Bertaruh Pada yang Muda

Bertaruh Pada yang Muda

INFOGRAFIS: Tirto.id
“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah!”

Demikianlah Soe Hok-gie, aktivis angkatan 66 yang dikenal cerdas, idealis, dan kritis, menuliskan pandangannya tentang politik. Pandangan ini, jika dilihat dari konteks jamannya (zeitgeist), agaknya akan diamini oleh mereka yang hidup di masa tersebut. Pada masa Orde Lama, di mana kutub kekuatan politik terpusat pada dua kutub besar, yakni militer dan komunis, praktik keruh menjurus ‘kotor’ dalam politik, adalah hal biasa.

Pada paruh akhir kekuasaannya, Soekarno menegaskan dirinya sebagai pemimpin seumur hidup, lewat keluarnya Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit tersebut menandai fase demokrasi terpimpin ala Soekarno, dengan konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunis (NASAKOM) sebagai penyokongnya.

Sibuk menyeimbangkan tiga pondasi konsepnya, Soekarno lupa pada cita-cita awal kemerdekaan Indonesia, yakni kebebasan dan kesejahteraan. Keadaan ekonomi yang tidak stabil, suhu politik yang semakin panas, juga pemberangusan lawan politik dan kebebasan berpendapat, menjadi pemandangan sehari-hari di masa itu.


Pasca tragedi 30 September 1965, yang merupakan klimaks dari perseteruan dua kutub besar politik di masa itu dan robohnya konsep NASAKOM ala Soekarno, Indonesia menatap era baru. Aksi mahasiswa antara tahun 1965-1966, di mana Soe Hok-gie juga hadir di dalamnya, ikut andil dalam peralihan ini. Imbalannya, 13 perwakilan mahasiswa ditunjuk menjadi perwakilan mahasiswa di DPR-GR

“Ujian pertama dari KAMI datang pada saat penawaran menjadi anggota DPR-GR. Golongan moral forces menolaknya, karena melihat racun berbungkus madu diatas kursi empuk DPR-GR. Sebaliknya golongan politisi setuju karena suara mereka diperlukan untuk voting anti Soekarno (yang makin lemah) dan menyusun UU Pemilihan Umum,” tulis Soe Hok Gie dalam artikel “Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo PPMI”, Kompas, 26 Oktober 1967, sebagaimana dilansir dari Historia.Id.

Dalam artikel berjudul ‘Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa’, yang ditulis oleh Martin Sitompul di laman Historia.Id, disebutkan, sinis bercampur sedih mengisi benak Gie, tatkala memandang laku para rekannya yang menurutnya, sudah mulai silau dengan kekuasaan. Dalam artikel yang sama, Gie menyebut sebagian besar aktivis-aktivis KAMI adalah tokoh-tokoh yang hidup dengan menunggangi status kemahasiswaannya. Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun dan telah berkali-kali tak naik kelas, karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi mahasiwa yang berpolitik, tetapi politikus yang punya kartu mahasiswa.

“Akhirnya Soekarno jatuh tetapi mahasiswa yang di DPR-GR juga jatuh martabatnya di mata mahasiswa biasa,” tulis Gie.

Dalam artikel tersebut disebutkan, begitu para aktivis kampus ini duduk di kursi anggota dewan, perpecahan mulai meletup. Pasalnya, mereka yang telah ditunjuk dalam parlemen bersekutu dengan partai politik. Mereka tak lagi berbicara atas nama mahasiswa, melainkan sebagai wakil golongan Islam, Katolik, dan sebagainya. Perselisihan pun mencuat ditingkat akar rumput, yaitu di antara sesama anggota KAMI. Sebagai organisasi mahasiswa yang menanungi berbagai golongan, KAMI tak lagi satu suara untuk kepentingan bersama.

“Dari sini kelihatan bahwa tokoh-tokoh KAMI mulai kembali ke induknya,” ujar Gie.

Gie secara radikal menentang mantan rekannya sesama aktivis mahasiswa yang memilih terjun berpolitik praktis. Dalam disertasinya di Australian National University, John Maxwell menjelaskan gagasan Gie, bahwa mahasiswa seharusnya hanya muncul sebagai aktor politik, manakala krisis sedang mencapai puncaknya. Ketika krisis sudah berlalu, mereka seharusnya kembali ke kampus. Gie membayangkan semangat aktivisme yang wajar: mulai soal olahraga, sampai soal kebebasan mimbar kampus. Namun, yang terjadi kemudian justru sebaliknya.

“Segera terlihat bahwa aktivis-aktivis terkemuka KAMI tidak tertarik untuk atau cakap menangani masalah sehari-hari yang paling signifikan bagi mahasiswa biasa, seperti kualitas pendidikan yang mereka dapatkan, kondisi sumber daya universitas, misalnya perpustakaan dan laboratorium, dan penyediaan fasilitas olahraga yang lebih baik,” tulis Maxwell dalam Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Prediksi Gie tentang “racun bercampur madu” yang menjerat di kursi di dewan legislatif terbukti. Kelakuan minus para aktivis mahasiswa-cum-anggota parlemen yang lupa diri ini terendus ke muka publik. Mulai dari wara-wiri keluar negeri dalam rangka “misi pencarian fakta” tanpa hasil, ketidakterbukaan soal gaji mahasiswa sebagai anggota DPR-GR, hingga berlomba-lomba kredit mobil mewah. Puncaknya ketika para anggota laskar menggemboskan mobil ban tokoh-tokoh mahasiswa di markas Laskar Arief Rachman Hakim. Mereka merasa tertipu melihat kemewahan para pemimpinnya.

Menyaksikan perangai cacat mantan kawan seperjuangannya, Gie tergerak memberikan apresiasi. Bersama beberapa rekannya, dia mencetuskan rencana untuk mengirimkan hadiah “Lebaran-Natal” kepada wakil-wakil mahasiswa di parlemen. Sebuah paket diantar pada 12 Desember 1969. Isinya antara lain: pemulas bibir, bedak pupur, cermin, jarum, dan benang. Sepucuk surat dan kumpulan tanda tangan mengiringi.

Sebagaimana termuat dalam harian Nusantara, 15 Desember 1969, demikian pesan dalam paket tersebut.

Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosmetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR.

Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi anda –tidurlah nyenyak!

Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan ex-demonstran ’66.

Puluhan tahun berselang, Indonesia memasuki babak baru, zaman reformasi. Kungkungan selama 32 tahun di masa Orde Baru, terurai satu demi satu. Satu hal yang baru, rakyat kini punya andil dalam memilih sendiri wakilnya di parlemen.

Pemilihan anggota legislatif secara langsung oleh rakyat ini, merupakan angin segar bagi para calon anggota legislatif (caleg) berusia muda. Dilansir dari laman Tirto.id, terdapat 414 calon legislatif yang berusia di bawah 30 tahun dalam Pileg 2014, di mana jumlah caleg muda pada gelanggang politik pemilihan lima tahun tersebut sekitar 6,5 persen dari total 6.397 caleg. Situasi itu berbeda pada 2019, di mana berdasarkan data yang diolah tim riset Tirto.id, ada 878 caleg muda berusia di bawah 30 tahun, atau meningkat lebih dari 100 persen dari Pileg 2014. Caleg termuda berusia 21 tahun. Jumlah caleg muda ini sekitar 11 persen dari total 7.968 caleg.

Ratusan caleg muda itu tersebar pada semua partai. Partai Solidaritas Indonesia menjadi partai yang paling banyak mengusung caleg muda dengan 171 caleg, disusul oleh Partai Garuda (84), Partai Persatuan Pembangunan (81), Partai Kebangkitan Bangsa (78), Partai Amanat Nasional (58), Gerindra dan Perindo (masing-masing 56), serta NasDem (52). Sisanya adalah partai yang mengusung kurang dari 50 caleg muda. Golkar memiliki 45 caleg, Hanura (37), Partai Berkarya (35), PDIP (34), PKS (31), Demokrat (24), Partai Bulan Bintang (21), dan PKPI (20).

Menurut survei politik LIPI, sebagaimana dilansir Tirto.id, ada sekitar 35 persen sampai 40 persen pemilih dalam Pemilu 2019 yang didominasi oleh Generasi Milenial.

"Atau jumlahnya sekitar 80 juta dari 185 juta pemilih," kata Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI Sarah Nuraini Siregar, akhir Desember 2018.

Para parpol pun meyakini jargon bahwa caleg anak muda akan dipilih oleh anak muda juga. Logika macam ini setidaknya akan dipakai oleh beberapa elektorat muda pada pemilu mendatang.

Namun pada kenyataannya, jumlah caleg muda yang meningkat signifikan, tidak berbanding lurus dengan harapan yang ditawarkan. Banyak pihak yang masih meragukan kemampuan dan kredibilitas anak muda, untuk duduk di ‘kursi panas’ legislatif.

Belum lagi dilihat dari latar belakang sejumlah caleg muda hingga berani mencalonkan diri, seperti patronase dan privilese keluarga. Kenyataan ini cukup mengundang perhatian dan dan dugaan kehadiran mereka, sebagai upaya memperkokoh dinasti politik dan kekuasaan di lingkaran keluarga.

Memang latar belakang sebagian caleg muda lainnya tidak hanya berasal dari privilese keluarga, ada juga yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha muda, public figur, hingga aktivis atau mantan aktivis organisasi kemahasiswaan. Alasan mereka terjun ke gelanggang elektoral tentu beragam, dan menarik melihat sepak terjang para caleg muda yang lolos menduduki kursi dewan, apakah akan menjadi penyambung lidah rakyat, atau bernasib sama seperti pendahulunya, 53 tahun yang lalu?        




Post a Comment

1 Comments