Kopi Para Aktivis

Kopi Para Aktivis


Cuaca di Kota Palu semakin tidak bisa ditebak. Kadang saat pagi, matahari bersinar cerah dan beranjak terik, namun pada siang harinya, terik matahari yang menyengat, bisa dengan sekejap berubah menjadi mendung, bahkan hujan. 

Pagi ini, mendung menggelayut di langit Kota Palu. Awan kelabu berarak berkumpul, diiringi kencangnya hembusan angin, menerbangkan sampah, debu dan dedaunan yang ditemuinya. Tanah masih basah akibat hujan semalam. 

***
“Bude, pesan kopi hitam satu. Campuran biasa,” pinta Rian kepada si pemilik warung. 

“Oww iya tunggu sebentar,” jawab perempuan paruh baya yang dipanggil Bude tadi. 

Bude adalah panggilan para mahasiswa kepada ibu pemilik warung tersebut. Perempuan paruh baya yang berasal dari Jawa ini, sudah hampir 3 tahun berjualan di lingkungan kampus Universitas Tadulako (Untad). Bermodalkan sebuah gerobak dorong, ia mengais rejeki di antara hiruk pikuk aktivitas mahasiswa. Ia awalnya berjualan di halaman depan ruangan FKIP 21, yang digunakan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah untuk kuliah. 

Beberapa bulan terakhir, ia dipindahkan oleh satpam kampus dengan alasan mengganggu ketertiban, sebuah alasan yang tidak masuk akal. Tanpa perlawanan, Bude pun memindahkan gerobaknya ke lahan kosong di samping ruangan tersebut. belum genap sebulan berjualan di lokasi barunya, Bude kembali ditegur oleh satpam dan diminta untuk pindah ke lokasi, yang agak berjarak dengan ruang perkuliahan. Bude pun memilih pasrah mengikuti kemauan aparat keamanan kampus tersebut, dan sekali lagi memindahkan gerobaknya, mencari lokasi baru. 

Bude akhirnya memilih lahan kosong di antara Lab Studio Pendidikan Geografi dan ruangan FKIP 23 untuk berjualan. Di tempat baru tersebut, ia mendirikan tenda sebagai peneduh. Sejak pindah di lokasi tersebut, Bude tidak mendapat teguran lagi dari satpam.   

***
Bude memasukkan empat sendok kopi dan satu sendok gula ke dalam gelas, kemudian menyeduhnya dengan air panas dari termos. Ia sudah sangat hapal campuran kopi kegemaran pelanggannya yang satu ini. Rian adalah mahasiswa Pendidikan Sejarah semester akhir, yang sering menghabiskan waktu untuk nongkrong di warung tersebut, bahkan sampai sore hari.  

“Ini kopimu,” ujar Bude seraya menaruh segelas kopi di meja.

“Terima kasih Bude,” ujar Rian sambil menyeruput kopi buatan Bude.

“Tumben pagi-pagi sudah di kampus. Ada urusan apa? Urus skripsi?” tanya Bude memulai pembicaraan.

“Ah tidak Bude. Cuma lagi malas di rumah saja. Kalau mendung begini, rasanya mau tidur terus kalau di dalam rumah. Lebih baik ke kampus,” jawab Rian.

“Owwwh. Bude kira ada ba urus skripsi. Kan tidak lama lagi waktumu toh?,” tanya Bude.

“Belum Bude. Masih banyak urusan, jadi skripsi belum sempat dikerjakan. Masalah waktu, hanya Tuhan yang tahu. Pasti dikasih lulus juga nanti itu. Hahahahaha,” jawab Rian diselingi tawa.

“Hmm. Iya tapi sesibuk-sibuknya kamu, jangan lupakan kewajibanmu yang satu itu. Rugi ilmu yang kamu punya, kalau tidak sarjana,” ujar Bude.

“Iya sih Bude, tapi sarjana atau tidak kayaknya sama saja. Biar sarjana kalau tidak ada keahlian, akhirnya cuma jadi beban juga di masyarakat. Mendingan yang belum sarjana, tapi sudah mampu berbuat untuk masyarakat,” ujar Rian.

“Hmm. Iya Bude hanya mengingatkan saja,” ujar Bude.

“Sip. Bude tenang saja. Cepat atau lambat pasti sarjana itu. Doakan saja,” ujar Rian.

“Bude, pesan kopi satu dengan rokok dua batang,” pinta Amin yang baru saja datang, menyela percapakan Rian dan Bude.

“Iya. Tunggu sebentar. Rokokmu ambil sendiri saja di situ,” jawab Bude, sambil menunjuk tempat rokok di rak gerobak. 

“Eh ada kak Rian di sini. So lama?,” tanya Amin.

“Belum juga terlalu lama. Ada kuliah kamu?,” Rian balik bertanya.

“Ada kak, tapi kayaknya tidak masuk dosennya. Di jadwal jam 8, tapi sekarang sudah satu jam lebih dia tidak muncul,” jawab Amin.

“Oowwh. Mata kuliah apa dan siapa dosennya?,” tanya Rian.

”Mata kuliah Pengantar Filsafat. Dosennya pak Malik,” jawab Amin.

“Hmm. Kemana lagi bapak itu? Jarang betul saya lihat dia muncul di kampus. Atau mungkin saya yang jarang ke kampus?,” ujar Rian sambil bertanya pada dirinya sendiri.

“Tidak tahu juga kak. Baru satu kali dia masuk. Itupun cuma perkenalan dan langsung kasih tugas. Katanya dikumpul pas mid semester,” jawab Amin.

“Hmm. Dikasih bodoh dosenmu lagi kamu ini. Ba kasi tugas tapi belum ba kasi materi. Mahasiswa juga, kalau tidak masuk dosennya, bukan pergi ke perpustakaan cari bahan kuliah, cuma sibuk ba susupo dengan temannya, atau baku kurung di kos dengan pacarnya. Kapan bisa cerdas kalau cuma begitu kelakuannya?,” ujar Rian. 

Sebagai mahasiswa yang sudah hampir tujuh tahun hidup dan makan asam garam kehidupan di kampus, Rian seakan hapal betul kelakuan mahasiswa-mahasiswa di kampusnya. Iklim intelektual yang seharusnya kental di lingkungan kampus, tidak dirasakan olehnya. Hanya segelintir kelompok mahasiswa yang masih peduli dengan keadaan ini, dan berusaha untuk menghidupkan kembali iklim intelektual tersebut. 

“Eh kak ngomong-ngomong ada mukanya kakak saya lihat di baliho di depan kampus. Ada kegiatan apa itu kak?,” tanya Amin.

“Itu kegiatan Tadulako Menginspirasi. Ada 10 orang mahasiswa Untad yang dinilai berprestasi, termasuk saya, diminta untuk menularkan semangat, tips, pengalaman dan ide-ide kreatif kepada mahasiswa Untad lainnya, dengan tujuan agar iklim intelektual di kampus ini bisa kembali hidup,” jelas Rian.

“Ooowh. Keren itu kak. Saya mau ikut kegiatannya. Bagaimana caranya kak?,” tanya Amin.

“Kau hubungi saja panitianya. Ini nomor HP nya,” jawab Rian, sambil memberikan nomor HP salah seorang panitia.

“Oke kak saya pergi dulu. Ditelfon ketuaku tadi saya, disuruh ba urus spanduk untuk kegiatan pengkaderan nanti,” ujar Amin.

“Owwh iya. Salam sama ketuamu,” pesan Rian.

“Oke kak nanti saya sampaikan. Kak, Bude, saya pergi dulu” jawab Amin, sambil pamit pergi.

“Iya. HADIJA (hati-hati di jalan),” Rian dan Bude menjawab serentak.

“Itu anak rajin, tapi masih labil. Kalau bukan organisasi, pasti perempuan yang ada di kepalanya. Akhirnya, jarang dia masuk kuliah dan nilainya hancur berantakan,” ujar Rian mengomentari Amin yang baru saja berlalu.

“Hmmm. Pasti ada yang dia contohi sampai begitu kelakuannya. Mungkin kamu yang dia jadikan contoh,” Bude menimpali.

“Hmmm. Mungkin begitu Bude. Kayaknya saya belum bisa jadi contoh yang baik, untuk saya punya adik-adik. Mereka mau ba ikut saya, tapi yang jelek semua yang dorang ikuti. Yang baik-baik tidak dorang ikuti. Misalnya saya, biar jarang masuk kuliah, tapi tetap juga membaca dan menulis. Prinsip yang saya bangun, kuliah itu hanya untuk memperkaya pengalaman dan mengasah diri. Ijazah dan toga itu hanya bonus dari pengalaman dan kualitas diri yang terasah. Saya takut nantinya jika dorang terus-terusan begitu, kuliahnya hancur dan tidak ada apapun yang mereka bisa,” keluh Rian.

“Prinsip hidupmu itu yang belum bisa mereka pahami. Mereka mungkin mengidolakan kamu, yang mereka lihat sudah sering kemana-mana dan sudah menulis di mana-mana, tapi mereka belum mampu sampai di tahap itu. Akhirnya, mereka mencontohi apa yang mampu mereka contohi dan itu adalah kelakuan jelekmu. Mulai sekarang, kamu harus lebih mengarahkan mereka. Kasihan mereka dengan SPP yang makin hari makin naik, tapi kuliahnya angin-anginan. Beda dengan kamu yang SPP-nya masih murah dan sudah bisa kamu talangi sendiri,” ujar Bude.

“Iya Bude. Kayaknya memang saya harus lebih aktif mengarahkan mereka, supaya tidak asal mencontohi. Tapi ngomong-ngomong kopiku sudah hampir habis Bude. Boleh ba tambah?,” ujar Rian, sambil menunjukkan gelas kopinya yang hampir tandas.

“Tidak boleh. Kemarin kamu mengeluh maagmu kambuh gara-gara kebanyakan minum kopi. Itu tandanya sudah harus mulai dikurangi jumlah gelas kopi yang kamu minum,” jawab Bude.

“Waduh. Padahal saya masih pengen ngopi. Tapi kalau saya ba tambah, bisa-bisa tepar saya nanti. Hmmm. Kayaknya harus mengalah dulu kali ini demi kesehatan,” ujar Rian.

Ketika Rian sedang asyik mengobrol, beberapa orang mahasiswa datang dan memesan kopi. Mahasiswa-mahasiswa ini mengenakan pakaian “dinas” lembaganya masing-masing. Mereka terlihat sedang asyik mengobrol tentang berbagai isu, mulai dari keadaan lembaga kemahasiswaan, hingga isu kenaikan BBM. Beberapa gelas kopi dan beberapa bungkus rokok, menjadi pelengkap obrolan mereka. 

“Saya lihat, sekarang ini lembaga kemahasiswaan makin tidak punya taji. Para pengurusnya seakan kehilangan posisi tawar dengan birokrasi kampus. Apapun kebijakan kampus, baik atau buruk, mereka manut-manut saja,” ujar salah seorang mahasiswa, sambil menyulut rokoknya.

“Benar kawan. Hanya segelintir yang masih mampu melawan. Namun, karena jumlah mereka sedikit, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ancaman nilai, mahalnya SPP, dan masa studi yang diperpendek, adalah beberapa dari sekian banyak masalah yang harus dihadapi, oleh para pengurus lembaga kemahasiswaan,” sahut salah seorang mahasiswa yang lainnya.

“Itulah kawan. Ruang gerak kita semakin dipersempit oleh birokrasi kampus. Seakan-akan kaki kita terpasung sebelah. Eh ngomong-ngomong bagaimana dengan rencana demonstrasi besok untuk menentang kenaikan harga BBM? Kamu-kamu sudah siap toh?,” ujar salah seorang mahasiswa yang dari perawakannya, lebih senior dari beberapa mahasiswa yang berkumpul tersebut.

“Iya, kitorang sudah siap kak. Malam ini kita bahas rencana aksi besok,” ujar mahasiswa lainnya. 

“Hmmm. Mendengar pembicaraan mereka, saya jadi ingat masa-masa awal menjadi mahasiswa. Masa di mana darah muda bergejolak, semangat perlawanan menyala-nyala, mobilitas, militansi. Ahhh......sudah lama sekali,” gumam Rian dalam hati.

Dulu, Rian juga sama berapi-apinya, seperti sekumpulan mahasiswa yang duduk sambil ngopi tersebut. ia tak pernah luput mengikuti demonstrasi, mulai dari demonstrasi terhadap kebijakan birokrasi kampus hingga demonstrasi menentang kebijakan negara yang merugikan rakyat. Beberapa kali, ia bersama massa aksi lainnya, sampai dikejar-kejar polisi dalam sebuah demonstrasi. Rian juga bebrapa kali menjadi orator dalam demonstrasi dan mimbar-mimbar bebas, yang dulu sering diadakan di beberapa fakultas. 

Kini, setelah hampir tujuh tahun menjalani hidup sebagai mahasiswa, ia menyadari, demonstrasi bukanlah satu-satunya jalan untuk melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Di balik murninya niat mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi, masih saja ada pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh. 

Rian pun kini lebih memilih menyuarakan perlawanannya dengan menulis. Ia aktif menulis tentang berbagai fenomena sosial yang ia temui. Dengan menulis, ia mengasah kepekaan dan daya kritisnya. Namanya tersebar di berbagai surat kabar, baik lokal maupun nasional. Ada kalanya, tulisan yang dibuatnya, ditolak terbit karena dianggap terlalu keras. Namun, ia tetap menulis, menulis, dan menulis, menunaikan tanggung jawab sosialnya sebagai mahasiswa, yang sering disebut sebagai agen perubahan. 

***
Saat Rian serius memperhatikan sekumpulan mahasiswa yang asyik mengobrol tersebut, seseorang menghampiri Rian. Orang itu tidak lain adalah salah seorang seniornya, Sahir.

“Eh kak, tumben ke kampus. Ada angin apa ini?,” ujar Rian.

“Hmmm. Cuma jalan-jalan saja ba lihat-lihat,” jawab senior tersebut.

“Owwh. Mari kak ngopi dulu. Nanti saya yang bayar,” ujar Rian.

“Tidak minum kopi saya,” jawab Sahir.

“Kenapa kak? Maag juga seperti saya?,” tanya Rian.

“Tidak. Sekarang kopi jadi identitas baru bagi para aktivis, terutama aktivis kampus. Ngopi bagi mereka adalah sebuah ritual yang setiap hari harus dilakukan. Padahal tidak semua aktivis hebat itu pecandu kopi, dan tidak harus jadi pecandu kopi untuk jadi aktivis hebat. Ngopi kini hanya jadi aksi gagah-gagahan, supaya identitas keaktivisannya muncul. Kalau cuma untuk gagah-gagahan dan biar disebut aktivis, saya memilih untuk tidak minum kopi,” ujar Sahir.

“Hmm. Tidak semua orang minum kopi karena alasan itu kak. Ada yang memang penikmat kopi. Saya rasa tidak boleh digeneralisir kak,” ujar Rian.

“Iya benar. Saya hanya menjelaskan gejala yang saya lihat saja. Tidak semua aktivis yang ngopi itu hanya untuk gagah-gagahan. Ada juga yang memang pencinta dan penikmat kopi. Oleh karena itu, bagi yang tidak terbiasa minum kopi, jangan memaksakan diri, kalau hanya untuk mendapat pengakuan sebagai seorang aktivis. Pengakuan itu muncul, dari sejauh mana kamu berbuat untuk orang lain,” ujar Sahir.

“Betul itu yang dibilang Sahir. Memaksakan diri untuk ngopi akhirnya maag kambuh, jantung berdebar, akhirnya sakit dan harus keluar biaya lagi untuk berobat. Mau keren tapi malah tekor,” ujar Bude menimpali.

“Hmm. Benar juga Bude. Tidak baik memaksakan sesuatu yang tidak cocok dengan diri kita, hanya untuk dibilang keren. Keren itu apabila kita mampu menjadi diri sendiri. Ya sudah, kalau kakak tidak mau ngopi pesan yang lain saja,” ujar Rian.

“Okelah. Kebetulan saya lapar. Bude, pesan mie goreng. Bikin dua bungkus dalam satu piring, pakai telur. Nanti Rian yang bayar. Hehehehehe,” ujar Sahir.

“Sip. Tunggu sebentar,” jawab Bude. ***

 

Post a Comment

2 Comments