Pergerakan pemuda di
Sulawesi Tengah telah muncul dalam kurun waktu yang cukup lama bahkan sebelum
provinsi Sulawesi Tengah terbentuk. Jejak sejarah pergerakan pemuda di Sulawesi
Tengah mulai terekam dari periode zaman pergerakan, zaman kemerdekaan, zaman
orde lama, zaman orde baru, dan orde reformasi. Masing-masing periode memiliki
jiwa zaman (zeithgeist) yang menjadi
ciri khas zamannya masing-masing.
Pergerakan pemuda di
Sulawesi Tengah pada masa pergerakan dipengaruhi oleh adanya politik etis
(politik balas budi) yang memaksa Pemerintah Kolonial Belanda memperbaiki tiga
aspek kehidupan masyarakat pribumi yaitu edukasi (pendidikan), irigasi dan
transmigrasi. Salah satu bentuk dari pelaksanaan politik tersebut adalah
mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum pribumi. Sulawesi Tengah yang dulu masih
bernama Midden Celebes juga terkena
dampak dari politik tersebut. Anak-anak raja dan para bangsawan berkesempatan
mengenyam pendidikan yang dulu tidak semua kalangan bisa merasakan. Pendidikan
inilah yang menyebabkan pikiran mereka terbuka bahwa mereka harus
memperjuangkan nasib bangsanya yang belum terlepas dari belenggu penjajahan.
Seiring dengan kemunculan berbagai organisasi seperti Budi Utomo dan Sarekat
Islam pada saat itu, suasana pergerakanpun mewabah di seluruh nusantara
termasuk Sulawesi Tengah.
Tokoh-tokoh pemuda yang
menjadi corong pergerakan di Sulawesi Tengah antara lain; Palimuri, H. Yoto dg.
Pawindu, yang merupakan tokoh Sarekat Islam Palu, Datu Pamusu, Datu Palinge,
Lapasere, dan Gagaramusu di Sigi-Dolo, Lasadindi di Sindue, H. Hayyun di
Tolitoli, dan masih banyak lagi. Nama-nama di atas merupakan tokoh organisasi
Sarekat Islam yang merupakan organisasi pergerakan yang memiliki pengikut
terbanyak di Sulawesi Tengah (saat itu bernama Afdeeling Midden Celebes). Selain Sarekat Islam, ada juga Partai
Nasional Indonesia dengan Abdul Rahim Pakamundi sebagai tokohnya.
Para tokoh di atas merupakan
penggerak perlawanan terhadap kolonialisme di daerahnya masing-masing. Haji
Hayyun merupakan motor penggerak meletusnya peristiwa Salumpaga tahun 1919,
Datu Pamusu, Datu Palinge, Lapasere, dan Gagaramusu terlibat peristiwa Kagegere di Kayumalue, dan Lasadindi memimpin
perlawanan masyarakat Tajio dan Pendau di Pegunungan Sindue, dan lain
sebagainya. Pergerakan para pemuda pada masa pergerakan adalah perjuangan untuk
terlepas dari belenggu penjajahan.
Pergerakan pemuda kemudian
berlanjut pada masa kemerdekaan. Pada masa ini, para pemuda harus menghadapi
masa pendudukan Jepang. Pergerakan pada masa ini ditandai dengan peristiwa
Merah Putih di tiga daerah yaitu Katupat, Luwuk, dan Bungku. Peristiwa Merah
Putih di Katupat terjadi pada tanggal 23 Januari 1942. Peristiwa tersebut
ditandai dengan pengibaran dan upacara bendera yang dilangsungkan di Kampung
Katupat. Motor penggerak peristiwa tersebut adalah Haji Kola Abdul Karim dan
Dauda Bangulu yang merupakan tokoh PSII Una-una. Peristiwa Merah Putih di Luwuk
terjadi pada tanggal 12 Februari 1942. Peristiwa yang dipimpin oleh T.S. Bullah
ini ditandai dengan penangkapan seluruh pejabat Pemerintah Hindia Belanda di
kota Luwuk dan pembentukan pemerintahan nasional di Luwuk. Peristiwa Merah
Putih di Bungku lebih dikenal dengan Gerakan Merah Putih. Gerakan
Merah Putih telah berlangsung sejak tahun 1925 yang dilakukan oleh orang-orang
PSII yang didukung oleh Haji Alauddin, Ambarak, Haji Syahadat, Haji Lolo, Haji
Mohammad Amin, Haji Saha, Haji Mohammad Djamil, Kalibu, Sau Kader, Sindus, dan
Masaraa. Gerakan
ini juga didukung oleh para elit kerajaan Bungku seperti Abdul Rabbi, Abdul
Razak, dan Ahmad Hadi.
Setelah Indonesia merdeka,
perjuangan dan pergerakan pemuda dimaksimalkan untuk mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan. Pada masa ini, lahir tokoh-tokoh pemuda Sulawesi Tengah yang
berasal dari kalangan terpelajar antara lain, Rusdi Toana, Lolontomene Lamakarate,
Abdul Rahman dg. Maselo, dan lain-lain. Perjuangan pada masa ini adalah
perjuangan pembentukan provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1964. Perjuangan
pembentukan provinsi Sulawesi Tengah tersebut seiring dengan gagasan/konsep
dari Rusdi Toana dan Lolontomene Lamakarate tentang provinsi Sulawesi Tengah.
Setelah provinsi Sulawesi
Tengah terbentuk, bukan berarti perjuangan dan pergerakan juga terhenti. Para
pemuda tetap menjadi agen perubahan di dua masa berikutnya yaitu masa orde baru
dan orde reformasi. Munculnya demonstrasi pemuda yang tergabung dalam KOAMPA
(Komando Aksi Mahasiswa Ampera) pada tahun 1966 yang menuntut pembubaran PKI di
Sulawesi Tengah, hingga pergerakan pemuda menuntut reformasi yang dikenal
dengan peristiwa Samsidar (Sam Ratulangi Berdarah) di masa peralihan dari orde
baru ke orde reformasi menegaskan bahwa pergerakan pemuda akan terus ada untuk
mengiringi perjalanan zaman.
Akhirnya,
marilah kita memaknai rekam
jejak pergerakan pemuda ini dengan
kembali menelusuri jejak-jejak semangat dan perubahan pemikiran pemuda-pemuda
pada perjuangan sebelumnya dan berjanji dalam hati bahwa kita akan melakukan
perubahan demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Agar pepatah “masa depan
bangsa ada di tangan pemuda” bukan hanya isapan jempol belaka. Semangat pergerakan pemuda wajib direnungkan
kembali agar kita mampu belajar dari sejarah.
Jefrianto *( Mahasiswa
Pendidikan Sejarah angkatan 2008. Duta Sulawesi Tengah untuk Indonesian
Youth Conference 2012. Perwakilan Sulawesi Tengah dalam Indonesian Youth Civic
and Engagement tahun 2013).
0 Comments