Pada 13 Oktober 2025, SKP-HAM genap berusia 21 tahun. Usia yang bagi sebuah gerakan sosial, menandakan keteguhan untuk tetap berdiri, meski berjalan di jalan yang sering kali sunyi. Ulang tahun ini bukan sekadar peringatan waktu. Ia adalah pengingat bagaimana sebuah lingkaran kecil dapat bertahan dan perlahan memperluas ruang keadilan bagi kelompok yang paling terabaikan.
Dua puluh satu tahun lalu,
SKP-HAM tidak lahir dari rencana besar. Ia lahir dari sebuah rangkaian
pertemuan pada Oktober 2004, pertemuan yang mempertemukan penyintas tragedi
1965, korban konflik Poso, buruh yang kehilangan hak, keluarga yang tanahnya
dirampas, hingga mereka yang dikriminalisasi tanpa dasar. Pertemuan itu
sebenarnya biasa saja; forum seperti ini sering dihadiri LSM dan organisasi
korban.
Namun sesuatu yang tidak terduga
terjadi. Undangan yang seharusnya diterima Abdul Karim Lamasitudju justru
dibaca oleh anaknya, Nurlaela yang kemudian hadir menggantikan ayahnya. Ia
masih mahasiswa, tidak punya pengalaman advokasi, dan hanya ingin tahu. Tetapi
kisah-kisah yang ia dengarkan selama tiga hari itu mengubah hidupnya. Ketika
peserta sepakat membentuk organisasi korban lintas kasus, nama Nurlaela justru
didorong menjadi Sekretaris Jenderal pertama.
Di titik itulah sejarah bergeser,
bukan oleh perencanaan matang, tetapi oleh keberanian mengambil langkah pertama
tanpa tahu apa yang akan dihadapi.
Pada tahun-tahun awal, SKP-HAM
berdiri tanpa apa-apa. Tidak ada kantor tetap, tidak ada dana operasional,
pengurus pun hanya segelintir. Tetapi dari keterbatasan itu muncul kerja-kerja
penting yang membentuk pondasi organisasi.
Nurlaela menelusuri
kampung-kampung dari Palu, Donggala, Sigi, hingga Parigi Moutong. Ia mengetuk
pintu rumah-rumah penyintas yang selama puluhan tahun memilih diam. Ia mencatat
cerita penangkapan sewenang-wenang, kerja paksa, pemutusan akses penghidupan,
pemiskinan, hingga stigma sosial yang menempel begitu lama. Pekerjaan ini
dilakukan saat stigma 1965 masih kuat, sehingga kecurigaan, intimidasi, bahkan
ancaman dari aparat dan sebagian masyarakat kerap datang.
Tetapi dokumentasi yang dimulai
dari upaya sunyi itu perlahan tumbuh. Dari 512 data awal pada 2005–2008,
menjadi lebih dari 1.210 testimoni pada 2010–2011 setelah SKP-HAM bekerja sama
dengan Asia Justice and Rights (AJAR) dan jaringan dokumentasi bersama
(Jardokber). Data ini kelak menjadi modal politik paling penting, modal yang
bahkan negara tidak punya.
Momentum perubahan muncul ketika
data dan suara penyintas mulai bertemu dengan ruang kebijakan lokal. Pada 24
Maret 2012, Wali Kota Palu, Rusdy Mastura, menyampaikan permintaan maaf resmi
kepada korban pelanggaran HAM 1965/66, sebuah langkah yang pada masa itu hampir
mustahil dibayangkan terjadi di daerah lain.
Perwali No. 25 Tahun 2013
kemudian diterbitkan, mengatur pemenuhan hak korban dan memuat aturan
reparation berbasis daerah. Ini bukan kebetulan. SKP-HAM memiliki keunggulan
yang tidak dimiliki pemerintah, yaitu basis data yang lahir dari proses
pendokumentasian yang panjang, detail, dan mendalam. Penelitian dan verifikasi
Bappeda tahun 2015 yang dilakukan dengan kontribusi besar SKP-HAM,
mengonfirmasi bahwa Palu bergerak lebih cepat daripada negara yang justru
mandek dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dengan kata lain, SKP-HAM mengisi
ruang kosong yang ditinggalkan negara, sebagaimana dipetakan Sri Lestari
Wahyuningroem dalam kajian tentang transitional justice yang gagal bekerja dari
pusat tetapi justru menemukan kekuatannya di level lokal.
Saya bukan bagian awal SKP-HAM.
Saya datang sebagai mahasiswa sejarah yang sedang mencari sumber penelitian
tentang peristiwa 1965 di Palu. Buku Memecah Pembisuan membawa saya ke
sekretariat SKP-HAM, ruang kecil yang kemudian membuka jalan panjang dalam
hidup saya.
Di sana saya bertemu penyintas
dalam forum bulanan tanggal 13. Saya mendengar kisah empat orang yang
dihilangkan secara paksa, termasuk Abd. Rahman Dg. Maselo. Saya mendengar
cerita penangkapan massal, penyiksaan, kehilangan pekerjaan dan stigma yang
menumpuk selama puluhan tahun.
Mendengarkan langsung adalah
pengalaman yang mengubah perspektif saya. Dari ruang itu saya belajar bahwa
sejarah bukanlah deretan tanggal atau dokumen resmi. Ia adalah ingatan
orang-orang yang hidup dengan luka yang belum selesai. Dari situlah cara pandang
saya tentang sejarah, trauma, dan keadilan berubah secara mendasar.
Kerja dua dekade itu akhirnya
bertemu dengan momen nasional. Pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi mengakui
adanya pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada tahun yang sama, program
penyelesaian non-yudisial (PPHAM) dilaksanakan, termasuk di Palu pada 14 Desember
2023.
Jika dilihat dari luar, ini
tampak seperti kebijakan nasional biasa. Tetapi dari perspektif SKP-HAM, momen
ini adalah akumulasi kerja 21 tahun, di mana dokumentasi, pengorganisasian,
membangun hubungan dengan pemerintah daerah, dan menjaga pertemuan bulanan agar
penyintas tetap memiliki ruang aman untuk bercerita.
Inisiatif pusat akhirnya
menemukan daerah yang siap dan kesiapan itu dibangun oleh SKP-HAM sejak 2004.
Ulang tahun ke-21 SKP-HAM justru
menunjukkan bahwa pekerjaan terbesar belum selesai. Negara mungkin sudah
mengakui. Bantuan reparasi mungkin sudah dilaksanakan. Tetapi stigma tidak
hilang hanya dengan pengakuan. Trauma tidak sembuh hanya dengan bantuan materi.
Tantangan utama hari ini adalah
memastikan kisah korban tidak hanya tersimpan dalam dokumentasi internal atau
laporan verifikasi. Ia harus masuk ke ruang publik, ruang pendidikan, ruang
kebudayaan, dan ruang sejarah nasional. Jika tidak, narasi resmi yang
menyudutkan korban akan terus bertahan, dan luka lama akan terus diwariskan.
Narasi alternatif yang
menempatkan penyintas sebagai subjek sejarah adalah pekerjaan paling mendesak dan
SKP-HAM berada dalam posisi yang kuat untuk mengerjakannya.
HUT ke-21 bukanlah perayaan usia
atau momen nostalgia. Ia adalah pengingat bahwa perubahan besar sering tumbuh
dari ruang-ruang kecil yang terus dirawat. Dari lingkaran pertemuan tanggal 13.
Dari suara-suara yang dahulu dibungkam tetapi kini mulai diakui. Dari keyakinan
bahwa sejarah tidak harus ditulis oleh negara; ia dapat dan harus ditulis oleh
mereka yang mengalami peristiwa itu.
SKP-HAM hari ini bukan sekadar
organisasi. Ia adalah wadah, rumah, arsip hidup dan yang paling penting ruang
keberanian. Ia membuktikan bahwa dari Palu, kota yang sering dianggap
pinggiran, muncul salah satu praktik keadilan transisional paling kuat di
Indonesia.
Selama lingkaran itu terus
dijaga, selama kisah para penyintas terus diceritakan, gerakan ini tidak akan
berhenti, karena ingatan adalah kekuatan dan dari kekuatan itulah keadilan masa
depan dibangun.

0 Comments