Kisah Mimbar Ra’jat yang Seumur Jagung

Kisah Mimbar Ra’jat yang Seumur Jagung

Seorang lelaki berperawakan sipit serius memainkan jari jemarinya di tuts mesin ketik. Jam dinding di ruangan sudah menunjuk angka dua. Di luar, suasana lengang, hanya bunyi katak dan jangkrik yang menemani irama tuts mesin ketik yang ditekan silih berganti. Asap tembakau menyeruak di dalam ruangan sempit, tempat lelaki itu mengetik. Gelas kopi di meja tinggal menyisakan ampas.

Setelah menyelesaikan ketikannya, lelaki itu menyerahkan naskah yang diketik untuk dicetak di mesin stensil. Naskah itu bersama naskah-naskah lainnya, dicetak empat lembar bolak balik. Kertas silih berganti berputar di dalam mesin, menghasilkan puluhan eksemplar koran yang siap diedar beberapa jam kemudian.

Matahari mulai menampakkan diri, seiring selesainya tugas mesin stensil mencetak. Di luar bangunan sederhana itu, orang-orang menunggu jatah koran yang akan dibagikan. Setelah koran selesai dibagi, suasana kembali senyap, menyisakan mesin stensil, mesin tik, dan beberapa orang yang tertidur pulas setelah begadang semalaman.

Lelaki berperawakan sipit ini bernama Marten Piai. Belum genap setahun ia bekerja sebagai wartawan di surat kabar tersebut. Awal 1965, dirinya yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Serikat Buruh Pelabuhan Pelayaran (SBPP) di Donggala, memutuskan banting setir jadi kuli tinta. Perkenalannya dengan S. Chaeri Ruswanto, salah seorang pimpinan Comitte Daerah Besar (CDB) Partai Komunis Indonesia (PKI) Sulawesi Tengah (Sulteng), mengubah jalan hidupnya.

Mimbar Ra’jat, nama koran yang digawangi oleh Marten Piai dan kawan-kawannya. Di koran itu, Chaeri Ruswanto menjabat sebagai pemimpin redaksi. Koran ini dibentuk dan berafiliasi dengan CDB PKI Sulteng.

Idrus A. Rore dalam bukunya Dari Zamroed Palu Hingga Mercusuar: Pasang Surut Surat Kabar di Kota Palu (1935 -1993) menyebut, Mimbar Ra’jat berdiri tahun 1963, setahun sebelum Provinsi Sulteng terbentuk. Ia mencatat, koran ini digawangi oleh Chaeri Ruswanto, Rahman Ede dan Sunaryo.

CDB PKI Sulteng sendiri sebagai induk dari Mimbar Ra’jat pada periode 1963-1965, mencapai periode emas, di mana mereka mulai diperhitungkan dalam percaturan politik lokal di Sulteng. Sejumlah kadernya dipercaya menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, seperti Wakil Sekretaris Pertama, S. Chaeri Ruswanto yang menjadi anggota DPRD-GR Provinsi Sulteng periode 1964. S. Chaeri Ruswanto juga dikenal sebagai wartawan Kantor Berita Antara.

Kemudian, Sekretaris Pertama CDB PKI Sulteng, Abd. Rahman Dg. Maselo yang menjadi salah satu pimpinan Front Nasional Provinsi Sulteng mewakili unsur Komunis, bersama Thayeb Abdullah yang mewakili golongan nasionalis, dan Zainuddin Abdul Rauf mewakili golongan agama. Ia juga menjadi anggota DPRD-GR Kabupaten Donggala. Lalu, Dewan Harian CDB PKI Sulteng periode 1963, Salimin Partowijoyo, yang juga menjadi anggota DPRD-GR Kabupaten Donggala. Selain itu, ada Daud Mattorang yang menjadi anggota DPRD-GR Poso, serta Ketua Comitte Sub Sektor (CSS) PKI Moutong, Kajun Borman yang menjadi anggota Front Nasional Kecamatan Moutong.          

Pondasi kokoh CDB PKI Sulteng dan sejumlah organisasi underbouw-nya, seperti BTI, SOBSI, Pemuda Rakjat, Gerwani, dan sejumlah organisasi lainnya, membuat para pimpinan partai merasa perlu untuk menginisiasi sebuah terbitan berkala. Terbitan ini juga terinspirasi oleh lahirnya Harian Rakjat, terbitan Comitte Central (CC) PKI yang lebih dulu terbit pada 1951.

Kepala Sekretariat CDB PKI Sulteng yang juga wartawan Mimbar Ra’jat, Marjun Lasama, dalam catatan hariannya menulis, selain S. Chaeri Ruswanto yang bertindak sebagai pemimpin redaksi, Ketua BTI Sulteng, Ali Mutia, juga didapuk sebagai dewan penasihat.

Dalam susunan keredaksian, surat kabar ini diawaki oleh sejumlah wartawan, antara lain Marjun Lasama, Marten Piai, Rahman Ede, sebagai wartawan. Marten Piai dalam buku Sulawesi Bersaksi menyebutkan nama Imran Torar dan Aminudin Lajamana sebagai personil redaksi lainnya.

Dibagikan Gratis Pada Masyarakat

Marten Piai menyebut, Mimbar Ra’jat saat itu mengusung berita-berita pro rakyat, yang sangat ideologis. Tapi menurut dia, redaksi surat kabar tersebut sangat hati-hati dalam mengemas pemberitaan, agar jangan sampai ada pihak yang tersinggung.

“Kami hanya mau koran ini bisa diterima semua kalangan. Kami punya semboyan berusaha memperkecil lawan dan memperbanyak kawan,” ujar Marten Piai.

Strategi keredaksian ini berhasil diterapkan Mimbar Ra’jat. Koran ini kata Marten, sangat ditunggu-tunggu terbitannya. Pertama-tama kata dia, koran ini hanya terbit 3 hari sekali, dicetak dengan mesin stensil, hanya 4 lembar bolak balik.

Marten juga menyebut, S. Chaeri Ruswanto sebagai pemimpin redaksi juga yang bertanggungjawab terhadap editorial. Sebelum naik cetak kata Marten, redaksi selalu berdiskusi tentang isi berita.

“Biasa walau sudah siap cetak, Ruswanto memberi usulan perubahan, biasanya kami langsung menerimanya karena idenya bagus,” ujarnya.

Mimbar Ra’jat menurut Marten, menyasar masyarakat lapisan bawah, juga organisasi sayap partai seperti BTI, Gerwani, Pemuda Rakyat, dan lain-lain. Di kantor redaksinya di seputaran Lolu (sekarang wilayah Kelurahan Lolu Selatan), jika koran sudah naik cetak, orang-orang berdatangan di kantor redaksi, menunggu jatah koran.  

Koran itu kata Marten tidak dijual, melainkan didistribusikan langsung ke masyarakat oleh organisasi-organisasi sayap partai. Untuk tetap bertahan, koran ini hidup dari sumbangan anggota partai yang mengumpulkan iuran. Selain itu, ada juga iklan, seperti iklan sepeda dan ucapan selamat kalau ada pejabat yang dilantik.

Para wartawan surat kabar Mimbar Ra’jat tidak menerima gaji bulanan. Marten Piai menyebut, mereka tidak digaji secara tetap, kalau ada pihak yang memasang iklan, baru mereka menerima upah.

Seteru Abadi Soeara Ra’jat

Idrus Rore dalam bukunya Dari Zamroed Paloe Hingga Mercusuar: Pasang Surut Surat Kabar di Kota Palu (1935 – 1993) menulis, keberadaan surat kabar di Kota Palu sejak tahun 1962 sampai tahun 1965, telah terpolarisasi sebagai surat kabar yang berafiliasi dengan organisasi, hingga pendukung partai. Dari enam surat kabar yang terbit kurun 1962-1965 yakni Soeara Ra’jat yang didirikan Rusdi Toana, Mimbar Ra’jat yang digawangi S. Chaeri Ruswanto, Duta Revolusi yang dikelola Chaeruddin Modjo, Gesuri yang diasuh Datlin Tamalagi, Suluh Marhaen yang digawangi M. Thayeb Abdullah dan E.F. Podung, serta Nusa Putera yang diarsiteki Chaeruddin Modjo dan Achmad Rumu, hanya surat kabar Soeara Ra’jat yang independen.

Idrus Rore menulis, walaupun Soeara Ra’jat bersifat independen, dalam arti tidak terikat dan mengikatkan diri pada salah satu partai politik maupun organisasi sosial tertentu, akan tetapi setelah surat kabar Mimbar Ra’jat diterbitkan pada tahun 1963, sebagai surat kabar pembawa suara PKI, maka Soeara Ra’jat mengambil sikap lebih condong pada Muhammadiyah. Sikap Soeara Ra’jat yang condong pada Muhammadiyah kata Idrus, sebenarnya secara laten memang dimiliki sejak awal penerbitan surat kabar Soeara Ra’jat, karena Rusdi Toana dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah Sulteng. Hanya saja pada awal penerbitan, Soeara Ra’jat tidak mengklaim diri sebagai surat kabar yang membawa pesan-pesan dakwah. Pasca terbitnya Mimbar Ra’jat, barulah Rusdi Toana secara tegas menyatakan Soeara Ra’jat condong ke Muhammadiyah.

Marten Piai juga menyebut, pada awal 1965 saat dia bergabung di Mimbar Ra’jat, di Kota Palu juga ada koran-koran lainnya yang terbit, salah satunya koran yang dibesut oleh Rusdi Toana, yakni Soeara Ra’jat.

“Waktu itu tidak hanya ada koran kami, tetapi ada juga korannya Rusdi Toana, mereka dari HMI, dan dua koran lainnya yang namanya saya sudah lupa,” ujarnya.

Dewan Penasihat Mimbar Rakjat, Ali Mutia sendiri pernah mengisahkan, kehadiran Mimbar Rakjat, ditanggapi secara serius oleh sejumlah surat kabar lainnya di Sulteng saat itu, terutama surat kabar Soeara Ra’jat yang kemudian berubah menjadi Mertju Suar (Mercusuar), asuhan Rusdi Toana, yang berhaluan Muhammadiyah. CDB PKI Sulteng dengan Mimbar Rakjat sebagai corongnya kata Ali Mutia, mendapat persaingan sengit dari Soeara Rakjat/Mercusuar, terutama dari segi ideologi. hal ini kata dia, karena saat itu rata-rata surat kabar yang terbit, berafiliasi dengan partai atau organisasi.

Perseteruan ini berakhir pasca Gerakan 30 September 1965 pecah. PKI dan segenap organisasi sayapnya yang didapuk sebagai dalang peristiwa berdarah itu, hancur lebur dari pusat sampai ke daerah. Karamnya CDB PKI Sulteng dengan ditangkapinya para pucuk pimpinan partai, berimbas juga pada kelangsungan Mimbar Ra’jat.

Mimbar Ra’jat kemudian berhenti terbit, karena dewan redaksinya sebagian besar mengalami penahanan. Pemimpin redaksinya, S. Chaeri Ruswanto dan salah seorang staf redaksinya, yang juga Ketua Pemuda Rakyat (PR) Sulteng, Sunaryo, dieksekusi pada November 1967. Awak redaksi seperti Marten Piai, Marjun Lasama dan beberapa orang lainnya, ditahan dan dijebloskan ke penjara hingga medio 1970-an.

1965 menjadi tahun tutup usia Mimbar Ra’jat. Mimbar Ra’jat mendahului Harian Rakjat yang tutup usia pada 2 Oktober 1965. Mimbar Ra’jat walaupun hanya seumur jagung, namun jejaknya mewarnai ranah persuratkabaran di Sulteng. Namun kata Ali Mutia, pasca prahara 65, Mimbar Ra’jat tetap diupayakan terbit, walaupun hanya lewat tulisan tangan para wartawannya dari balik jeruji penjara. ***


Post a Comment

0 Comments