Odong-odong kini telah menjadi alternatif baru bagi warga
Kota Palu, khususnya anak-anak yang tempat tinggalnya jauh dari wahana
permainan di pusat-pusat perbelanjaan. Berbagai macam jenis odong-odong pun
bermunculan mulai dari kereta mini, odong-odong sepeda, hingga komidi putar.
Odong-odong jenis komidi putar merupakan jenis yang baru di
Kota Palu. Saat ini odong-odong tersebut baru beroperasi di sekitaran kawasan
Palu Utara dan Tawaeli. Namanya belum sepopuler odong-odong jenis kereta mini
yang telah lebih dulu eksis di Kota Palu.
Odong-odong jenis ini menggunakan aki sebagai sumber tenaga
untuk menggerakkan odong-odongnya.
Sujarno adalah nama dari pemilik odong-odong jenis komidi
putar tersebut. Pria paruh baya asal Kediri, Jawa Timur ini, baru sekitar 8
bulan menetap di Palu.
Ia menekuni usaha odong-odong tersebut sejak dua bulan lalu.
Berkat bantuan sang kakak yang bernama Wiwik, ia membeli dua odong-odong jenis
komidi putar di Surabaya. Harga satu odong-odong berkisar Rp 24-25 juta.
Berbekal dua buah odong-odong tersebut, Sujarno mengais
rejeki di Kota Palu. Ia memilih mangkal di Pasar Inpres Manonda yang letaknya
tidak jauh dari rumah kakaknya di Jalan Srikaya.
Peminat odong-odong milik Sujarno makin hari makin bertambah.
Ia bahkan sudah punya langganan tetap. Sewa yang relatif murah dan kebaikan
Sujarno yang biasanya tetap menaikkan anak-anak yang tidak punya uang membuat
odong-odongnya laris manis.
Namun, kesuksesan yang diraih oleh Sujarno dilihat sebagai
persaingan oleh beberapa orang yang seprofesi dengannya. Kehadiran Sujarno
dianggap sebagai pesaing dan ancaman bagi usaha mereka. Cara-cara kotor pun
dilancarkan untuk menjatuhkan Sujarno.
Sujarno pernah diintimidasi oleh seorang oknum suruhan salah
satu orang yang seprofesi dengannya. Ia dikejar oleh orang tersebut dengan
sebilah parang terhunus di tangannya. Orang tersebut pun berhasil diamankan dan
digelandang ke Kantor Polisi terdekat. Tak ingin menambah masalah, Sujarno
meminta kepada pihak polisi agar orang tersebut dilepaskan.
Tak mau kejadian yang sama terulang, Sujarno beserta sang
istri memutuskan untuk pindah. Anaknya tetap dibiarkan tinggal bersama sang
kakak untuk bersekolah.
Sujarno memutuskan untuk pindah ke Tawaeli. Ia melihat bahwa
persaingan di tempat barunya tersebut tidak sekeras di Pasar Inpres Manonda.
Sujarno tinggal di sebuah kos-kosan di wilayah Kelurahan Lambara.
Di tempat baru tersebut, Sujarno memulai kembali usahanya.
Perlahan tapi pasti ia mulai menemukan ritmenya. Penghasilannya memang belum
seberapa dibandingkan saat beroperasi di pasar dulu.
Dalam sehari Sujarno bisa mendapatkan Rp. 200-300 ribu. Ia
biasa beroperasi mulai jam 14.00 hingga jam 21.00. Wilayah operasinya biasanya
dari Kayumalue – Tawaeli – Pantoloan.
Pelan-pelan, Sujarno mulai menemukan pelanggan lagi. Tak
jarang ia bahkan dijamu oleh orang tua anak-anak yang menaiki odong-odongnya
dengan teh atau kopi dan cemilan. Situasi bersahabat seperti ini tak ia rasakan
di tempatnya dulu.
Odong-odong milik Sujarno diminati karena selain sewanya
murah yaitu hanya Rp. 5.000 sekali naik, keselamatan anak-anak yang naik pun
terjamin. Odong-odong miliknya tidak beroperasi di jalan raya seperti
odong-odong kereta mini. Odong-odong miliknya bisa dinaiki di halaman rumah.
Terkait penghasilan yang belum seberapa, Sujarno menuturkan
bahwa hal tersebut terjadi karena odong-odongnya belum terlalu dikenal oleh
masyarakat. Ia pun baru 10 hari menetap di Tawaeli. Ia masih harus lebih
membaur dengan masyarakat sekitarnya.
Setiap hari, Sujarno harus menyetor Rp. 150.000 dari
penghasilannya kepada sang kakak. Sisanya ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan biaya sekolah anaknya. Ia juga harus menyisihkan uang untuk membayar
kontrakan setiap bulan sebesar Rp. 400.000.
0 Comments