi (III)

Pada bagian ketiga, yang terbit pada 30 September 1897, Bartelds menulis, dari Donggala, kapal Van Outhoorn berangkat dengan membawa beberapa kuda, domba, dan beberapa orang haji ke Bwool (Buol). Kapal merayapi wilayah pesisir barat tersebut, hingga sampai ke tanjung arus dan masuk ke wilayah konsesi De Langen, yang disebut Bartelds, akan dipimpin oleh Cawling dan Daly. Konsesi ini menurut Bartelds, dari info yang didapatkannya di Makassar, memiliki prospek yang bagus jika dioperasikan di Pinjang (Pinjan), di mana tambang yang ditinggalkan penduduk ditemukan.

Kapal selanjutnya melewati pesisir Busak, menuju Tanjung Kandi, berbelok ke selatan dan berlabuh di Buol. Raja Buol, Patra Turungku, kemudian menumpang kapal van Outhoom ke Matinan, di mana beberapa pajak terutang masih harus dikumpulkan. Dari Bwool (Buol) ke Matinan hanya membutuhkan beberapa jam dan biasanya tidak dikunjungi oleh kapal uap milik K.P.M. Akan tetapi, karena barang para penjelajah Matinan harus diturunkan, Van Outhoom membuat pengecualian.

Kurangnya kuli yang konon hadir tapi tidak ada, kurangnya kerjasama dari sedikit penduduk desa, yang tidak mau dikomando seperti kuli pelabuhan di Jawa, membuat van Outhoorn berlabuh di depan Matinan selama 24 jam. Dua rumah kayu, satu set furnitur lengkap, tong kapur, semen, termasuk empat tukang kayu Cina, harus dipindahkan, tetapi tidak ada cara untuk mengangkut semua ini ke pedalaman, di mana tambang emas berada.

Ada tiga puluh kuli Jawa, setengah muda, lemah, tapi empat sudah menemukan tempat peristirahatan terakhir yang jauh dari tanah air mereka, di hutan yang tidak ramah, dan enam lainnya sakit. Apakah dua puluh orang yang tersisa untuk membawa rumah-rumah dan inventaris itu ke atas dan juga melakukan pekerjaan penambangan?

Dari fenomena ini, Bartelds menilai tentang bagaimana efektivitas pengelolaan keuangan, terutama terkait kesiapan sarana dan prasarana untuk para pekerja di lokasi pertambangan, bagi perusahaan pertambangan yang beroperasi di Matinan. Menurutnya, perusahaan misalnya, dapat merealisasikan tenda yang bagus yang bisa diangkut ke tambang, jika seseorang tidak dapat segera mendirikan rumah hutan. Selain itu dirinya juga mencontohkan, misalnya beberapa kursi rotan dan meja sederhana, perbekalan, hingga alat ukur.

Menurutnya, pengangkutan rumah, seluruh perabot, dari 3.500 batu bata, mengindikasikan bahawa perusahan tidak mengetahui, apakah ada cukup batu gunung atau kayu untuk membuat kamp-nya di Bwool. Kata dia, seharusnya mereka mengetahuinya. Akibatnya, sejumlah besar uang terbuang percuma dan kepercayaan pada kebijakan direktur perusahaan, yaitu di dalam perusahaan itu sendiri, jatuh.

(Bersambung)

Post a Comment

0 Comments