Ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Nicolaus Adriani dan etnolog berkebangsaan Belanda, Albertus Christiaan Kruyt, dalam De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes yang dipublikasikan pada tahun 1912, menuliskan pengamatan mereka terhadap apa yang dilakukan masyarakat di selatan Teluk Tomini, dalam momen Ramadan dan Idul Fitri.
Poeasa atau puasa, sebutan lokal untuk Ramadan di selatan Teluk Tomini, ditentukan oleh penampakan pertama bulan sabit dengan mata, dan diumumkan di rumah Raja atau kepala kampung, di mana penentuan awalnya ditandai dengan sebuah tembakan pistol. Begitu tanda ini diberikan dari rumah utama, setiap orang yang memiliki senjata, juga menembakkan senjata, sebagai tanda mulainya Ramadan.
Dua atau tiga hari sebelum malam penentuan awal Ramadan, masyarakat disebut melakukan ziarah sekaligus membersihkan makam keluarga mereka. Menjelang malam pertama bulan puasa, banyak makanan lezat telah disiapkan, dan kunjungan dilakukan bersama.
Pada malam pertama, masjid dan langgar terbuka untuk umum. Pada malam-malam berikutnya di bulan puasa Anda, lampu terus menyala di malam hari, di mana banyak orang kemudian melaksanakan ibadah tarawih. Penjaga masjid atau langgar harus bekerja keras untuk menjaga, agar wadah air untuk wudhu tetap terisi. Selain itu, dirinya juga dipersenjatai dengan sepotong rotan, untuk mengatasi anak-anak yang membuat kegaduhan.
Adriani dan Kruyt mengatakan, secara keseluruhan, masyarakat sangat mengerti apa tujuan dari puasa.
"Kami tidak makan di bulan puasa, karena kami telah melakukan banyak dosa dalam satu tahun terakhir, sehingga Allah dapat mengampuni kami melalui puasa ini dan kami akan bersih lagi setelah itu," tulis Adriani dan Kruyt.
Pandangan lainnya yakni urga hanya dibuka selama bulan puasa. Biasanya puasa dimulai dengan banyak ketekunan, bahkan air liur seseorang dimuntahkan dengan hati-hati, sehingga tidak ada yang masuk ke mulut. Tetapi setelah seminggu, terlihat bahwa banyak yang tidak lagi melaksanakan puasa.
Namun mereka begitu malu satu sama lain, sehingga hanya sedikit orang yang makan di depan umum selama puasa. Banyak yang membuat aturan untuk berpuasa hanya 4 hari dan tidak berpuasa di hari-hari lainnya. Tetapi, cara paling umum untuk melepaskan diri dari tekanan puasa, adalah untuk menjauh dari tempat-tempat utama, dan tinggal di tempat-tempat yang lebih kecil di pantai, di mana puasa tidak diamati. Masyarakat lainnya mulai berpuasa di pertengahan bulan pertama, atau meminta maaf karena tidak berpuasa tahun ini, karena mereka melakukannya tahun sebelumnya. Masyarakat lainnya berpuasa hanya untuk beberapa hari di awal dan di akhir bulan.
Hanya di ibu kota Todjo (Tojo) suasana puasa menonjol, karena terbatasnya pergerakan orang di luar rumah. Beberapa masyarakat berpendapat, mereka tidak berjalan karena itu akan membuat mereka berkeringat dan berkeringat mencemari mereka, tetapi alasan sebenarnya mungkin karena mereka merasa terlalu lesu untuk melihat dan berbicara dengan orang lain.
Pada siang hari di bulan puasa, masyarakat melakukan beberapa aktivitas untuk membunuh waktu, yakni membaca Alquran. Mereka yang menjaga puasa dengan sungguh-sungguh, disebut membunyikan gong pada waktu yang berbeda dalam sehari, khususnya lima waktu salat.
Pada hari ke-15 bulan puasa, pada malam hari, masyarakat melaksanakan ritual yakni Koenoe. Koenoe (Qunu) ini sendiri indetik dengan Qunut yang dilaksanakan pada salat Witir sesudah salat Tarawih. Pada kesempatan ini juga, biasanya dilakukan tradisi siram kubur.
Kemudian, memasuki hari ke-27 bulan puasa, itu beberapa potong kulit pisang dikumpulkan dan ditempatkan di rumah pada beberapa lokasi, yang diatur di tangga. Kemudian, tumpukan damar yang dihancurkan atau kopal gusi, ditempatkan di atas wadah tersebut. Saat malam tiba, damar dinyalakan, sehingga seluruh desa diterangi. Lampu ini juga diletakkan di makam dan kembali dilakukan ritual siram kubur. Orang-orang disebut tidak tahu arti dari ritual ini dan mengklaim bahwa itu hanya berfungsi untuk mempersiapkan penyerahan diri. Dengan lampu yang menyala ini, orang-orang memperingati penyerahan Alquran oleh Allah ke bumi.
Dua hari berikutnya, masyarakat menunaikan zakat fitrah, yang dalam bahasa lokal disebut Pitara. Pitara terdiri dari beras atau uang, atau keduanya. Masing-masing membawa Pitara-nya, baik kepada guru atau tempatnya belajar membaca Alquran, atau ke Kali (Kadi), ke Ima (Imam), atau ke Katibi (Khatib). Pitara ini selalu jauh lebih sedikit dari jumlah yang ditentukan, misalnya ketika uang dibawa untuk membeli beras yang disebut dari guru, itu tidak pernah berjumlah lebih dari 30 sen, kurang dari sepuluh sen. Di Parigi, orang biasanya memberi 1 Kati atau 600 gram beras, kemudian sirih, pinang, dan tembakau.
Saat mengantarkan Pitara, masyarakat mengenakan pakaian bagus. Saat mengantarkan Pitara, pihak yang mengantarkan duduk kemudian berkata "Terima Pitara kami."
Sang guru atau Katibi kemudian mengambil piring tembaga (dulang), yang ditutupi dengan kapas putih dan ditempatkan di depan pengantar Pitara. Pitara biasanya ditempatkan di dulang, dengan lilin yang menyala diletakkan di sisinya. Kemudian guru mengambil segenggam beras, menghirup baunya, dan menggumamkan doa. Dia kemudian mengangkat tangan ke atas seraya berdoa, diikuti oleh si pengantar Pitara. Setelah ini, keduanya berjabat tangan, di mana tangan ditutupi dengan kain sutra atau katun. Akhirnya, para pengantar Pitara memberi guru beberapa sirih dan pinang, yang dengannya, upacara penerimaan pitrah telah berakhir dan para pengantar Pitara kembali ke rumah.
Pitrah sepenuhnya untuk kepentingan orang yang menerimanya. Adriani dan Kruyt beberapa kali mendengar keluhan tentang penerapan Pitara, terutama ketika wilayah-wilayah di Selatan Teluk Tomini yang sudah miskin, dilanda kelaparan. Namun, jarang berani mengabaikan Pitara ini.
Mereka berkata, "Jika kita tidak memberikan Pitara, guru mengatakan, kami tidak akan menerima berkah dari Ala Ta'ala (Allah) dan jika kita memberi terlalu sedikit, mereka tidak akan menerimanya.''
Akhir bulan puasa, yaitu malam ketika bulan sabit yang baru pertama kali terlihat, diberitakan lagi dengan suara tembakan dari halaman rumah kepala kampung, di mana tembakan ini disambut dengan tembakan lainnya. Akhir puasa disebut sebagai tempat lain dengan istilah boeka poeasa (buka puasa), dan ini adalah festival keunggulan bagi pria. Pada malam Buka Puasa, lebih banyak orang berkumpul di masjid atau di rumah kepala (di mana tidak ada masjid atau langgar, seperti di Sausu), daripada di awal puasa.
Pada pagi harinya, beduk dipukul dengan semangat, dan para wanita mengunjungi masjid. Para pria hanya hadir dalam jumlah kecil. Di luar hari ini, seorang wanita tidak pernah muncul di masjid. Pada kesempatan ini, semua mengenakan pakaian terbaik mereka.
Pada pukul setengah tujuh pagi, salat Ied dimulai dengan takabere (takbir) oleh Ima (imam) atau Katibi (khatib). Setelah salat, masing-masing yang hadir memberikan sedekah (sudaka) kepada Ima atau Katibi, yang telah membaca takbir, di mana masing-masing memberikan mulai dari 0,25 hingga 2 gulden, sesuai dengan kemampuannya. Ima dan pengurus masjid kemudian membagi sedekah ini di antara mereka sendiri.
Kemudian, tembakan meriam lain ditembakkan di halaman kepala kampung sebagai tanda Selamat Idul Fitri, setelah itu semua orang berkumpul di masjid, berjabat tangan, dan memberi selamat satu sama lain. Lalu makanan dibawa ke masjid, dan tanpa pantangan, orang makan di dalam dan di luar masjid.
Banyak wanita kembali ke makam keluarga mereka setelah acara makan ini, sementara yang lain berangkat dengan para pria untuk melakukan kunjungan akhir untuk meminta maaf. Dalam kunjungan tersebut, adat juga menetapkan beberapa aturan, di mana kepala lanskap atau kampung, selalu yang pertama datang. Di mana-mana orang menerima kue dan banyak tamu bahkan memiliki seorang anak lelaki yang duduk di belakang mereka, dengan keranjang atau tas untuk membawa pulang makanan lezat yang dikumpulkan dari rumah yang berbeda. Kue dimakan bersama, setelah membaca doa selamat.
Diceritakan, Raja Todjo, Lariwoe (Lariwu), biasa memberikan uang kepada setiap tamunya pada hari raya. Jumlahya bervariasi, di mana 1 gulden untuk orang dewasa dan 0.25 hingga 0.50 gulden untuk anak-anak. Kunjungan ini dilakukan bersama selama dua atau tiga hari.
Dari pengamatan Adriani dan Kruyt ini, kita melihat ada beberapa tradisi unik yang dilakukan di masa lalu, yang tidak lagi dijumpai saat ini, atau masih dijumpai tapi nilainya telah bergeser. Tradisi seperti ziarah makam dan selamatan di awal Ramadan masih dilakukan sampai saat ini, namun tradisi menembakkan senjata sebagai tanda awal Ramadan, tidak lagi dapat ditemui, seiring dengan telah diumumkannya awal Ramadan oleh pemerintah melalui media, baik cetak, televisi, radio, maupun daring.
Kemudian kebiasaan seperti qunut setelah witir sejak 15 Ramadan, hingga kini tetap dilaksanakan, namun ritual ziarah makam yang dilakukan di momen itu, tidak lagi dapat ditemui. Begitu pula dengan tradisi menyalakan pelita dari getah dammar di momen tiga hari terakhir Ramadan, yang kini berganti dengan tradisi menyalakan lilin. Tradisi ziarah makam di momen ini juga tidak lagi dapat ditemui.
Selanjutnya, tradisi menunaikan zakat fitrah dengan menggunakan dulang dan kain putih, sudah jarang ditemukan. Kini masyarakat lebih memilih mengantar langsung zakat fitrahnya ke masjid-masjid. Lalu, tradisi tembakan senjata menandai awal bulan Syawal juga tidak lagi ditemui, juga tradisi member sedekah kepada imam dan pengurus masjid, yang berganti dengan kotak amal yang disebar saat mendengarkan khutbah Idul Fitri atau diletakkan di depan masjid sebelum salat dimulai.
Tradisi mengenakan pakaian baru dan memberikan hadiah berupa uang, masih terlihat hingga saat ini dan menjadi budaya yang tidak lepas dari momen berlebaran. Momen makan bersama di masjid tidak lagi terlihat, karena saat ini, masyarakat memilih untuk berkumpul bersama keluarga masing-masing sambil menyantap makanan.
Ya.. tradisi akan terus berubah dan menyesuaikan seiring perkembangan jaman. Jika tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan jaman, maka tradisi yang ada, akan hilang ditelan oleh waktu. Tradisi yang pernah ada, namun telah hilang atau pudar, menarik untuk kembali ditelaah, untuk menjadi pengetahuan bagi generasi mendatang, terutama terkait nilai luhurnya sebagai perekat keberagamaan dan keberagaman.
0 Comments