Rian sedari siang tadi terlihat
sibuk sendiri di kamarnya. Ia membereskan kamarnya yang acak-acakan ibarat
kapal pecah. Hari itu, ia tidak punya agenda kemana-mana. Buku-buku di rak
kembali disusun rapi, sarang laba-laba di langit-langit kamar dibersihkan,
pakaian bersih dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari, lantai yang kotor disapu
dan dipel.
“Hmmm, sudah hampir beres,
sekarang tinggal membereskan berkas-berkas yang ada di dalam lemari,” ujar
Rian.
Ia pun segera membuka lemari
tempatnya menyimpan berkas-berkasnya tersebut. Berkas-berkas yang ada di dalam
lemari tersebut adalah berkas-berkas yang berkaitan dengan kuliah, organisasi,
lomba, berkas saat masih SMU, hingga kertas-kertas bekas yang penuh coretan.
Rian memang gemar mengarsipkan segala macam benda dan dokumennya, bahkan sampai
pada selembar kertas penuh coretan pun tak luput darinya.
Rian kemudian
mengeluarkan berkas-berkasnya tersebut satu persatu untuk kemudian dipisahkan
berdasarkan jenis dan waktunya. Berkas-berkas kuliah dimasukkan ke dalam satu
kardus, berkas-berkas organisasi pun demikian, dan seterusnya. Berkas-berkas
yang terakhir dimasukkan adalah berkas-berkas saat ia masih SMU. Di dalamnya
ada buku-buku catatan pelajaran, sebuah buku album untuk akuntansi, lembar
jawaban ulangan harian, mid semester, dan ujian akhir, serta beberapa bundel
kertas di dalam map.
Rian pun kemudian membuka satu
persatu buku catatan pelajaran yang ia gunakan saat masih duduk di bangku SMU
tersebut. Buku-buku tersebut penuh dengan coretan dan gambar di halaman
belakangnya. Namanya dan nama kawan-kawan karibnya terukir di halaman belakang
buku-buku tersebut. Melihat hal tersebut, senyum mulai merekah di bibir Rian.
Ia kembali mengingat kebersamaan dengan kawan-kawannya di SMU dahulu.
“Ah, sudah lama sekali,” gumamnya
dalam hati.
Muncul kerinduan dalam dirinya
untuk kembali ke masa-masa indah tersebut.
Ketika sedang asyik membuka-buka
buku catatannya tersebut, tiba-tiba Rian terdiam. Matanya tertuju pada satu
tulisan di halaman bukunya. Tulisan tersebut adalah dua nama yang dibingkai
dengan gambar hati lengkap dengan sebuah tanggal. Melihat nama tersebut, Rian
pun berujar dalam hati
“Hmm, sudah hampir 11 tahun
berlalu, ternyata tulisan ini masih ada,” kenangnya.
Nama yang bersanding dengan
namanya di dalam bingkai gambar hati bertanggal 01-10-2006 di sebuah halaman
buku catatan tersebut sudah hampir dilupakannya. Maklum saja, sudah hampir 11
tahun ia tak bertemu dengan si pemilik nama tersebut. Lewat nama tersebut, Rian
mulai kembali menerawang ke masa 11 tahun yang lalu, pada saat ia masih duduk
di kelas 2 SMU. Dibiarkannya berkas-berkas tadi berserakan di kasurnya. Sambil
memandang langit-langit kamar, ia seakan menaiki mesin waktu untuk kemba ke
masa-masa tersebut. Sebuah nama rupanya adalah jalan masuk bagi memori-memori
terpendam dalam hidup kita. Memori-memori tersebut terkadang manis, terkadang
pahit.
***
Sore itu langit cerah seperti biasanya. Sinar matahari mulai bersahabat, tak seperti siang tadi. Hembusan angin pun turut membantu menghilangkan kegerahan akibat cuaca tak bersahabat siang tadi. Sejak pulang sekolah, Rian sudah mengurung diri di dalam kamar. Ia merebahkan dirinya di kasur dengan ditemani lantunan indah milik grup band Ungu. Saat itu, lagu-lagu milik band yang digawangi Pasha, Enda, Oncy, Makki dan Rowman tersebut, memang lagi hits-hitsnya di telinga anak muda.
Sore itu langit cerah seperti biasanya. Sinar matahari mulai bersahabat, tak seperti siang tadi. Hembusan angin pun turut membantu menghilangkan kegerahan akibat cuaca tak bersahabat siang tadi. Sejak pulang sekolah, Rian sudah mengurung diri di dalam kamar. Ia merebahkan dirinya di kasur dengan ditemani lantunan indah milik grup band Ungu. Saat itu, lagu-lagu milik band yang digawangi Pasha, Enda, Oncy, Makki dan Rowman tersebut, memang lagi hits-hitsnya di telinga anak muda.
“Tidur dulu sedikit, baru main
bola sebentar,” ujar Rian sambil mendengar lagu-lagu dari VCD playernya.
Saat itu, untuk memutar musik, orang-orang
masih harus menggunakan VCD player, MP3 player dan tape. Teknologi pemutar
musik belum secanggih saat ini. Handphone yang dilengkapi dengan pemutar
musikpun masih sangat jarang dan mahal harganya.
Jarum jam menunjukkan pukul
16.00. Rian dibangunkan oleh ibunya untuk mengantarkannya ke pasar.
“Rian, bangun dulu, antar mama ke
pasar,” suruh sang ibu.
“Hoaaam,” sambil menguap, Rian
bangun dan berujar “iya ma, saya cuci muka dulu”.
Rian pun segera menuju ke kamar
mandi untuk membasuh wajahnya dengan air.
Rian kemudian mengantarkan sang
ibu pergi belanja ke pasar. Satu jam kemudian, ibunya telah selesai berbelanja
dan mereka segera pulang. Ketika sampai di depan lorong, sang ibu menyuruh Rian
untuk berhenti di depan penjual pisang goreng.
“Singgah dulu sebentar, mama mau
beli pisang goreng untuk dimakan di rumah,” kata sang ibu.
“Iya ma, tapi jangan lama-lama
apa saya mau main bola,” ujar Rian.
“Mama Rais, bungkuskan pisang
gorengnya, harga lima ribu,” ujar ibunya Rian.
“Iya mama Opi. Eh ngomong-ngomong
siapa yang ba bonceng kita itu?,” tanya si penjual sambil menoleh kepadaku
seraya memasukkan pisang goreng ke dalam kantongan plastik.
”Oh, ini saya punya anak yang
bungsu, namanya Rian. Eh mama Rais, anaknya kita juga itu?,” sambil
memperkenalkan Rian, sang ibu juga bertanya, siapa gadis yang membantu Mama
Rais berjualan.
“Oh, ini anak saya yang pertama.
Namanya Mhey,” jawab Mama Rais. Si gadis yang disebut namanya tadi menoleh
kepada ibunda Rian sambil tersenyum manis.
Dari atas motor, Rian sedari tadi
juga memperhatikan gadis tersebut.
“Manis juga,” gumamnya dalam
hati. Setelah pisang goreng selesai dibungkus, ibunya Rian menyerahkan selembar
uang lima ribu kepada Mhey.
“Terima kasih,” ujar si gadis
sambil kembali tersenyum. Kemudian, motor pun segera melaju menuju rumah.
Itulah kali pertama Rian bertemu
dengan si pemilik nama dalam buku catatannya tersebut. Ibu gadis tersebut
setiap hari berjualan pisang goreng di depan lorong tempat tinggalnya. Setiap
sore, jika Rian disuruh untuk membeli pisang goreng, ia pasti selalu melihat
gadis itu menemani ibunya. Selain berjualan pisang goreng, ibu gadis tersebut
juga sesekali mengojek ibunya Rian ke pasar, jika Rian tidak sempat mengantar.
Rian kemudian mengetahui dari
teman-temannya bahwa gadis tersebut adalah kakaknya Rais, salah seorang
temannya bermain sepak bola. Walaupun umurnya jauh dibawah Rian, Rais menjadi
teman bermainnya. Pada saat itu, pergaulannya lebih banyak dengan anak-anak SD
dan SMP. Teman–temannya tinggal di lorong yang sama dengan lorong tempat gadis
tersebut tinggal.
Pada saat itu, belum terpikir
dalam benak Rian untuk berpacaran. Namun bukan berarti Rian belum pernah
merasakan yang namanya jatuh cinta. Ia sempat merasakan yang namanya jatuh
cinta pada saat kelas 3 SMP kepada teman sekelasnya yang bernama Puji. Cintanya
tersebut pada akhirnya tidak pernah ia utarakan sampai mereka berpisah setelah
pelulusan SMP. Setelah itu, ia tidak pernah jatuh cinta lagi.
Bagi Rian, tidak ada perempuan
yang sama seperti Puji mungkin sampai saat itu. Semua aspek dimilikinya untuk
menjadi seorang “pendamping” yang baik. Ia baik, cantik, pandai, ramah, dan
soleha. Sayangnya pada saat itu Rian belum memiliki keberanian yang cukup untuk
mengungkapkan perasaannya kepada sang pujaan hati.
Pertemuan pertama Rian dengan si
pemilik nama dalam buku catatanya tersebut rupanya berlanjut ke
pertemuan-pertemuan berikutnya. Ia sering berpapasan dengan sang gadis, tiap
kali si gadis belanja di kios milik sepupu Rian yang bernama Iman. Rumah gadis
tersebut ternyata berada di belakang rumah sepupu Rian tersebut.
Pertemuan yang setengah kebetulan
tersebut, lama-kelamaan membuat Rian penasaran ingin mencari tahu lebih dalam
mengenai gadis tersebut. Pada sebuah kesempatan, gadis tersebut terlihat asyik
bercengkrama dengan Wulan, yang juga salah satu sepupu Rian. Setelah
gadis tersebut pergi, Rian kemudian menanyakan kepada Wulan mengenai gadis
tersebut. Wulan pun menerangkan latar belakang gadis tersebut dengan sangat
jelas layaknya seorang narasumber yang sedang diwawancara.
“Namanya Mhey. Keluarganya pindah
ke sini karena mengungsi akibat kerusuhan Poso. Kayaknya dia seumuran denganmu.
Dia tinggal bersama ayah tiri, ibu dan adiknya. Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu
tanya-tanya tentang dia? Kamu suka yah dengan dia?,” tanya Wulan kepada Rian.
“Ah tidak, Cuma mau tahu saja
soalnya saya sering lihat dia dengan mamanya di tempat ba jual pisang
goring,” jawab Rian sedikit mengelak. Memang ada rasa penasaran yang muncul di
benak Rian tentang Mhey. Lebih tepatnya, ia terpesona dengan keteduhan
senyumannya.
Selanjutnya, Rian makin sering
bertemu dengan Mhey. Tidak hanya ketika Mhey menjaga jualan ibunya atau ketika
ia belanja di kiosnya Iman, Rian juga sering berpapasan jalan dengan Mhey
ketika ia hendak ke lapangan bola. Seringnya mereka berpapasan karena lorong
menuju rumah Mhey merupakan jalan pintas ke lapangan bola. Tiap kali
berpapasan, Mhey selalu tersenyum sambil menunduk malu. Setiap Mhey tersenyum,
selalu saja Rian salah tingkah, entah nyanyi-nyanyi tidak jelas atau
bersiul-siul tidak jelas. Senyuman Mhey pastinya selalu membuat Rian
klepek-klepek.
Jika diperhatikan, perawakan Mhey
biasa saja untuk ukuran gadis seusianya. Walaupun agak kurus, namun Mhey
memiliki kulit putih bersih, dan bermata agak sipit seperti gadis keturunan
Tionghoa. Dari Wulan, Rian mengetahui bahwa ayah kandung Mhey ternyata memang
masih keturunan Tionghoa. Sayang, ayah dan ibunya berpisah saat dia masih
kecil. Mhey akhirnya memilih untuk ikut dengan sang ibu hingga saat ini.
Dengan seringnya mereka
berpapasan jalan, lama-kelamaan bersemi juga benih-benih cinta Rian kepada
Mhey. Ia pun memberanikan diri untuk menanyakan kepada Wulan, apakah Mhey sudah
punya pacar? Dan ternyata Rian mendapat jawaban yang menggembirakan; Mhey belum
punya pacar.
Rian pun segera mencari cara
untuk bisa mendekati gadis pujaan hatinya. Wulan dan Fani menjadi “jembatan”
untuk mendekati Mhey. Kedekatan dua orang sepupunya ini dengan Mhey menjadi
modal yang cukup untuk memuluskan usaha Rian. Saat itu, tidak lama lagi akan
memasuki bulan Ramadhan. Pada saat itu, awal bulan Ramadhan tepat jatuh pada
tanggal 1 Oktober.
Cara Rian menarik perhatian Mhey
agak sedikit sporadis. Tiap kali Mhey belanja di kiosnya Iman, Rian selalu
berada di situ, dan setiap Mhey hendak pulang, Rian pun menyuruh Wulan
untuk menggoda Mhey.
“Mhey, ada sepupuku kirim salam
sama kamu. Namanya Rian,” ujar Wulan seraya menoleh kepada Rian.
Mendengar hal tersebut, Mhey
tersentak kaget. Wajahnya memerah dan dia menatap ke arah Rian sebentar.
Kemudian dengan malu-malu dia bergegas pulang ke rumahnya. Cara sporadis
tersebut terus diulangi oleh Rian, bahkan sesekali tanpa perantaraan Wulan.
Mhey pun kadang dibuat salah tingkah dengan godaan tersebut. Dari gelagatnya,
Rian merasa bahwa apa yang ia rasakan pada Mhey, juga dirasakan Mhey kepadanya.
“Kayaknya dia juga suka sama
saya”, ujar Rian meyakinkan dirinya. “Tapi, saya tidak berani ba tembak dia.
Saya takut nanti ditolak,” pikir Rian di dalam hati. Perasaan yang berkecamuk
di dalam dirinya membuat Rian lama kelamaan pusing juga.
Akhirnya Rian memutuskan untuk
“menembak“ sang pujaan hati.
“Daripada penasaran dan hanya
disimpan dalam hati, lebih baik diutarakan saja. Ditolak atau diterima itu
belakangan, yang penting dia sudah tahu apa yang saya rasakan,” gumam Rian
dalam hati. Rian nampaknya tidak ingin kesalahan saat menyukai Puji dan tidak
berani mengutarakan perasaannya terulang kembali.
Rencana pun disusun matang oleh
Rian untuk mengutarakan perasaan pada sang pujaan hati. Ia berencana
mengutarakan perasaanya tersebut tepat pada hari pertama puasa. Melalui Fani,
Rian menitipkan pesan kepada Mhey untuk bertemu setelah shalat subuh pada hari
pertama puasa.
“Saya tunggu di pinggir kuala,”
pesan Rian kepada Fani seraya memberikan dua lembar uang seribu rupiah sebagai
upah menjadi kurir. Tak ada yang gratis di dunia ini katanya.
Malam hari menjelang puasa,
seperti tahun-tahun sebelumnya, Rian selalu shalat tarawih bersama
teman-temannya. Moment shalat tarawih adalah momen berkumpulnya anak-anak muda
termasuk Rian. Sholat tarawih pun dilaksanakan dan Rian mengakhirinya hanya
dengan 8 rakaat dan segera bergegas menuju kiosnya Iman. Di kios tersebut, Fani
telah menunggu dengan kabar dari Mhey yang hendak disampaikan kepada Rian.
“Fani, gimana? Apa dia mau?,”
tanya Rian tidak sabar.
“Dia mau. Sebentar subuh tunggu
dia di kuala pas selesai sholat subuh. Ingat jangan terlambat. Kalau
kau terlambat, so te ada harapanmu lagi,” ujar Fani menyampaikan
pesan dari Mhey.
Setelah mendengar pesan dari Mhey
yang disampaikan oleh Fani, Rian segera pulang ke rumah. Ia tak lagi tertarik
untuk melewatkan malam dengan kawan-kawannya. Sesampainya di rumah, ia segera
tidur karena tidak ingin terlambat bangun sahur. Sebelum tidur, Rian berpesan
kepada ibunya untuk membangunkannya. Namun malam itu, Rian ternyata tidak dapat
tidur karena memikirkan rencana pertemuannya dengan Mhey tersebut.
Sayup-sayup suara lantunan ayat
suci yang berkumandang di mesjid terdengar bersahutan dengan kokok ayam dan
suara katak. Suara anak muda berkeliling membangunkan orang untuk sahur juga
sayup-sayup terdengar. Rian yang tidak bisa tidur karena memikirkan rencana
pertemuannya, segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia kemudian membasuh muka
dan makan sahur bersama keluarga. Sahur pertama di bulan puasa memang
menyenangkan apalagi jika berkumpul bersama keluarga.
Rian menyelesaikan santap
sahurnya dengan cepat dan segera menuju kamar untuk mengganti pakaian dengan
baju koko dan sarung. Berbeda dengan biasanya, ia menyemprotkan sedikit parfum
ke pakaiannya. Orang-orang di rumahnya dibuat heran dengan perilaku tidak biasa
Rian tersebut. Tidak biasanya Rian serapih ini “hanya” untuk pergi menunaikan
sholat subuh.
Rian kemudian pamit untuk pergi
menunaikan ibadah sholat subuh. Ia pun pergi ke kiosnya Iman dan di sana telah
banyak teman-temannya menunggu untuk pergi menunaikan sholat subuh
bersama-sama. Setelah terdengar adzan subuh, mereka pun bergegas untuk
berangkat menuju masjid.
Berbeda dengan bulan puasa sebelumnya,
sholat subuh yang ditunaikan oleh Rian kali itu sungguh tidak khusyuk. Dalam
pikirannya hanya ada pertanyaan tentang apa yang hendak ia katakan sebentar
saat bertemu Mhey? Jangan sampai ia nantinya hanya akan terdiam seperti patung.
Setelah selesai menunaikan sholat
subuh, teman-teman Rian bersiap-siap untuk JJS (jalan-jalan subuh). Minggu
pertama bulan puasa selalu ramai dengan anak muda yang berjalan-jalan di
seputaran kota setelah selesai menunaikan ibadah sholat subuh. Mereka biasanya
memilih beberapa spot seperti pantai sebagai tempat nongkrong sambil
menyongsong fajar. Rian memutuskan untuk tidak ikut JJS dengan teman-temannya
dengan alasan ia tidak punya motor. Sebenarnya ia dapat saja menumpang dengan
salah satu temannya, namun ia telah punya agenda lain yang lebih penting yaitu
bertemu Mhey.
Rian pun segera bergegas pulang,
tetapi bukan ke rumah melainkan menuju ke kuala. Dengan setengah berlari,
ia bergegas menuju kuala. Ia tidak ingin terlambat sampai di sana karena
teringat pesan Fani bahwa jika ia terlambat, tidak ada lagi kesempatan kedua
yang datang untuknya.
Dengan napas terengah-engah, Rian
pun sampai di pinggirkuala. Saat itu, di kuala sudah banyak orang
yang datang. Ada yang datang dengan teman-temannya, pacar, saudara, dan ada
juga yang datang seorang diri. Menunggu terbitnya fajar di tempat itu sudah
menjadi sebuah ritual yang wajib bagi para muda-mudi di sekitar tempat Rian
tinggal.
Rian pun segera mencari tempat
untuk duduk di sekitar kualasambil mengamati keadaan sekitarnya. Ada orang
yang datang dengan pacarnya, temannya, dan saudaranya. Mereka bercengkerama,
bersenda gurau sambil menanti terbitnya fajar.Kuala adalah sebutan
orang-orang Palu untuk sungai. Kuala yang paling sering dikunjungi
oleh anak muda pada minggu-minggu awal bulan Ramadhan adalah kuala (baca:
sungai) Palu yang membelah kota Palu menjadi dua bagian yaitu timur dan barat.
Daerah bantaran kuala yang ramai dengan aktivitas adalah daerah Tavanjuka,
Nunu, Maesa, Ujuna, Kampung Baru, dan Besusu. Saat ini sudah ada 4 jembatan
besar dan 1 jembatan gantung yang menjadi penghubung wilayah yang terpisah oleh kuala tersebut.
Sekitar hampir setengah jam Rian
menunggu, namun Mhey tak kunjung datang. Hari pun sudah semakin terang.
“Ternyata dia tidak datang,”
gumam Rian dalam hati.
Dengan sedikit kecewa, Rian
beranjak dari tempat duduknya untuk pulang. Perasaanya campur aduk kala itu,
antara kecewa, putus asa, dan patah hati. Jika diibaratkan berperang, ia telah
kalah sebelum berperang. Untuk kedua kalinya ia gagal mengutarakan perasaanya
kepada seorang gadis.
Pada saat ia berbalik dan hendak
berjalan untuk pulang, tiba-tiba gadis yang dinantikannya telah muncul di
hadapannya. Sang gadis masih memakai mukena yang tadi digunakannya untuk
sholat. Ia datang bersama dengan seorang teman perempuannya.
Sang gadis kemudian mengulurkan
tangannya sambil menyebutkan namanya.
“Namaku Mhey, namamu Rian kan?,”
ujar sang gadis. Rian pun segera menyalaminya dan menyebutkan
namanya. ”Iya namaku Rian,”.
“Maaf, saya sedikit terlambat.
Ada urusan sedikit tadi,” ujar Mhey.
“Owww. Tidak apa-apa, saya juga
belum lama menunggu. Terima kasih sudah mau datang,” ujar Rian.
Teman perempuan Mhey tadi pun
meninggalkan Mhey dan Rian berdua saja. Dengan mengumpulkan keberanian, Rian
mengajak Mhey untuk jalan-jalan sebentar menyusuri tepian kuala. Namun,
Mhey menanggapi ajakan tersebut dengan balik bertanya.
“Gimana kalau kita jalan-jalan
sambil pulang?,” tanyanya kepada Rian.
“Oh iya nggak apa-apa,” ujar Rian
dengan suara yang agak gemetar karena sudah lumayan gugup.
“Oh iya, apa yang ingin kamu
bicarakan?,” tanya Mhey.
“Enggak. Cuma mau kenal kamu
lebih dekat saja. Boleh?,” jawab Rian.
“Owwwh, tentu saja boleh. Eh
ngomong-ngomong bukannya kamu sering ba beli pisang goreng di tempat mama ku
toh?,” jawab Mhey sambil balik bertanya.
“Iya. mamaku juga sering diojek
sama mamamu kalau mau ke pasar. Biasanya saya tidak sempat ba antar,” jawab
Rian.
Tangan Rian semakin gemetar dan
bibirnya pun seakan berat untuk mengatakan perasaannya kepada Mhey. Saking
gugupnya, ia tidak sadar kalau mereka hampir sampai di rumah Mhey.
“Wah gawat ini, rumahnya sudah
dekat tapi saya belum bicara juga. Bisa batal rencanaku ini. saya harus bicara
sekarang!!!,” gumam Rian dalam hati.
Setelah sampai ke tempat yang
agak sepi yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya, Rian pun meminta Mhey
untuk berhenti dan mulai bicara.
“Mhey, ada yang mau saya bilang,”
ujar Rian sembari mengumpulkan keberanian.
“Apa itu?
Bilang saja,” ujar Mhey.
“Mhey, apa kamu mau jadi pacarku?
Jujur, saya sering perhatikan kamu dan lama kelamaan muncul rasa suka sama kamu,”
tanya Rian tanpa basa basi sambil refleks menggenggam erat tangan Mhey.
Dinginnya tangan Rian karena
gugup bertambah dengan dinginnya udara di pagi itu. Mhey pun agak kaget dengan
genggaman tangan Rian yang dingin dan ucapan Rian tadi. Mhey melihat dengan
jelas raut gugup di wajah Rian yang dengan segenap keberanian yang
dikumpulkannya berusaha untuk menyatakan perasaannya.
Mhey kemudian nampak berpikir
sejenak.
“Gimana?,” tanya Rian lagi dengan
tidak sabar, mengagetkan Mhey yang tengah berpikir.
Dengan sedikit kaget Mhey
menjawab pertanyaan Rian.
“Iya saya mau. Jujur saya kaget
dengan apa yang barusan kamu bilang. Saya pun diam-diam perhatikan kamu.
Tingkahmu yang kadang lucu, bikin saya ingat kamu dan lama-lama suka sama kamu,”
jawab Mhey dengan suara pelan.
Entah karena gugup atau karena
suara Mhey yang pelan, Rian kembali bertanya untuk memperjelas.
“Jadi kita pacaran sekarang?,” tanya Rian.
“Iya, tapi saya mohon cuma kita
berdua saja yang tahu karena saya belum dikasi pacaran sama mamaku,” jawabnya.
“Iya saya janji tidak akan
bercerita kepada siapapun kalau kita sekarang berpacaran,” ujar Rian seraya
meyakinkan Mhey.
Hari itu, Minggu, 1 Oktober 2006,
merupakan hari yang bersejarah untuk Rian. Untuk pertama kalinya ia
mengutarakan perasaan kepada seorang gadis dan hasilnya, ia diterima. 100 meter
sebelum rumahnya, Mhey dan Rian berpisah jalan. Mhey melewati jalan biasanya
yaitu melewati lapangan bola sedangkan Rian mengambil jalan memutar. Rian
bergegas menuju rumahnya dan setelah sampai di rumah ia segera menuju kamarnya.
Rian segera mengambil buku catatannya dan menuliskan namanya, nama sang pujaan
hati, dan tanggal hari itu. Tiga tulisan tersebut ia hiasi dengan gambar hati.
***
Tiiit...tiitt...tiiit. suara dering handphone tanda SMS masuk membuyarkan lamunan Rian. SMS tersebut dari sahabatnya di kampus yang menanyakan keberadaan dirinya. Tangannya masih memegang erat buku catatan tersebut. Tak terasa hari sudah beranjak sore dan pekerjaannya membersihkan kamar belum selesai ia kerjakan. Ia pun segera menyimpan buku catatan tersebut di tempat terpisah sembari lekas membereskan berkas-berkas lainnya.
Tiiit...tiitt...tiiit. suara dering handphone tanda SMS masuk membuyarkan lamunan Rian. SMS tersebut dari sahabatnya di kampus yang menanyakan keberadaan dirinya. Tangannya masih memegang erat buku catatan tersebut. Tak terasa hari sudah beranjak sore dan pekerjaannya membersihkan kamar belum selesai ia kerjakan. Ia pun segera menyimpan buku catatan tersebut di tempat terpisah sembari lekas membereskan berkas-berkas lainnya.
Setelah selesai membersihkan
kamarnya, Rian pun pamit kepada ayah dan ibunya untuk pergi ke kampus mengurusi
sebuah persiapan kegiatan kemahasiswaan. Di atas motornya, sambil tersenyum ia
bergumam dalam hati.
“Tidak salah jika sebagian orang
percaya bahwa cinta pertama adalah kisah yang paling diingat oleh setiap orang
yang pernah jatuh cinta. Momen ketika pertema kali merasakan hal berbeda ketika
berhadapan dengan lawan jenis. Banyak cinta pertama yang kemudian menjadi cinta
terakhir, tetapi lebih banyak lagi cinta pertama yang menjadi awal bagi
pencarian cinta sejati. Mhey, kini 8 tahun telah berlalu, namun kenangan
tentangmu akan selalu mendapat tempat di dalam hati. Walau kini kamu entah
dimana, saya yakin jika saya ingat kamu, kamu di sana pun pasti demikian,”.
Mesin motorpun dinyalakan dan Rian pun berlalu.
0 Comments