Catatan 58 Tahun Perjalanan Sejarah Mercusuar

Catatan 58 Tahun Perjalanan Sejarah Mercusuar

1 September 2020, Harian Umum Mercusuar genap berusia 58 tahun. Perjalanan sejarah Mercusuar, tidak lepas dari kehadiran surat kabar Soeara Ra’jat, embrio kelahiran Mercusuar, yang terbit pada 1 September 1962. Idrus Rore dalam bukunya Dari Zamroed Paloe Hingga Mercusuar: Pasang Surut Surat Kabar di Kota Palu (1935 – 1993) menulis, keberadaan surat kabar di Kota Palu sejak tahun 1962 sampai tahun 1965, telah terpolarisasi pada surat kabar pendukung partai. Dari enam surat kabar yang terbit kurun 1962-1965 yakni Soeara Ra’jat, Mimbar Ra’jat, Duta Revolusi, Gesuri, Suluh Marhaen, dan Nusa Putera, hanya surat kabar Soeara Ra’jat yang independen.

Idrus menulis, Soeara Ra’jat adalah surat kabar mingguan yang mulai diterbitkan pada 1 September 1962. Surat kabar ini menurutnya sangat penting dalam sejarah persuratkabaran di Kota Palu, karena surat kabar stensilan ini merupakan embrio bagi kelahiran surat kabar Mercusuar, yang hingga kini masih tetap eksis di Kota Palu.

Lahir Sebagai Soeara Ra’jat

Wakil Pemimpin Redaksi Mercusuar, Temu Sutrisno, dalam tulisannya berjudul Bangkit dengan Modal Dua Komputer Tua: Refleksi 55 Tahun Mercusuar menjelaskan, 31 Agustus 1962, Rusdi Toana harus melewati hari-hari sibuk. Pada saat bersamaan menanti kelahiran putra ketiganya sekaligus mempersiapkan penerbitan surat kabar Soeara Ra’jat (Suara Rakyat), cikal bakal Mercusuar. Di sisi lain, Rusdy Toana juga tengah menyiapkan kelahiran Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Semangat seorang Rusdy Toana tulis Temu, sepertinya tidak sebanding dengan postur tubuhnya yang kecil. Tidak ada keluhan Rusdy Toana hari itu. Walhasil, hari itu Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan anugerah putra ketiga, yang saat ini dikenal sebagai tokoh pers, Tri Putra Toana. Esok harinya, 1 September 1962, surat kabar Soeara Ra’jat terbit untuk pertama kalinya. Satu setengah tahun berselang, Provinsi Sulteng yang diperjuangkan terwujud.

Idrus Rore menyebut, Rusdi Toana menerbitkan Soeara Ra’jat setelah kembali dari Yogyakarta pada tahun 1961. Selama menjadi pelajar maupun mahasiswa di Yogyakarta, ia telah aktif dalam bidang penerbitan surat kabar, khususnya surat kabar mahasiswa. Oleh karena itu, dunia surat kabar bukan arena yang asing bagi pemuda kelahiran Parigi ini. Dalam mengelola penerbitan surat kabar Soeara Ra’jat, dirinya dibantu oleh beberapa teman, seperti Badrun Dg. Ngale, Syukri Maien, dan Andi Tjella Nurdin.

Temu Sutrisno menulis, Soeara Ra’jat di awal kelahirannya, merupakan surat kabar sederhana, hasil stensil. Berita awal yang disajikan menurut penuturan almarhum Syafrun Abdullah, sekira tahun 2012, berita seputar perjuangan pendirian Sulawesi Tengah.

“Mercusuar (Soeara Ra’jat) pertama kebetulan terbit di rumah orangtua saya, di jalan Gajah Mada sekarang. Beritanya soal perjuangan mendirikan Sulteng. Almarhum Rusdy Toana berkawan karib dengan ayah saya dan Mene Lamakarate. Saat itu usia saya 11 tahun. Begitu cetak, esoknya saya edarkan koran itu. Bisa dibilang, saya loper pertama,” cerita almarhum Syafrun Abdullah kala ditemui penulis, di ruang kerja Wakil Ketua DPRD Sulteng tahun 2012 silam.

Lanjut Temu, saksi hidup lahirnya Mercusuar, H. Murad U. Nasir menyeritakan, Mercusuar awalnya bermodalkan alat cetak stensil dan satu mesin ketik kecil.

Melekat dalam ingatan mantan Ketua DPRD Sulteng dan DPR RI ini, awal penerbitan Mercusuar lebih pada alat perjuangan pendirian Provinsi Sulteng dan Universitas Tadulako (Untad).

“Mercusuar menjadi alat perjuangan dan pencerahan. Kak Rusdi Toana waktu itu ingin agar universitas yang berdiri dan negeri dinamakan Universitas Tadulako. Saat awal pendirian kampus, Kak Rusdi sekaligus mahasiswanya. Beliau ketua Dewan Mahasiswa dan saya sekretarisnya,” kenang Murad.

Independen Sejak Lahir

Idrus Rore menulis, walaupun Soeara Ra’jat bersifat independen, dalam arti tidak terikat dan mengikatkan diri pada salah satu partai politik maupun organisasi sosial tertentu, akan tetapi setelah surat kabar Mimbar Ra’jat diterbitkan pada tahun 1963 sebagai surat kabar pembawa suara PKI, maka Soeara Ra’jat mengambil sikap lebih condong pada Muhammadiyah. Sikap Soeara Ra’jat yang condong pada Muhammadiyah kata Idrus, sebenarnya secara laten memang dimiliki sejak awal penerbitan surat kabar Soeara Ra’jat, karena Rusdi Toana dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah Sulteng. Hanya saja pada awal penerbitan, Soeara Ra’jat tidak mengklaim diri sebagai surat kabar yang membawa pesan-pesan dakwah. Pasca terbitnya Mimbar Ra’jat, barulah Rusdi Toana secara tegas menyatakan Soeara Ra’jat condong ke Muhammadiyah.

Dari Soeara Ra’jat ke Mertju Suar

Perubahan nama Soeara Ra’jat menjadi Mertju Suar terjadi pada 1966. Perubahan nama ini dilakukan karena setelah perisitiwa Gerakan 30 September (G30S), semua yang memakai nama ‘Ra’jat’, selalu dikonotasikan dengan PKI. Menurut Idrus, untuk menjaga agar jangan sampai timbul persepsi keliru bahywa Soeara Ra’jat adalah corong dan alat agitasi PKI seperti surat kabar Mimbar Ra’jat, maka Rusdi Toana mengubah nama Soeara Ra’jat menjadi Mertju Suar.

Pemilihan nama Mertju Suar kata Idrus, berkaitan dengan Keputusan Menteri Penerangan No. 29 29/SK/M/65 tentang Norma-Norma Pokok Pengusahaan Surat Kabar Dalam Rangka Pembinaan Surat Kabar Indonesia. Berdasarkan keputusan Menteri Penerangan tersebut, maka semua penerbitan surat kabar diwajibkan berafiliasi pada salah satu partai politik atau organisasi massa yang diakui oleh pemerintah. Khusus untuk surat kabar di daerah, diharuskan berafiliasi pada salah satu penerbitan surat kabar di pusat. Akibat peraturan tersebut, Mertju Suar diharuskan berafiliasi pada surat kabar Mertju Suar yang terbit di Yogyakarta, yang merupakan surat kabar milik Muhammadiyah.     

Meneruskan Wasiat Tonakodi

Temu menulis, kurun 1992-2002, Mercusuar dalam upaya mengembangkan usahanya, bekerjasama dengan Jawa Pos. Kurun waktu itu, manajemen Jawa Pos mengendalikan usaha Mercusuar dengan menempatkan personilnya di jajaran manajemen.

Kerjasama itu pada akhirnya tidak berlangsung lama. Hanya sekira sepuluh tahun, Mercusuar menarik diri dari Jawa Pos Group. Dimulai tahun 1999, saat Rusdi Toana meninggal, putra ketiganya, Tri Putra Toana yang merupakan saudara kandung Mercusuar, selalu terusik dengan wasiat ayahnya.

Sebelum meninggal, Rusdy Toana membisikkan pada Tri Putra Toana untuk menjaga Mercusuar dan mengembangkannya dengan tangannya sendiri. 

“Kelak dari Mercusuar ini, ratusan orang akan menggantungkan hidupnya kepadamu. Jaga keberlangsungan Mercusuar,” kata Tri Putra Toana mengutip wasiat ayahnya.

Akhirnya Februari 2002 menjadi akhir pergulatan pemikiran Tri Putra Toana. Ia memutuskan keluar dari Jawa Pos Group, berniat menjalankan wasiat orangtuanya secara mandiri. Jawa Pos Group pasca mundurnya Tri Putra Toana, mendirikan koran baru dengan nama Radar Sulteng.

Kurun 2002-2004, Mercusuar sebagai korannya rakyat Sulteng istirahat. Mercusuar tidak terbit.

Bangkit Bermodal Utang 50 Juta  

Temu menulis, tahun 2005, tepatnya tanggal 2 Juni, Mercusuar kembali bangkit dan terbit kembali. Hampir semua aset, sumberdaya manusia dan pelanggan Mercusuar telah beralih ke Radar Sulteng. Dengan talenta dan semangat yang diwariskan Rusdi Toana, Tri Putra atau yang akrab disapa Ongki, memulai penerbitan Mercusuar ala ayahnya.

Ongki sendirian dan tanpa modal. Ongki memanggil beberapa teman dekatnya untuk mengelola redaksi. Setelah beberapa orang siap mengelola redaksi, Ongki meminjam modal dari istrinya, Maya Malania Noor sebesar Rp50 juta. Ongki merakit tiga komputer tua tinggalan Universitas Republik menjadi dua komputer siap pakai. Dengan modal Rp50 juta dan dua komputer bekas, Mercusuar terbit kembali dengan numpang cetak di Percetakan Negara (PNRI). Mercusuar menyediakan kertas sendiri dan hanya membayar biaya cetak di PNRI. Kesulitan yang paling parah adalah, Mercusuar tampil hitam putih dan terbit sore. Sementara kompetitor terbit pagi dan tampil warna. Pelan namun pasti, Mercusuar terus tumbuh dan kembali hadir di hadapan pembaca dan pelanggan setia.

Kini setelah 55 tahun, surat kabar stensilan telah menjelma jadi media utama di Sulteng, dengan nama Mercusuar. Media yang mandiri tanpa menginduk pada perusahaan nasional, sebagaimana kebanyakan media di daerah.

Mercusuar, pantas bersyukur atas keberadaannya saat ini. Hal ini karena Mercusuar tidak saja masih bisa bertahan di Tanah Air, di tengah persaingan industri media. Mercusuar menjadi salah satu koran di Sulteng dan Indonesia Timur, yang mampu bertahan di tengah gempuran media yang bernaung di bawah grup media nasional. Mercusuar setidaknya sampai hari ini, mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Di samping persaingan usaha, Mercusuar relatif sukses mengusung idealisme dan kritisisme dalam porsi seimbang. Ini merupakan suatu yang membanggakan pula. Mercusuar masih tetap konsisten dengan ciri dan slogan yang dibawanya sejak berdiri. Kenyataan seperti itu, bagi media tidaklah mudah. Apalagi perubahan perilaku politik masyarakat pembaca dewasa ini sangat drastis. Daya kritis pembaca yang meningkat, selera publik yang meningkat, kompetisi antarmedia yang ketat, pengaruh persaingan bisnis yang besar, dan intervensi politik yang kuat merupakan bagian dari perubahan tersebut. Kenyataan demikian jelas akan menempatkan media pada pilihan posisi yang dilematis: bangkrut atau eksis tetapi harus menyesuaikan selera publik. Jika berada pada pilihan pertama, mungkin jauh-jauh hari Mercusuar sudah bubar. Akan tetapi fakta mengatakan, Mercusuar masih eksis dan konsisten. Prestasi ini patut dibanggakan.

Namun di balik semua itu, konsekuensi yang diambil berat. Dari segi sumber daya manusia, segenap pengelola dan awak Harian Mercusuar dituntut profesional. Variasi dalam rubrikasi, kecerdasan menentukan selera pasar, dan sekaligus meneguhkan sikap kritisis sebagai kepanjangan lidah masyarakat perlu lebih ditingkatkan. Tanpa semua itu, rasanya mustahil Mercusuar bisa menyandang predikat "Korannya Rakyat Sulteng."

Tahun 2014, Mercusuar menjadi pelopor penggunaan mesin dengan teknologi Tricolor. Teknologi ini merupakan yang pertama dipakai di Sulteng. Bagi Mercusuar, pembenahan ini bukan sekadar mengoptimalkan layanan untuk konsumen, namun juga bagian dari membangun Sulteng.

Dalam perkembangannya, Mercusuar melalui payung Tri Media Group telah berkembang dan mengelola Harian Sulteng Raya, Percetakan Tri Putra Media Group, Rakyat Post, Banggai Raya, Sulbar Raya, Poso Raya dan Kaili Post.

Temu, dalam tulisannya, 58 Tahun Mercusuar, Bangkit di antara Dua Bencana menyebut, genap berusia 58 tahun, sebuah kesyukuran sebagai sebuah media mandiri -tanpa modal perusahaan nasional- Mercusuar tetap eksis setelah menghadapi dua bencana besar. Setelah bencana alam 28 September 2018, Mercusuar seperti badan usaha lainnya, kini menghadapi bencana non alam, pandemi Covid-19.

“Alhamdulillah, Mercusuar tetap eksis dan berhasil bangkit saat Sulteng mengalami gempa 28 September. Kini kembali kita diuji dengan wabah corona. Wabah ini membuat hampir semua Negara di dunia resesi, atau setidaknya goncang perekonomiannya. Banyak badan usaha gulung tikar. Mercusuar harus menghadapi ini dengan sikap optimistis. Kita tidak boleh menyerah. Sekali lagi kita harus bersyukur, sudah tujuh bulan corona menyerang, kita masih bisa berdiri,” kata Pimpinan Umum Mercusuar Tri Putra Toana, Senin (31/8/2020).

Mercusuar yang lahir dalam bentuk stensilan pada 1 September 1962 dengan nama Suara Rakyat, kini menjadi salah satu media yang telah tersertifikasi Dewan Pers dengan 100 persen wartawannya dinyatakan kompeten. Terhitung mulai dari pimpinan umum, pimpinan redaksi, redaktur hingga reporter telah bersertifikat sebagai wartawan kompeten.

Tri Putra mengingatkan, bahwa kondisi Mercusuar saat ini tidak terlepas dari kegigihan ayahandanya almarhum Rusdy Toana dan kerja keras seluruh karyawan. “Satu hal yang harus disyukuri, Allah masih menyayangi kita dengan rahman dan rahim-Nya. Mercusuar hidup dan berkembang seperti ini karena ketentuan Allah. Saya orang yang sangat yakin dengan berlakunya kedaulatan Tuhan. Dengan kasih sayang dan campur tangan Tuhan, Mercusuar tetap eksis. Kita berusaha, Allah yang menentukan hasil akhirnya. Semua karena manajemen Allah,” tutur Tri Putra. ***

Post a Comment

0 Comments