FOTO: Koleksi KHST |
Sebelum budaya penggunaan kerudung atau hijab berkembang di lembah
Palu, masyarakat Suku Kaili di wilayah tersebut, khususnya kaum perempuan, telah
memiliki cara tersendiri untuk menutup aurat, saat hendak keluar rumah. Cara tersebut
dikenal dengan istilah Nompejomu.
Pemerhati budaya Kaili, Atman mengatakan, Nopejomu digunakan
perempuan di Tanah Kaili, khususnya Lembah Palu, saat keluar rumah. Selain memakai
baju kebaya, mereka menggunakan dua buah sarung. Satu digunakan untuk Nitedesi,
yakni memakai sarung sebagai rok, dengan mengambil satu ujung sarung dan dilipat
ke depan dan dimasukkan di pinggang untuk memperketat sarung, agar jangan
terlepas, sedangkan satu sarung lainnya digunakan untuk Nosalibumbu, atau
menutup kepala hingga wajah dengan sarung.
Dengan menggunakan dua sarung ini kata Atman, hanya mata dan
kaki yang kelihatan, seperti penggunaan cadar di masa sekarang. Nompejomu ini
kata dia, terutama diperuntukkan para Randa (gadis). Adapun untuk orang tua yang
menginjak usia lanjut (lansia), biasanya selain menggunakan Sampolu (kain penutup
kepala), juga menggunakan sarung sebagai selendang (Niposalele).
Cara perempuan Kaili menggunakan sarung sebagai selendang (Niposalele). FOTO: TROPEN MUSEUM |
Atman menjelaskan, budaya Nompejomu sudah hadir sebelum masuknya
Islam. Budaya tersebut mulai berubah
sejak ada pelarangan oleh pemerintah, terutama oleh tentara dan polisi, pada
masa Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) dan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII), sekitar 1950-an.
“Pada masa itu sempat dilarang (Nompejomu red.), karena saat
itu, banyak gerombolan (sebutan untuk pengikut DI/TII) yang mengelabui aparat
dengan Nompejomu. Dikira masih perempuan yang Nompejomu, ternyata sudah gerombolan,”
ujarnya.
Senada dengan pernyataan Atman, sejarawan IAIN Palu,
Mohammad Sairin mengatakan, budaya Nompejomu masih bertahan sampai tahun 1950-an
di Palu. Bahkan menurut dia, di kampung-kampung, budaya tersebut masih bertahan
hingga tahun 1990-an.
Budaya Nompejomu sendiri, erat kaitannya dengan bagaimana
masyarakat Suku Kaili mengenal sarung sebagai pakaian. Sejarawan Universitas Tadulako,
Wilman Darsono Lumangino mengatakan, budaya sarungan, merupakan tradisi orang Melayu.
Laman allsarong.com menulis, kata sarung berasal dari bahasa Melayu, yang
berarti ‘menutupi’. Dalam laman tersebut disebutkan, sarung adalah pakaian
tradisional Kepulauan Melayu, yang terdiri dari kain panjang yang dililitkan
dan diikatkan di tubuh pada bagian pinggang atau lengan.
Sementara itu, Arkeolog Museum Negeri Sulawesi Tengah, Iksam
mengatakan, budaya sarung sendiri, masuk dan berkembang di lembah Palu mulai abad
16 dan 17, di kawasan pesisir. Budaya ini menurutnya dibawa oleh Melayu, lalu kemudian
oleh orang Bugis, Jawa, dan Arab.
Budaya Nompejomu yang berkembang di masyarakat Suku Kaili di
wilayah lembah Palu dan sekitarnya, merupakan salah satu bukti jika masyarakat Kaili,
sangat menjunjung tinggi kehormatan perempuan. Budaya Suku Kaili sendiri, menempatkan
perempuan dalam posisi yang tinggi dalam tatanan sosialnya, misalnya dengan
tatanan Ntina dan status Bulonggo dalam keluarga bangsawan.
Nilai-nilai dalam budaya Nompejomu sendiri, yakni menjunjung
tinggi kehormatan perempuan, seharusnya kembali diejahwantahkan saat ini, di
era di mana adab ketimuran, semakin jauh panggang dari api.
0 Comments