Bayangkan pagi 17 Agustus. Upacara di lapangan, petugas pengibar bendera bersiap dengan bendera Merah Putih, tapi tiba-tiba ada juga bendera bajak laut—One Piece, dengan simbol tengkorak dan topi jerami, ikut berkibar. Reaksi publik langsung terbagi: sebagian tertawa, sebagian kesal, dan tak sedikit yang meradang. Tapi apakah ini sekadar ulah iseng wibu fanatik? Atau ada makna yang lebih dalam?
Mari kita tengok sejenak: apa sih sebenarnya dunia One Piece itu?
One Piece bukan sekadar cerita bajak laut mencari harta karun. Ia adalah dunia yang kompleks, penuh ketidakadilan, perlawanan terhadap tirani, dan pencarian kebebasan. Monkey D. Luffy bukan cuma kapten bajak laut, tapi simbol harapan akan dunia yang lebih adil, di mana semua orang bebas bercita-cita tanpa ditindas oleh struktur kekuasaan yang korup. Bukan kebetulan kalau Luffy ingin menjadi "Raja Bajak Laut" bukan untuk berkuasa, tapi untuk menjadi orang paling bebas di dunia.
Lihat misalnya kisah Ohara—sebuah pulau kecil yang hancur karena pemerintah dunia tak ingin ada yang menggali sejarah sejati. Para arkeolog yang mencoba memahami masa lalu dihancurkan karena dianggap membahayakan stabilitas kekuasaan. Ini mengingatkan kita pada banyak peristiwa sejarah di mana negara takut pada warganya yang berpikir. Dan kita pun bisa bertanya: apakah semangat kemerdekaan Indonesia hari ini masih memberi ruang bagi warga untuk berpikir kritis, untuk mempertanyakan narasi besar negara?
Atau kisah Bartholomew Kuma, seorang revolusioner yang akhirnya dijadikan budak oleh Pemerintah Dunia, diubah menjadi senjata, lalu kehilangan kesadaran dan identitasnya. Ini bukan sekadar cerita sedih, tapi alegori menyakitkan tentang bagaimana sistem kekuasaan bisa melumpuhkan bahkan pejuangnya sendiri, menjadikannya alat, bukan manusia. Apakah ini juga terjadi dalam sistem politik kita, di mana aktivis, pemikir, dan pembaharu justru dikerdilkan setelah "masuk ke sistem"?
Lalu ada Tenryubito, bangsawan dunia yang hidup mewah di atas penderitaan rakyat. Mereka bisa memperbudak siapa saja, bahkan menjadikan manusia sebagai komoditas. Mereka kebal hukum, dilindungi negara, dan siapa pun yang melawan akan dibungkam. Terlalu jauh jika dibandingkan dengan elite kita? Mungkin. Tapi pola relasi kekuasaan yang timpang itu tetap terasa familiar, apalagi saat rakyat kecil tak punya akses ke keadilan dan elite bisa membeli segalanya.
Bendera One Piece yang dikibarkan di hari kemerdekaan, bisa jadi adalah panggilan diam dari generasi muda: mereka ingin Indonesia yang berbeda. Indonesia yang tidak didominasi elite buta budaya, tapi yang memahami aspirasi generasi digital. Mereka tidak membaca pidato panjang dan penuh jargon; mereka menonton anime, membaca manga, dan berdiskusi di forum daring. Dunia mereka tidak terbatas pada slogan "Bangga Jadi Anak Indonesia", tapi juga harapan akan keadilan, kebebasan, dan kebenaran yang mereka lihat dalam kisah fiksi.
Dan di sinilah titik pentingnya. Negara tidak boleh kagok apalagi alergi terhadap fenomena seperti ini. Ketika sekelompok anak muda mengibarkan bendera Topi Jerami, bukan berarti mereka anti-nasionalis. Bisa jadi mereka justru lebih peduli pada nilai-nilai keadilan dan kebebasan daripada mereka yang sekadar menyanyikan lagu wajib tapi membiarkan ketimpangan dan ketidakadilan merajalela.
Bahkan, munculnya figur seperti Sun God Nika dalam kisah One Piece semakin relevan. Nika adalah simbol harapan dan pembebasan bagi kaum tertindas. Dia bukan dewa yang minta disembah, tapi mitos yang menghidupkan kembali semangat perlawanan. Luffy yang menjadi wujud Nika, menari di tengah pertempuran, menertawakan ketakutan, dan menghadirkan tawa di wajah mereka yang tertindas. Bukankah ini impian yang kita semua ingin lihat di Indonesia? Bahwa akan muncul pemimpin yang bukan hanya kuat, tapi juga membawa tawa dan harapan?
Generasi muda ingin melihat Indonesia berubah, bukan dengan cara lama, tapi dengan nilai-nilai baru yang mereka pelajari dari dunia pop culture. Mereka tidak butuh pemimpin yang kaku dan penuh pencitraan, tapi yang bisa hadir seperti Luffy: jujur, setia kawan, nekat melawan ketidakadilan, dan selalu menolak menyerah.
Pengibaran bendera One Piece bisa jadi adalah simbol krisis harapan terhadap simbol negara. Ketika merah putih terasa hanya milik upacara dan para elite yang berkampanye, maka anak muda menciptakan simbol sendiri. Ini bukan berarti mereka tidak mencintai Indonesia. Justru sebaliknya, mereka ingin Indonesia kembali ke cita-cita kemerdekaan yang sebenarnya: keadilan sosial, kebebasan berpikir, dan solidaritas sejati.
Tugas negara bukan menertibkan, tapi mendengarkan. Bukan menangkap, tapi memahami. Jika bendera Topi Jerami bisa membuat kita berpikir ulang tentang makna kemerdekaan, maka mungkin kita perlu bertanya: siapa yang benar-benar memperjuangkan kemerdekaan hari ini? Mereka yang berdasi di gedung parlemen, atau mereka yang bersuara lewat meme, cosplay, dan bendera bajak laut?
Pada akhirnya, One Piece adalah cerita tentang perjalanan panjang menuju cita-cita. Sama seperti Indonesia, yang belum selesai. Dan mungkin, kita butuh lebih banyak Luffy, Robin, Kuma, atau bahkan Ohara, untuk mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya milik masa lalu, tapi perjuangan hari ini dan esok.
Dan mungkin, seperti impian para budak di dunia One Piece, kita pun berharap: akan datang Sun God Nika kita sendiri. Bukan dewa, bukan tokoh fiksi, tapi gerakan, ide, dan harapan bersama yang mampu menari di atas luka bangsa dan menertawakan ketakutan.
Karena pada akhirnya, kebebasan bukan hadiah dari negara, tapi hak yang terus diperjuangkan.
Dan siapa tahu, bendera berikutnya yang mereka kibarkan, bukan sekadar bendera anime, tapi bendera harapan yang sesungguhnya.
0 Comments