Lelaki tua itu melangkah pelan dari sebuah musala, usai menunaikan salat zuhur. Ia mengenakan baju koko berwarna hitam dipadupadankan dengan sarung putih dan kopiah hitam. Musala tersebut terletak tidak jauh dari kediaman lelaki tua itu. Jalan lingkungan seukuran sebuah truk menghubungkan musala itu dengan pemukiman di sekitarnya. Pada siang hari yang terik, jalan itu akan berdebu dan saat hujan akan becek.
Rumah lelaki tua ini terletak
tidak jauh dari Jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan Kota Palu, termasuk
Mamboro, dengan wilayah kabupaten lainnya. Rumah sederhana dengan dinding semi
permanen batako dan gipsum ini, terdiri dari sebuah ruang yang luas yang
difungsikan sebagai ruang tamu juga ruang keluarga, dengan lantai semen yang
dialasi tikar plastik. Di sisi barat ruang itu terapat dua kamar. Dari ruangan
yang luas tersebut, terdapat pintu di sisi barat yang menghubungkan ruangan itu
dengan dapur.
“Rumah ini dulu habis tersapu
tsunami, tidak ada yang tersisa. Saat itu, saya dan istri tidak ada di sini.
Kami berangkat ke Morowali ke rumah anak di sana dan yang tinggal di sini anak
dan cucu saya. Alhamdulilah mereka selamat semua. Rumah ini saya bangun kembali
dengan bantuan dari berbagai pihak,” kenang lelaki itu.
Lelaki tua itu bernama Ambo Arre.
Sudah kurang lebih 35 tahun, dirinya menetap di pesisir Mamboro, tepatnya di
kompleks yang dikenal dengan nama Mamboro Perikanan. Lelaki yang berusia hampir
70 tahun ini, adalah salah seorang penghuni awal kawasan tersebut, sekira tahun
1987. Ambo Arre menceritakan, dirinya berasal dari Sengkang, Sulawesi Selatan
dan memutuskan merantau ke Palu, untuk mengubah nasib.
“Saya memutuskan merantau ke
Palu, karena di Sengkang, keluarga saya juga bukan orang berada. Jadi
satu-satuya cara untuk mengubah nasib adalah merantau,” ujarnya.
Ambo Arre tiba di Palu pada
pertengahan 1980-an dan menumpang pada rumah keluarganya di wilayah sekitar
Pasar Tua. Sambil bekerja serabutan, dirinya menjelajahi sejumlah wilayah di
Kota Palu dan sekitarnya, yang memiliki sumber daya hasil laut yang potensial,
sebagai tempat bermukim dan memulai usaha bagang.
Dari informasi yang
didapatkannya, ia kemudian memutuskan untuk menetap di kawasan Mamboro
Perikanan. Wilayah Mamboro Perikanan saat Ambo Arre pertama kali memutuskan
untuk menetap di sana, merupakan wilayah yang hampir tak berpenghuni. Menurut
ayah dari 7 orang anak ini, wilayah itu ditumbuhi pohon kelapa dan pohon kuda
(Lannea coromandelica), yang lebih dikenal masyarakat lokal dengan nama Kayu
Jawa atau Kayu Cina. Hanya ada beberapa rumah yang terletak di tepi jalan utama
dan Kantor UPTD Pengawas Perikanan yang terletak agak ke dalam.
“Seingat saya, hanya ada 3-4
rumah dulu di sini, di sudut jalan itu ada rumah yang ditinggali seorang kakek
buta berbentuk semi panggung. Sehari-hari, kami memanfaatkan air di sumur yang
berada di dekat halaman rumahnya. Di seberang jalan, juga terdapat rumah dengan
sumur di depannya. Kawasan sepanjang jalan sampai masjid baru (Nurul Yaqin) itu
lahan kosong. Yang tinggal di sini itu cuma kakek buta, Ambo Sakka, Pajongko
dan rumah di seberang jalan di depan rumah kakek buta,” ujarnya.
Saat pertama kali menetap di
Mamboro Perikanan, Ambo Arre mendirikan rumah sederhana dengan dinding dari
pelepah sagu. Lahan rumah itu dibelinya dari kepala kampung Mamboro. Setelah
kehidupannya mulai meningkat, Ambo Arre kemudian mengajak orang-orang di
kampungnya untuk menetap di kawasan itu. Gelombang migrasi itu terjadi pada
akhir 1980-an hingga awal 1990-an.
Ketika ditanyakan mengenai apakah
dirinya mengetahui bahwa lokasi tempat tinggalnya tersebut, sebelum bencana 28
September 2018 telah terdampak tsunami, Ambo Arre mengaku tidak mengetahui.
Menurutnya, selama tinggal di situ, tidak ada informasi bahwa lokasi tempat
tinggalnya itu adalah lokasi bekas bencana tsunami.
Sebelum tsunami menerjang Teluk
Palu, juga kawasan Mamboro Perikanan pada Jumat petang, 28 September 2018 lalu,
wilayah Mamboro memang memiliki sejarah kebencanaan yang panjang. Wilayah Mamboro
yang kini berada di wilayah Kecamatan Palu Utara, yang terletak 13 KM arah
utara Palu, telah lama menjadi perhatian para ahli, khususnya ahli geologi dan
geografi.
Ahli geologi Belanda, E. C.
Abendanon misalnya, yang melakukan penelitian di Sulawesi Tengah pada tahun
1909 hingga 1910, dalam hasil penelitiannya yang menjadi buku berjudul
MiddenCelebes-Expeditie: Geologische en Geographische Doorkruisingen van Midden
Celebes (1909-1910), menjadikan Mamboro sebagai salah satu wilayah lokus
penelitiannya. Dalam buku yang terbit tahun 1915 ini, Abendanon menjelaskan
proses awal penelitiannya, dengan melakukan pengukuran dari Palu ke Mamboro dan
dari Palu ke Donggala, untuk memetakan Teluk Palu. Hasil penelitiannya cukup
mengejutkan, di mana menurutnya, kawasan dataran rendah di utara Donggala dan
aktivitas dari Sungai Palu saat itu, memberikan dampak mundurnya garis pantai
ke arah selatan. dirinya memperkirakan, jarak mundurnya garis pantai ini
mencapai sekitar 100 depa atau 182,88 meter. Indikasi bahwa laut (garis pantai)
telah lebih ke arah selatan daripada sekarang, karena dirinya menemukan, di
Dolo ada air tanah yang payau di kedalaman 2 meter. Selain itu, di dataran
antara Palu dan Mamboro, di sana-sini di tanah, ada potongan batu kapur atau
batu gamping, yang merupakan batuan lautan.
Selain itu, Abendanon juga
mengamati depresi yang terjadi di pinggiran timur Teluk Palu, akibat aktivitas
sesar Fossa Sarasina, atau yang dikenal dengan sesar Palu-Koro. Ini menjadikan
kawasan di bawah (pesisir) Mamboro daerahnya sedikit lebih rendah, dengan
ketinggian air tepat di bawah permukaan. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat
kelembaban tanah juga menghasilkan lebih banyak kesuburan. Dirinya bahkan
mengibaratkan Mamboro terletak, seolah-olah di sebuah oasis sawah basah dan
kebun kelapa. Abendanon menemukan cerita, bahwa sekitar 40 tahun yang lalu dari
tahun kedatangannya di Palu pada 1909, yakni 1870-an, ada gelombang pasang di
Teluk Palu, yang terjadi di Lero dan Mamboro, dengan ketinggian beberapa meter.
Gelombang ini menurut cerita tersebut, terjadi akibat penurunan muka tanah di
Teluk Palu, yang mengakibatkan gelombang air laut tiba-tiba dari Selat
Makassar.
Cerita serupa muncul dari De
Heeren de Vogel dan Dibbetz, seorang pejabat urusan pertanian, yang menceritakan
kepada Abendanon, tentang kisah-kisah menarik tentang gempa bumi di Donggala.
Menurut mereka, berdasarkan laporan dari penduduk desa, terjadi banjir 40 - 50
tahun yang lalu (dari 1909), di Palu, Mamboro dan Lero, di mana tinggi
gelombang kurang lebih 7 meter dan di wilayah Donggala sekitar 4 meter. Banjir
ini juga diwarnai penyemprotan air tanah berwarna hitam. Ini kata De Heeren de
Vogel dan Dibbetz, disebabkan oleh penurunan tanah.
Jika dilihat dengan seksama, apa
yang terjadi di periode 1870-an hingga 1880-an di Teluk Palu ini, mirip dengan
apa yang terjadi pada 28 September 2018 lalu, di mana tsunami terjadi akbat
penurunan muka tanah (longsor) di Teluk Palu. ini membuktikan, bencana tsunami
akibat longsor di Teluk Palu, bukan baru pertama kali terjadi.
Setelah bencana tsunami yang
diperkirakan terjadi pada 1870-an tersebut, wilayah pesisir Mamboro kembali
diterjang tsunami pada 1 Desember 1927. Akibat gempa ini, dilaporkan Kantor
Asisten Residen di Donggala sebagian ambruk, sementara di Palu, dua pasar
runtuh dan dermaga tersapu sebagian oleh gelombang pasang (tsunami). Laporan
ini juga menyebut, di Biromaru, pasar hancur dan kantor lanskap rusak parah.
Dilaporkan, empat belas orang tewas dan lima puluh terluka, serta kerugian
diperkirakan mencapai 50.000 gulden. 11 tahun kemudian, pada 20 Mei 1938,
tsunami kembali menerjang wilayah Mamboro. Tsunami mencapai seratus meter ke
darat, menyeret tujuh belas rumah di Mamboro. Seorang wanita Cina dilaporkan
tewas akibat tsunami tersebut.
Daeng Bide (69), warga Kelurahan
Mamboro, mengatakan, pascabencana 1938, masyarakat yang bermukim di Mamboro
Perikanan, yang didominasi oleh masyarakat pendatang asal Gowa, memutuskan
untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi dan aman. Mereka memindahkan rumah
panggungnya dengan cara gotong royong dan membentuk perkampungan baru di
Mamboro Ngapa (Kelurahan Mamboro saat ini). Kawasan yang mereka tinggalkan,
kosong selama hampir 50 tahun dan kembali dihuni pada akhir 1980-an, walaupun
segelintir dari mereka, telah kembali membangun rumah di sana, sebelum
kedatangan Ambo Arre pada tahun 1987.
0 Comments