Hujan
dan Desember adalah dua suku kata yang berbeda namun memiliki keterkaitan. Jika
di Eropa mengalami musim dingin yang bersalju selama bulan Desember, maka di
negara beriklim tropis seperti Indonesia, Desember identik dengan musim hujan. Hujan
di bulan Desember selalu dihiasi dengan berbagai cerita. Ada cerita cinta nan
romantis, cerita sedih yang menyayat hati, cerita eratnya persahabatan, dan
cerita-cerita lainnya.
***
Pagi itu awan kelabu menyelimuti langit. Sejak malam tadi, hujan terus mengguyur membasahi kota Palu. Di beberapa tempat, derasnya hujan membuat air meluap melalui selokan dan menggenangi pemukiman warga. Kota Palu memang rawan dilanda banjir saat musim hujan datang.
Pagi itu awan kelabu menyelimuti langit. Sejak malam tadi, hujan terus mengguyur membasahi kota Palu. Di beberapa tempat, derasnya hujan membuat air meluap melalui selokan dan menggenangi pemukiman warga. Kota Palu memang rawan dilanda banjir saat musim hujan datang.
Hujan
membuat orang-orang malas untuk beraktivitas. Hujan seperti menawan diri untuk
terus bermalas-malasan di tempat tidur. Hari itu adalah hari terakhir di bulan
Desember. Dalam hitungan jam, tahun akan segera berganti dari 2006 ke 2007.
Meskipun
hujan semakin deras mengguyur kota Palu, segelintir orang masih nekat untuk keluar
rumah demi mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut malam pergantian tahun.
Pasar dan pusat-pusat perbelanjaan ramai dikunjungi hari itu. Ada yang
berbelanja bahan-bahan kebutuhan dapur, makanan ringan, minuman, dan berbagai
kebutuhan lainnya. Terompet, petasan dan kembang api menjadi benda wajib yang
harus dibeli demi menambah semaraknya malam pergantian tahun.
Rian
tidak senekat orang-orang yang rela kehujanan demi mempersiapkan segala sesuatu
untuk menyambut malam pergantian tahun. Ia lebih memilih berbaring di sofa ruang
tamu sambil mendengarkan lagu-lagu dari VCD playernya. Aktivitas di rumahnya
pada hari itu berjalan seperti biasanya. Ayahnya menonton pertandingan tinju di
televisi, ibunya memasak untuk makan siang, sedangkan dua orang keponakannya
sibuk bermain di kamarnya. Tak ada yang spesial pagi itu, seakan malam
pergantian tahun adalah momen biasa yang dirayakan atau tidak pasti akan dilewati
juga.
Di
minggu pagi yang basah itu, Rian sedang asyik membaca surat-surat dari Mhey.
Lewat kertas-kertas itulah mereka berkomunikasi selama hampir dua bulan
terakhir. Surat-surat tersebut bukanlah pertanda bahwa mereka sedang menjalani
hubungan jarak jauh atau yang sekarang ngetrend dengan istilah LDR (Long
Distance Relationship). Jarak antara rumah mereka hanya berkisar 500-an meter
saja. Dengan jarak sedekat itu, sebagian orang mungkin menganggap
surat-menyurat menjadi hal yang tidak terlalu perlu. Saat itu kebiasaan surat
menyurat perlahan mulai tergantikan seiring dengan kehadiran handphone untuk
mempermudah akses komunikasi. Selain itu, dengan jarak rumah yang dekat,
berkomunikasi secara langsung nampaknya jauh lebih mudah.
Namun,
keadaan yang memaksa Rian dan Mhey untuk menjalani rutinitas wajib bagi sebagian
pasangan LDR di masa itu. Di saat Rian sudah memiliki handphone merek Nokia
dengan tipe 8250 pemberian pamannya, yang digunakannya untuk berkomunikasi, Mhey
belum punya kesempatan yang sama. Harga handphone saat itu masih cukup mahal.
Penghasilan ibu Mhey dari berjualan pisang goreng hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup saja. Tidak ada spot untuk pengeluaran lain seperti membeli
handphone.
Alasan
berikutnya; meskipun rumah mereka berdekatan, namun hubungan mereka
dirahasiakan. Rian sudah berjanji pada Mhey untuk merahasiakan hubungan mereka,
walau pada akhirnya hubungan tersebut dengan cepat diketahui oleh teman-teman
dekat mereka. Orang tua Mhey, terutama ibunya belum mengizinkan anak gadisnya
itu untuk berpacaran. Belum adanya izin dari orang tua Mhey itulah yang membuat
hubungan mereka harus dijalan secara backstreet
dan untuk berkomunikasi, mereka akhirnya memilih bertukar kabar melalu surat.
Surat-surat
dari Mhey dibundel dengan rapi oleh Rian. Ia menyimpannya dalam sebuah map
plastik warna merah. Surat-surat dari Mhey biasanya ditulis di atas kertas
berwarna merah muda dengan sampul berwarna senada. Setiap ia rindu dengan Mhey,
surat-surat itulah yang menjadi pengobat rindunya.
Bertukar
kabar melalu surat dirasakan oleh Rian ada baiknya juga. Lewat surat, mereka
bebas mengekspresikan kerinduan, rasa sayang, dan perasaan lainnya. Surat-surat
tersebut seakan merawat rasa rindu di dalam hati mereka untuk selalu menanti
setiap balasan surat yang datang.
***
Pada sabtu malam, di tengah rintik hujan, Rian bergegas menuju kiosnya Iman. Di tangannya terselip selembar surat beramplop putih polos. Sesampainya di kios, Rian segera menemui Fani untuk menitipkan surat tersebut kepada Mhey. “Ni, ini ada surat untuk Mhey. Kau antarkan dulu sama dia. Ingat jangan sampai ketahuan mamanya atau adiknya. Surat ini harus sampai dengan Mhey paling lambat besok pagi. Kalau sudah dia terima, kasitahu dia langsung balas”, pesan Rian kepada sepupunya itu sambil memberikan surat dan dua lembar uang seribu rupiah sebagai upah sang kurir. “Sip sudah itu. Kalau saya yang urus pasti beres. Eh ngomong-ngomong ini kan malam minggu, tidak keluar dengan Mhey?”, ujar Fani sembari bertanya. “Besok malam saja saya keluar dengan Mhey. Kan besok malam, malam pergantian tahun. Malam ini hujan deras juga. Ba paksa keluar, terakhir basah kuyup”, jawab Rian sambil tertawa kecil.
Pada sabtu malam, di tengah rintik hujan, Rian bergegas menuju kiosnya Iman. Di tangannya terselip selembar surat beramplop putih polos. Sesampainya di kios, Rian segera menemui Fani untuk menitipkan surat tersebut kepada Mhey. “Ni, ini ada surat untuk Mhey. Kau antarkan dulu sama dia. Ingat jangan sampai ketahuan mamanya atau adiknya. Surat ini harus sampai dengan Mhey paling lambat besok pagi. Kalau sudah dia terima, kasitahu dia langsung balas”, pesan Rian kepada sepupunya itu sambil memberikan surat dan dua lembar uang seribu rupiah sebagai upah sang kurir. “Sip sudah itu. Kalau saya yang urus pasti beres. Eh ngomong-ngomong ini kan malam minggu, tidak keluar dengan Mhey?”, ujar Fani sembari bertanya. “Besok malam saja saya keluar dengan Mhey. Kan besok malam, malam pergantian tahun. Malam ini hujan deras juga. Ba paksa keluar, terakhir basah kuyup”, jawab Rian sambil tertawa kecil.
Setelah
surat dan upah si kurir berpindah tangan, Rian segera pulang karena hujan
semakin deras. “Semoga dia mau”, gumam Rian di dalam hati. Surat yang
dititipkan oleh Rian kepada Fani tadi adalah balasan dari surat Mhey tiga hari
yang lalu. Di dalam surat tersebut selain basa basi menanyakan kabar, kata-kata
sayang dan rindu, laporan kegiatan seminggu, dan curhatan, juga terselip ajakan
Rian untuk jalan bersama pada saat malam pergantian tahun nanti. Untuk pertama
kalinya Rian mengajak seorang gadis untuk pergi menghabiskan malam pergantian
tahun berdua.
***
Rian yang tengah asyik membaca surat-surat dari Mhey dikejutkan oleh ucapan salam dan ketukan di pintu rumahnya. Ia yang tengah duduk di ruang tamu pun segera bangkit sambil menaruh surat-surat tersebut di mapnya dan kemudian bergegas membuka pintu. Di depan pintu berdiri dua orang anak kecil berumur sekitar 11-12 tahun yang tidak lain adalah Ibe dan Ucup, teman bermain Rian. “Eh kamu dua ternyata. Ba apa ke rumah hujan-hujan begini?”, tanya Rian sambil mempersilahkan dua temannya itu untuk masuk ke dalam rumah. “Hmm anu, kitorang ini disuruh Mhey ba antar surat untuk kau”, jawab Ibe sambil menyerahkan surat dari Mhey untuk Rian. “Owwwh, terima kasih le hujan-hujan kamu dua sudah kemari ba antar ini surat”, ujar Rian. “Tadi pas saya dengan Ibe mau ke kiosnya Iman, Mhey ba panggil. Dia kasi surat ini sama kami. Katanya untuk kau. Dia kasi juga kami uang dua ribu untuk upah ba antar surat” celetuk Ucup. ”Owww pantas kamu dua semangat sekali ba antar ini surat. Ada upahnya ternyata” ujar Rian.
Rian yang tengah asyik membaca surat-surat dari Mhey dikejutkan oleh ucapan salam dan ketukan di pintu rumahnya. Ia yang tengah duduk di ruang tamu pun segera bangkit sambil menaruh surat-surat tersebut di mapnya dan kemudian bergegas membuka pintu. Di depan pintu berdiri dua orang anak kecil berumur sekitar 11-12 tahun yang tidak lain adalah Ibe dan Ucup, teman bermain Rian. “Eh kamu dua ternyata. Ba apa ke rumah hujan-hujan begini?”, tanya Rian sambil mempersilahkan dua temannya itu untuk masuk ke dalam rumah. “Hmm anu, kitorang ini disuruh Mhey ba antar surat untuk kau”, jawab Ibe sambil menyerahkan surat dari Mhey untuk Rian. “Owwwh, terima kasih le hujan-hujan kamu dua sudah kemari ba antar ini surat”, ujar Rian. “Tadi pas saya dengan Ibe mau ke kiosnya Iman, Mhey ba panggil. Dia kasi surat ini sama kami. Katanya untuk kau. Dia kasi juga kami uang dua ribu untuk upah ba antar surat” celetuk Ucup. ”Owww pantas kamu dua semangat sekali ba antar ini surat. Ada upahnya ternyata” ujar Rian.
Setelah
hampir seperempat jam bercengkrama, Ibe dan Ucup pamit pulang. Rian kemudian
menutup pintu rumah dan segera duduk di sofa sembari membuka amplop surat
tersebut. Di dalam amplop, selembar surat berwarna merah muda sudah menunggu
untuk dibaca. Rian pun segera mengambil surat tersebut dan kemudian membacanya.
Seperti biasa, basa-basi menanyakan kabar, kata-kata sayang dan rindu, selalu
menjadi pembuka yang manis dari setiap isi surat mereka. Tak peduli seberapa
sering kata-kata itu mereka tuliskan, tak terbersit rasa bosan atau jenuh di
diri mereka.
Pada
bagian akhir surat, Mhey menjawab pertanyaan Rian tentang ajakan berjalan
bersama di malam pergantian tahun. “Mengenai ajakanmu untuk keluar malam ini,
saya bersedia. Tunggu saja saya di lapangan bola, dua jam sebelum pergantian
tahun”, jawab Mhey dalam suratnya. Setelah selesai membaca keseluruhan isi
surat dari Mhey, Rian pun menyimpan surat itu bersama surat-surat lainnya di
dalam map dan kemudian menaruhnya di dalam lemari.
***
Malam mulai merayapi kota Palu menjelang pergantian tahun. Langit tetap gelap dengan rintik-rintik hujan. Bunyi terompet, petasan dan suara rintik hujan yang beradu di atap rumah seakan bersahutan mengiringi momen yang akan dilewati dalam hitungan jam tersebut. Orang-orang tengah sibuk menyiapkan acara untuk merayakan momen tersebut. Sebagian memilih untuk jalan-jalan berkeliling kota untuk sekedar melihat riuh dan indahnya kerlap-kerlip kembang api di langit malam.
Malam mulai merayapi kota Palu menjelang pergantian tahun. Langit tetap gelap dengan rintik-rintik hujan. Bunyi terompet, petasan dan suara rintik hujan yang beradu di atap rumah seakan bersahutan mengiringi momen yang akan dilewati dalam hitungan jam tersebut. Orang-orang tengah sibuk menyiapkan acara untuk merayakan momen tersebut. Sebagian memilih untuk jalan-jalan berkeliling kota untuk sekedar melihat riuh dan indahnya kerlap-kerlip kembang api di langit malam.
Malam
semakin larut menggelayut di kota Palu. Jalanan semakin padat dirayapi oleh
berbagai jenis kendaraan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Rian yang
sedari tadi hanya duduk di teras rumah sambil menikmati indahnya letupan
kembang api yang dimainkan oleh dua orang keponakannya, segera bersiap untuk
melewatkan malam pergantian tahun bersama sang gadis pujaan hati.
Rian
kemudian bergegas menuju lapangan bola. Ia khawatir Mhey sudah lebih dulu
menunggunya di sana. Ia mengambil jalan memutar agar tidak dipergoki oleh
teman-temannya. “Kalau sampai dorang
lihat saya, batal rencanaku malam ini”, gumam Rian dalam hati.
Sesampainya
di lapangan bola, Rian memandang jauh ke lapangan, berharap ada Mhey menunggu
di sana. Suasana gelap gulita menyelimuti lapangan bola yang tanpa penerangan.
Ia tidak menemukan Mhey dalam kegelapan tersebut. Saat akan berjalan menuju
tempat yang lebih terang, tiba-tiba pundak Rian serasa disentuh oleh seseorang
dari belakang. Rian terperanjat dan nyaris berteriak saking kagetnya. Ia
memegang tangan yang menyentuhnya sambil berbalik menghadap ke arah orang tersebut.
“Astagfirullah. Ternyata kamu. Saya kira setan tadi”, ujar Rian.”Hehehehe. Maaf
saya bikin kamu kaget. Ternyata kamu takut setan juga yah”canda Mhey sambil
tertawa kecil. “Bukan takut tapi kaget. Kalau cuma setan, saya masih bisa lari,
tapi kalau orang jahat, bisa ditusuk dari belakang saya”, ujar Rian menimpali.
“Hehehehe. Bilang saja kalau kamu takut setan. Tenang saja tidak saya kasitau orang. Cuma kita dua yang tahu”,
canda Mhey. “Hmmm. Ngomong-ngomong kita jalan sekarang saja. Kalau lama-lama di
sini nanti setan betulan yang muncul” ujar Rian mengalihkan pembicaraan. “Yuk.
Jangan lama-lama di sini, nanti dilihat adikku atau mamaku kita nanti”, jawab Mhey.
Mereka
pun berjalan kaki menyusuri malam setapak demi setapak. Saat itu Rian telah
mahir mengendarai motor namun ia takut meminjam motor kepada kedua orang
tuanya. Meminjam motor untuk kerja tugas saja harus di screening sedemikian rupa, apalagi kalau pinjam motor untuk
pacaran. Rian pun akhirnya lebih memilih jalan kaki berduaan. Alasannya biar
lebih romantis katanya. Saat itu, pacaran menggunakan motor belum terlalu mainstream. Mungkin karena pada saat
itu, kredit motor belum menjamur seperti sekarang, sehingga jumlah motor masih
belum terlalu banyak. Orang-orang tentunya akan berpikir dua kali untuk membeli
motor secara cash.
Tujuan
Rian dan Mhey malam itu adalah Jembatan IV atau yang lebih dikenal dengan
Jembatan Ponulele. Jembatan lengkung berwarna kuning yang menjadi ikon kota
Palu tersebut merupakan view yang
paling tepat untuk melewatkan momen pergantian tahun. Dari atas jembatan itu,
kita bisa melihat pesona keindahan teluk Palu di malam hari.
Setelah
hampir satu jam berjalan kaki, mereka akhirnya sampai di jembatan tersebut. Rian
dan Mhey terengah-engah mengambil nafas. Maklum saja, jarak antara rumah mereka
dan jembatan tersebut berkisar 10 kilometer. Jika tidak berjalan berdua dengan Mhey,
Rian mana mau jalan kaki dari rumahnya sampai ke jembatan itu. Cinta memang terkadang
membuat kita melakukan sesuatu yang berada di luar nalar.
Rian
dan Mhey pun segera berjalan menyusuri trotoar di tepi jembatan dan berhenti
tepat di tengah dua lengkungan jembatan. Saat itu, jarum jam telah menunjukkan
pukul 23.47. Dalam hitungan menit, tahun 2006 akan berakhir dan tahun 2007 akan
segera tiba. Kilauan letupan kembang api berbaur dengan rintik hujan di langit
malam kota Palu menjadi pemanis momen menjelang pergantian tahun tersebut.
Rian
dan Mhey memandangi langit malam kota Palu dengan perasaan takjub. Keindahan
seperti itu jarang mereka lihat sehari-hari. Tanpa sadar, jemari Rian
menggenggam tangan Mhey. Genggaman itu terasa hangat di tengah rintik hujan dan
hembusan angin malam. Mhey pun menggenggam erat jemari Rian. “Indahnya kembang
api itu. Jarang sekali saya lihat langit jadi seindah ini“, ujar Mhey. “Saya
juga jarang melihat langit seindah ini, cahaya kembang api seakan bermain di
gelapnya langit”, Rian menimpali. “Terima kasih sudah mengajak saya kesini.
Saya senang sekali malam ini” ujar Mhey dengan senyum di bibir manisnya. “Hmm.
Iya. Saya juga merasa senang malam ini. Ini pertama kalinya saya jalan berdua
dengan seorang gadis. Syukurlah kamu suka tempat ini”, ujar Rian.
Tepat
pukul 00.00, suara terompet dan bunyi letusan kembang api dan petasan semakin
bergemuruh. Rian dan Mhey diam tak beranjak dari tempatnya berdiri. Tangan
mereka masih saling menggenggam sambil menatap langit malam. “Semoga di tahun
baru ini, hubungan kita tetap baik-baik saja. Amin”, ujar Mhey sambil menoleh
kepada Rian. Rian pun tersenyum sambil menatap Mhey. “Iya. Semoga semuanya
berjalan baik-baik saja”.
“Malam
ini akan selalu saya ingat. Suatu saat, jika kita terpisah jauh dan jika kamu
rindu dengan saya, ingatlah bahwa di setiap tetes hujan yang turun di malam
pergantian tahun, ada nama dan semua tentang kita terukir di dalamnya”, ujar Mhey.
“Te usah ba pikir macam-macam. Saat ini saya ada di sampingmu dan akan terus
berada di sampingmu. Kita memang tidak akan tahu apa yang terjadi kedepannya
nanti. Jalan saja sampai kita tidak mampu lagi menjalani” ujar Rian. “Hmm. Iya.
Maafkan saya sudah berpikir macam-macam” ujar Mhey. “Iya. Mari kita pulang,
sudah larut malam. Jangan sampai kamu kena marah pas pulang”. Ujar Rian sambil
menggandeng tangan Mhey dan mengajaknya pulang. “Rian, saya sayang kamu”. Ucapan
itu terdengar pelan keluar dari mulut Mhey. “Saya juga sayang kamu”, jawab Rian,
sambil menatap Mhey dan mendaratkan ciuman di keningnya.
***
”Dek, kayaknya tidak jadi kita keluar ba malam tahun baru. Tambah deras hujan ini. Jauh-jauh kau ba malam tahun baru di Samarinda, tapi tidak keluar”, suara sang kakak membuyarkan lamunan Rian. “Iya te apa-apa. Ba malam tahun baru di rumah saja. Ada film bagus juga di televisi. Tahun depan kan masih kisa kemari lagi”, jawab Rian. “Oh. Okelah kalau begitu. Saya masak udang saja buat kita makan pas pergantian tahun”, ujar sang kakak. “Iya. Kasi pedis sambalnya”, tambah Rian. “Oke bos” jawab sang kakak.
”Dek, kayaknya tidak jadi kita keluar ba malam tahun baru. Tambah deras hujan ini. Jauh-jauh kau ba malam tahun baru di Samarinda, tapi tidak keluar”, suara sang kakak membuyarkan lamunan Rian. “Iya te apa-apa. Ba malam tahun baru di rumah saja. Ada film bagus juga di televisi. Tahun depan kan masih kisa kemari lagi”, jawab Rian. “Oh. Okelah kalau begitu. Saya masak udang saja buat kita makan pas pergantian tahun”, ujar sang kakak. “Iya. Kasi pedis sambalnya”, tambah Rian. “Oke bos” jawab sang kakak.
Malam
itu hujan deras mengguyur kota Samarinda sejak ba’da Maghrib. Sebagian besar
orang pun mengurungkan niat untuk melewatkan moment pergantian tahun di luar
rumah. Rian yang tengah berlibur di rumah sang kakak pun akhirnya hanya
melewatkan moment pergantian tahun di dalam rumah.
Sudah
8 tahun berlalu sejak malam pergantian tahun yang ia lewati bersama Mhey itu. Ketakutan
Mhey saat itu terbukti. Malam pergantian tahun berikutnya, Rian tak lagi
bersama Mhey. Hubungan mereka kandas karena orang tua Mhey tidak mengizinkan
anaknya untuk berpacaran. Beberapa kali mereka dipergoki jalan berduaan oleh
ibunda Mhey. Rian dan Mhey diomeli habis-habisan oleh ibunya Mhey.
Jenuh
dengan keadaan tersebut dan tak ingin Mhey selalu dimarahi, Rian memutuskan
untuk mundur perlahan dari hidup Mhey. Berat memang, tapi mungkin itu yang
terbaik menurut Rian. Ia mulai menjaga jarak dengan Mhey, dengan tidak lagi
membalas surat-suratnya, menolak untuk bertemu, dan cuek jika berpapasan di
jalan. Ia pun berusaha menghapus semua kenangan tentang Mhey. Surat-surat cinta
dari Mhey dibakar, foto dan hadiah dari Mhey dikembalikan. Ia benar-benar ingin
menarik diri dari kehidupan Mhey, bukan karena ia tak sayang lagi namun Rian
diperhadapkan pada pilihan yang sulit. Di usianya yang baru 16 tahun saat itu,
menetapkan pilihan sesulit itu tentunya bukan perkara gampang. Pilihan yang
kini harus disesalinya.
Hujan
di Samarinda pada malam pergantian tahun dari tahun 2013 ke tahun 2014 mungkin
berbeda dengan hujan yang turun di Palu pada malam pergantian tahun 2006 ke
tahun 2007. Namun, ingatan tentang masa lalu akan selalu hadir di setiap rintik
hujan tersebut. Seperti kata Mhey bahwa “suatu saat, jika kita terpisah jauh
dan jika kamu rindu dengan saya, ingatlah bahwa di setiap tetes hujan yang
turun di malam pergantian tahun, ada nama kita dan semua tentang kita terukir
di dalamnya”. Raga Mhey mungkin tidak akan lagi ia lihat namun segala kenangan
tentangnya akan tetap abadi di setiap rintik hujan yang turun di malam
pergantian tahun.
0 Comments