Mendung menggelayut di langit Palu sore itu. Hembusan angin
dari Teluk Palu, menerbangkan debu dan butiran pasir di pantai yang dikenal
dengan beragam nama, mulai dari pantai penghibur hingga pantai Besusu tersebut.
Di sisi ujung barat pantai yang berbatasan dengan muara sungai Palu, masih
berdiri kokoh sisa kemegahan jembatan Palu IV yang tutup usia saat bencana 28
September 2018 lalu.
Seorang lelaki paruh baya, mengenakan topi, kaos oblong
dengan sablon cat kreasi sendiri, bersarungkan kain putih, sibuk menempelkan
sketsa wajah di sisi puing sisa jembatan Palu IV itu. Sebagian sketsa
ditempelkannya di lokasi pepohonan yang sebelum bencana merupakan pusat
keramaian yang diberi nama Kampung Kaili. Ada ratusan sketsa wajah dengan
ekspresi yang hampir seragam, seperti wajah seseorang yang sedang tidur.
“Semuanya berjumlah 280 sketsa, melambangkan tanggal
kejadian bencana lalu. Sketsa-sketsa ini merupakan representasi dari ratusan
korban tsunami di pesisir pantai tersebut,” ujar Endeng Mursalim, pelukis
ratusan sketsa tersebut. Abah, sapaan akrab Endeng, merupakan salah seorang
seniman di Kota Palu.
Pameran ratusan sketsa ini diberi judul The End Dead:
Adat-Adab. Pameran ini kata Abah, dilaksanakan untuk memperingati setahun
bencana 28 September 2018. Namun kata dia, sesungguhnya pameran ini
dilaksanakan dengan harapan, puing jembatan Palu IV yang tersisa ini tidak
dibongkar oleh pemerintah, dan dijadikan museum kebencanaan.
“Harapan saya, walaupun kawasan pantai ini nantinya akan
ditata ulang, puing jembatan Palu IV ini kalau bisa jangan dibongkar, sebagai
pengingat kita tentang bencana setahun lalu, agar kita selalu mawas diri
terhadap resiko bencana,” ujarnya.
Abah bahkan mengatakan, jika puing jembatan ini benar-benar
tidak dibongkar, pihaknya berencana mengkreasikan sebuah karya seni rupa di
jembatan tersebut, yang menggambarkan situasi pada saat 28 September 2018
tersebut. Hal yang sama juga rencananya akan dilakukan di puing jembatan Palu
IV di sisi lainnya di wilayah Kelurahan Lere.
Harapan ini disambut positif oleh Sekretaris Daerah Provinsi
Sulteng, Hidayat Lamakarate, yang hadir dalam pameran tersebut. Dirinya mengaku
sependapat dengan Abah, bahwa jembatan ini sebaiknya tidak dibongkar dan
dijadikan monument sejarah, untuk mengingatkan masyarakat Sulawesi Tengah dan
khalayak umum dan sebagai bukti, bahwa pernah terjadi peristiwa bencana besar
di lokasi tersebut.
Hidayat juga mengatakan, lokasi ini harus didesain dengan
perencanaan yang baik. Para seniman kata dia, harus berpikir untuk mendesain
lokasi ini, agar menarik dan memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.
“Kita bias mencontoh Aceh yang menjadikan kapal yang
terdampar di tengah kota sebagai monumen sejarah bencana tsunami di sana. Bisa
juga dibuat pusat kuliner dan keramaian lainnya di sini, bisa ditawarkan ke
Pemerintah Kota Palu, nanti kolaborasi dengan Pemerintah Provinsi Sulteng.
Untuk penataannya, para pihak harus duduk bersama, karena di kawasan ini juga
akan dibangun kawasan tangguh bencana,” jelasnya.
Sementara itu dari pihak Pemerintah Kota Palu yang diwakili
Kepala BPBD Kota Palu, Singgih mengatakan, pihaknya akan menginformasikan
permintaan abah tersebut kepada Pemerintah Kota Palu, dalam hal ini Wali Kota
Palu. Dirinya secara pribadi, mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Abah,
sebagai upaya untuk merawat memori tentang kebencanaan.
Salah seorang pengunjung, Yayan (30), mengaku sepakat dengan
ide dari Abah. Menurutnya, puing jembatan ini memang sebaiknya tidak dibongkar,
agar masyarakat tetap mengingat sejarah kebencanaaannya, sehingga dapat selalu
waspada terhadap potensi bencana yang ada.
“Jembatan ini bisa menjadi sarana mitigasi bencana bagi
masyarakat,” ujarnya.
Upaya mempertahankan puing jembatan Palu IV ini, sejatinya
akan berbenturan dengan rencana pembangunan tanggul sepanjang 7,2 km di pesisir
pantai tersebut. Sebelumnya, pada November 2019 lalu, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memulai pembangunan tanggul tsunami atau
tanggul penahan gelombang air laut di Teluk Palu Kota Palu, melalui bantuan
dari Japan International Cooporation Agency (JICA).
Tanggul tsunami yang menelan dana senilai Rp250 miliar itu
dibangun di Teluk Palu sepanjang 7,2 kilometer dengan dana utang luar negeri
dan diberi nama Tanggul Laut Silae, Lere, Besusu Barat dan Talise (Silebeta)
karena dibangun di sepanjang empat kelurahan itu.
Pembangunan tanggul laut itu ditandai dengan pemecahan kendi
tanda dimulainya pembangunan oleh Wakil Menteri PUPR, Jhon Wempi Wetipo dan
Gubernur Sulteng, Longki Djanggola di Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi. JEF
0 Comments