Membangun Masyarakat yang Adaptif Dengan Bencana

Membangun Masyarakat yang Adaptif Dengan Bencana

Masyarakat harus belajar menerima kenyataan, jika mereka tinggal di atas wilayah yang memiliki potensi bencana. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah adaptif dengan potensi bencana yang ada.
Dua hal di atas, adalah sedikit dari apa yang coba saya pahami, dari dua seri terakhir Forum Warga Membaca Bencana yang diinisiasi oleh Posko Relawan Pasigala Tangguh, 6 dan 7 Desember 2018 lalu. Forum diskusi yang sudah memasuki seri kelima ini, mencoba membaca dan menyikapi potensi bencana yang ada di Sulawesi Tengah (Sulteng) khususnya wilayah Palu, Sigi, dan Donggala, yang terdampak bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi, 28 September 2018 lalu, dengan berbagai perspektif, seperti sejarah, arkeologi, sosial, sains, adat, dan ragam perspektif lainnya.


Dua seri terakhir forum diskusi ini mnghadirkan sejumlah narasumber yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Seri diskusi 6 Desember 2018 menghadirkan arkeolog Museum Negeri Sulteng, Iksam, MHum dan seri diskusi 7 Desember 2018 menghadirkan pengamat kebencanaan dari Universitas Tadulako (Untad), Drs Abdullah, MT.

Iksam, dalam pemaparannya pada seri diskusi yang dihadiri sejumlah elemen masyarakat menjelaskan, nenek moyang masyarakat di Sulawesi Tengah (Sulteng), yang menurut sejumlah penelitian merupakan bangsa Austronesia, cenderung adaptif dengan bencana, misalnya gempa bumi. Bangsa Austronesia ini sendiri kata Iksam, daya jelajah dan penyebarannya termasuk yang sangat luas di dunia, di mana menurutnya, salah satu penyebab penyebaran bangsa ini ke berbagai penjuru dunia, adalah keberulangan bencana di wilayah yang mereka diami.

Salah satu contoh adaptifnya leluhur masyarakat Sulawesi Tengah dengan bencana, adalah struktur bangunan yang tahan gempa. Iksam menjelaskan, arsitektur khas di Sulteng dibangun berdasarkan prinsip tipikal tradisi arsitektural Austronesia kuno, yaitu struktur kotak yang didirikan di atas tiang fondasi kayu, dapat ditanam kedalam tanah atau diletakkan di atas permukaan tanah, dengan fondasi batu, lantai panggung, atap miring dengan jurai yang diperpanjang dan bagian depan atap yang condong mencuat keluar. Sedangkan di bagian timur Kepulauan Indonesia, banyak tipe rumah tradisional digolongkan sebagai bagian dari tradisi arsitektur vernakular, yang bentuk bangunannya biasanya memiliki lantai berbentuk lingkaran dan berstruktur atap kerucut tinggi seperti bentuk sarang tawon atau struktur atap berbentuk kubah elips.

Kedua tipikal arsitektur bangunan ini, memang dirancang untuk tahan gempa bumi. Contoh arsitektur tersebut saat ini dapat dilihat pada bangunan Lobo dan Tambi, yang masih dapat ditemukan di wilayah Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso.

Sementara itu, pengamat kebencanaan Untad, Drs Abdullah, MT memberikan penjelasan, bagi masyarakat yang tempat tinggal atau bangunannya berada tepat di jalur sesar, agar pindah minimal dengan jarak 10 meter dari lokasi tersebut. Dengan jarak minimum tersebut pun kata dia, bangunan yang dibangun tidak boleh bertingkat dan dianjurkan dengan konstruksi rumah panggung, sebagai konstruksi tahan gempa.

Kemudian terkait aspek tata ruang wilayah, Iksam menyebut, pembangunan kawasan pemukiman di wilayah Palu dan sekitarnya dewasa ini, tidak lagi mengindahkan asal usul lahan yang ditempati. Untuk kasus likuifaksi di sejumlah wilayah seperti Balaroa, Petobo, dan Jono Oge kata dia, berdasarkan peta yang dibuat oleh etnolog Albert C Kruyt pada tahun 1916, ternyata di kawasan yang terdampak likufaksi tersebut, merupakan daerah aliran sungai (DAS) sungai purba, seperti Jono Oge yang merupakan DAS Sungai Paneki, Petobo merupakan DAS Sungai Kapopo atau yang dinekal dengan nama lain yakni Sungai Nggia dan Balaroa, khususnya kawasan Perumnas, merupakan DAS Sungai Uwe Numpu.

Dewasa ini kata dia, banyak bangunan perumahan di Palu dan sekitarnya yang dibangun di DAS sungai, seperti BTN Puskud di Palupi, yang dibangun tepat di DAS. Ada juga beberapa pemukiman di sebelah timur Palu, yang dibangun di atas atau di sisi Salu yang jika diartikan adalah sungai kecil yang kering. Kawasan-kawasan yang penamaannya menggunakan kata Salu, perlu ditelusuri asal usul atau sejarahnya, karena bisa jadi, kawasan tersebut dahulu merupakan DAS. Dirinya mencontohkan Salu Bai yang terltak di Kelurahan Tondo, yang merupakan aliran sungai dari Vatutela. Salu ini melewati kawasan sebelum kawasan Pergudangan di Layana, memotong jalan Trans Sulawesi di depan salah satu kompleks perumahan elit, dan bermuara di pantai Teluk Palu. Jika hujan turun dengan intensitas tinggi, kawasan jalur Salu tersebut pasti tergenang.

Selain istilah Salu, ada juga istilah Binangga, yang juga artinya sungai, dengan ukuran yang lebih besar. Penamaan Binangga ini juga dijadikan nama sebuah desa di Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi. Kemudian dalam skala besar, dikenal istilah Karona, yang merujuk pada istilah untuk menyebut Sungai Palu.

Untuk itu kata dia, penamaan-penamaan lokal atau toponim wilayah di Palu dan sekitarnya, sangat penting untuk diketahui kembali. Karena kata dia, nama-nama ini juga banyak yang diilhami dari kejadian alam yang ada di kawasan tersebut. Dirinya mencontohkan Tagari Londjo di sekitar kawasan Balaroa, di mana Londjo artinya tertanam dalam lumpur, kemudian Duyu yang artinya longsor, Tatura yang kemungkinan berasal dari kata Natura yang artinya turun, Kaombona yang berarti runtuh, Tompe yang artinya terhempas, hingga Jono, sejenis tumbuhan alang-alang yang tumbuh di pinggir sungai.

Baik Iksam maupun Abdullah bersepakat, pemerintah harus lebih mengutamakan pelibatan masyarakat dalam penyusunan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik kota/kabupaten maupun provinsi, termasuk dalam kategorisasi zonasi kawasan mana saja yang layak untuk ditinggali.

Kemudian untuk urusan mitigasi bencana, keduanya juga bersepakat agar hal tersebut juga harus diinisiasi oleh kelompok masyarakat, tanpa harus menunggu pemerintah turun tangan. Mitigasi bencana berbasis kearifan lokal kata Iksam, sudah terbukti di masa lalu, mampu menyelamatkan banyak nyawa saat terjadi bencana.

Berdasarkan pada kenyataan tersebut, Penanggung Jawab Posko Relawan Pasigala Tangguh, Nurlalea Lamasitudju mengatakan, seri forum diskusi yang dilaksanakan pihaknya tersebut, selain sebagai upaya memandang potensi bencana dari berbagai perspektif, juga merupakan forum edukasi bagi elemen masyarakat untuk memahami aspek kebencanaan dari ragam sudut pandang.

Forum ini juga kata dia, berupaya memberikan perspektif dan masukan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar lebih memperhatikan pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan keruangan, terutama soal hubungan aspek keruangan dengan potensi kebencanaan. Masyarakat kata dia, tidak boleh lagi acuh dengan asal usul lahan yang ditempatinya, tapi harus bersikap proaktif dan adaptif, karena dengan tinggal di atas wilayah yang akrab dengan sejarah kebencanaan, dua sikap di atas menjadi kunci untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan.

Terkait data-data maupun analisis yang disampaikan sejumlah pihak dalam forum tersebut, terkait bacaan mereka soal fenomena bencana yang terjadi, menurut Ella, sapaan akrabnya, harus disikapi dengan arif. Jika dimaknai sebagai menakut-nakuti, maka informasi yang disampaikan akan dianggap tidak lebih sebagai momok, namun jika informasi yang disampaikan diterima dengan arif sebagai kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja atau telah terjadi, maka respon yang dilakukan setelahnya adalah menerima kenyataan dan mencoba beradaptasi dengan keadaan. 

Post a Comment

0 Comments