Memori Penyintas Tentang Tsunami 1968

Memori Penyintas Tentang Tsunami 1968


Memori Rustam (67) kembali menerawang alam bawah sadarnya, saat menatap foto-foto peristiwa gempa bumi dan tsunami 1968, yang memporak-porandakan kampungnya, Mapaga. Foto-foto tersebut dipamerkan dalam pameran arsip kebencanaan yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Palu, 14 – 16 Agustus 2020. Pameran ini dilaksanakan di Kompleks Tempat Pelelangan Ikan, Dusun Mapaga, Desa Labean, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala.

Rustam yang pada saat bencana naas tahun 1968 itu berusia 15 tahun, ingat betul bagaimana bencana tersebut terjadi. Duduk sembari menyalakan api rokoknya, Rustam mulai bercerita kepada mahasiswa yang melaksanakan pameran tersebut, ihwal bagaimana bencana naas itu bermula.

“Rumah saya di pantai sana (sembari menunjuk arah pantai sebelah timur lokasi pameran). Malam sebelum bencana, saya turun (pulang) ke rumah sekitar jam 11 malam diantar orang ronda. Kebetulan malam itu, agak remang-remang cuaca. Hening sekali malam itu, biasanya di pinggir pantai banyak kicauan burung, tapi malam itu tidak ada kedengaran begitu juga ayam, sampai pagi tidak ada berkokok,” cerita Rustam.

Rustam menceritakan, pagi harinya, sekitar pukul lima, ayahnya yang minum kopi di depan rumah berkata, nak kenapa saya punya firasat seperti ada bahaya mau datang. Mendengar hal tersebut, Rustam spontan menjawab tidak tahu.

Sekitar sejam kemudian kata Rustam, yakni sekitar pukul 6.10, gempa terjadi diiringi suara letusan dari arah tengah laut. Kira-kira lima menit kemudian, terdengar gemuruh dari arah gugusan pulau yang terletak puluhan meter di depan Teluk Mapaga.

“Ada sekitar dua hektar luasnya di laut dekat pulau itu, airnya seperti mendidih terus. Itu sampai sekarang,” ujarnya.

Lanjut Rustam, cerita tentang banyaknya korban saat tsunami 1968, karena orang-orang memunguti ikan yang menggelepar di pantai saat air laut surut setelah gempa, itu tidak benar. Menurutnya, setelah gempa air laut memang surut sekitar 50 meter dari bibir pantai, sehingga terlihat garis pantai yang berubah menjadi curam, akibat gempa.

“Bekas letusan itu yang terisi oleh air laut, yang menyebabkan air laut surut. Setelah surut itu, tidak sampai satu menit, terdengar gemuruh dan terlihat ombak tiga susun itu datang dari arah tengah laut menju ke pantai,” ujarnya.

Saat itu kata Rustam, warga berlarian menyelamatkan diri mencari tempat yang lebih tinggi. Namun korban jiwa tidak terelakkan.

“Warga yang banyak jadi korban yang di sekitar lokasi TPI ini, karena jauh jarak ke tikungan di kuburan itu (seraya menunjuk ke arah kompleks pekuburan di sebelah timur kompleks TPI, yang berjarak kurang lebih 300 meter). Di belakang ini dulu bakau (menunjuk ke arah selatan gedung TPI), jadi susah untuk dilewati untuk menyelamatkan diri. Pemilik rumah tinggi ini (Rustam menunjuk rumah panggung yang terletak tidak jauh di sebelah barat kompleks TPI), kakak, suami dan dua orang anaknya jadi korban,” kenang Rustam.

Menurut Rustam, banyak warga yang tidak selamat dan jadi korban, karena saat gempa terjadi, sebagian besar warga masih terlelap tidur. Warga yang jadi korban kata dia, banyak yang tersangkut di bakau, sehingga salah seorang dokter yang datang pasca kejadian, menyuruh untuk membakar lokasi bakau itu, karena mayat yang tersangkut sudah tidak bisa lagi diangkat, karena sudah membusuk.

“Sebagian dikuburkan di pekuburan umum oleh sanak keluarganya,” ujarnya.

Jurnalis Harian Umum Mercusuar, Jefrianto, dalam tulisannya Agustus 1968: Dua Tsunami di Pantai Barat Donggala menyebut, pada Agustus 1968, terjadi dua gempa dan tsunami yang meluluhlantahkan kawasan pantai barat Kabupaten Donggala. Akibat bencana ini kata dia, Pulau Tuguan hilang tersapu tsunami.

Surat kabar Nieuwsblad van het Noorden edisi 23 Agustus 1968, dalam beritanya terkait gempa dan tsunami, yang meluluhntahkan kawasan pantai barat Kabupaten Donggala tahun 1968 mencatat, ada dua periode gempa bumi yang disertai tsunami, dalam selang waktu empat hari, menghajar kawasan tersebut, yakni 10 dan 15 Agustus. Hal ini juga tercatat dalam Newsletter, Vol. I No. 3 (5 September 1968), yang diterbitkan International Tsunami Information Center di Hawaii, di mana tercatat dua kali gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 1968, sebagaimana dikutip dari Historia.Id.

Dari sumber yang sama disebutkan, pada awal minggu, Departemen Sosial di Jakarta mengumumkan, 200 orang telah tewas dalam gempa bumi pada 15 Agustus, di daerah pesisir Donggala di Sulawesi Tengah.

Majalah Tempo pada 1978 memberitakan, tsunami yang menghantam Pantai Donggala, Teluk Mapaga, dan Pulau Tuguan setinggi 8-10 meter, melabrak pantai sampai sejauh 300 meter. Akibatnya 800 rumah hancur dan 200 orang meninggal dunia.

Gempa kedua terjadi pada 15 Agustus 1968 bermagnitudo 7,4 dengan pusat gempa di Laut Sulawesi. Kantor Berita Antara melaporkan, gempa ini menghasilkan gelombang tsunami besar yang mengakibatkan Pulau Tuguan tenggelam sepenuhnya dan menghilang.

Petugas polisi yang dikirim dari mercusuar Mangalihat di Pulau Borneo tidak menemukan jejak Tuguan atau penduduknya. Gempa bumi juga mengakibatkan gunung berapi di Pulau Sangihe dan Talaud di ujung utara Pulau Sulawesi mulai bergemuruh dan mengeluarkan asap.

Tiga minggu kemudian, gempa kecil masih terus terjadi dan aktivitas gunung berapi di Talaud dan Sangihe mengancam 200.000 orang yang tinggal di pulau itu. Pihak berwenang pun meminta kapal untuk membantu evakuasi warga.

Sejarawan IAIN Palu, Mohammad Sairin menceritakan, DPRD-GR Sulawesi Tengah dalam sidangnya pada tahun tersebut, mengusulkan kepada pemerintah pusat, agar Tsunami Mapaga ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Pegiat literasi kebencanaan, Muh "Neni" Isnaeni Muhidin, dalam tulisan Literasi Bencana (26) menyebutkan, Gubernur Sulteng saat itu, Moh Jasin, yang baru empat bulan dilantik, juga turun meninjau langsung lokasi tsunami di Mapaga.

Neni menjelaskan, peninjauan mantan Komandan Korem 132/Tdl ini ke lokasi bencana, terekam dalam sebuah foto arsip yang diolah kembali oleh Kukuh Ramadhan. Foto ini menampakkan Gubernur Jasin sedang berada di atas perahu saat meninjau lokasi kejadian.

Sementara itu sejarawan Untad, Wilman D Lumangino mengatakan, saat meninjau rencana pembangunan dermaga dan jembatan di Labean dan Tambu, pada Oktober 1973, Gubernur Sulawesi Tengah saat itu, Albertus Maruli Tambunan, meninjau langsung lokasi bekas bencana tsunami di Dusun Mapaga, Desa Labean, Kecamatan Balaesang.

Tsunami 1968 menghantam wilayah pesisir Balaesang, Dampelas, serta Sojol. Meski berdekatan, daerah Sirenja sedikit beruntung sebab terlindung Tanjung Manimbaya. Lanjut Sairin, orang-orang saat itu belum mengenal istilah tsunami. Di Sirenja kata dia, tsunami disebut "lembotalu" yang memiliki arti air laut bergelombang tiga.

Tsunami menurut warga setempat, selalu datang dengan tiga gelombang. Kosakata lembotalu ini kata dia, dipengaruhi oleh bahasa Mandar, Lembong Tallu. Sirenja banyak dipengaruhi Mandar. Dari tradisi lisan, orang Mandar lebih dulu datang daripada orang Bugis di Sirenja.

“Istilah Lembotalu ini, saya dengar dari nenekku. Nenekku tahu dari mamanya, orang kaili di Sirenja,” ujar Sairin.

Rahman Tedi, salah seorang warga Desa Lombonga, Kecamatan Balaesang menceritakan, pada saat bencana 1968 tersebut, salah seorang warga bernama La Malo, berhasil selamat walaupun saat itu dirinya dalam keadaan cacat dan tidak bisa berjalan. Menurut Rahman, pada waktu air laut naik, semua keluarga La Malo lari menyelamatkan diri, tapi naas, usaha itu tidak membawa hasil. La Malo sendiri berusaha naik ke loteng rumahnya dan berhasil selamat.

“La Malo sekarang menetap di Desa Parisan Agung, Kecamatan Dampelas,” ujar Darwin, warga Desa Labean, Kecamatan Balaesang, yang kini menetap di Desa Parisan Agung, Kecamatan Dampelas.

Sementara itu, pegiat literasi kebencanaan, Neni Muhidin menuliskan, seminggu pasca gempa bumi dan tsunami di Teluk Mapaga, 15 Agustus 1968, Munir Hasir (80), sesepuh di Loli Tasiburi, Donggala, berangkat kesana menjadi tukang bangunan, yang ikut mendirikan ulang beberapa bangunan sekolah. Dia lahir enam bulan setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami di Teluk Tomini yang juga terjadi di Teluk Palu pada 20 Mei 1938.

Bencana gempa dan tsunami di Pantai Barat Donggala, 10 dan 15 Agustus 1968, menjadi memori kolektif masyarakat di kawasan tersebut. Memori kolektif ini melahirkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Hal ini terbukti pada bencana 28 September 2018, di mana beberapa jam sebelum gempa bermagnitudo 7,4 terjadi pukul 18.02 WITA, masyarakat di kawasan tersebut, sebagian besar telah mengungsi di kawasan perbukitan dan dataran tinggi, akibat rentetan gempa yang terjadi pada sore harinya. ***

Post a Comment

0 Comments