Triangulasi dan Pemetaan Sulawesi

Triangulasi dan Pemetaan Sulawesi

 

FOTO: Dokumen yang ditandatangani oleh Asisten Residen Donggala, Frederik Charles Hendrik Hirschmann, berisi balasan dari surat No. 40 tertanggal 30 Mei 1933 dari para pengawas lansekap di Palu, tentang permintaan daftar pilar triangulasi yang berada di wilayah Afdeeling Donggala, sebagai bagian dari pengajuan dana untuk pemeliharaan dan restorasi pilar triangulasi di wilayah tersebut. FOTO: DOK KHST

Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST) lewat laman grup media sosial Facebook-nya, Rabu (9/6/2021), menampilkan sebuah potret dokumen berangka tahun 1933. Dokumen yang ditandatangani oleh Asisten Residen Donggala, Frederik Charles Hendrik Hirschmann, yang menjabat sejak 28 Mei 1931 itu, berisi balasan dari surat No. 40 tertanggal 30 Mei 1933 dari para pengawas lansekap di Palu, tentang permintaan daftar pilar triangulasi yang berada di wilayah Afdeeling Donggala, sebagai bagian dari pengajuan dana untuk pemeliharaan dan restorasi pilar triangulasi di wilayah tersebut.

Dalam surat balasan ini. Hirschmann menyertakan daftar pilar triangulasi yang berada di wilayah Afdeeling Donggala, yang terbagi dalam empat onderafdeeling, yakni Donggala, Palu, Parigi dan Tolitoli. Untuk wilayah Onderafdeeling Donggala, pilar triangulasi berada di empat wilayah, masing-masing; Gunung Sojol yang berada di atas Ogoamas (District Noord Banawa/Banawa Utara), Gunung Tambaila yang berada di atas wilayah Tompe (District Sirendja/Sirenja), Gunung Giliwo yang berada di atas wilayah Sumari (District Midden Banawa), serta Bulu (Gunung) Silingi yang berada di atas wilayah Labuan (District Tawaeli).

FOTO: Pilar triangulasi di puncak Gunung Sojol yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. FOTO: https://latimojong.wordpress.com

Kemudian di Onderafdeeling Palu, pilar triangulasi berada di tiga wilayah, masing-masing; Gunung Kilalaki (Nokilalaki) yang disebut berada di Lindu, Gunung Lempopana yang berada di wilayah Tangkolawi (Tangkulowi), serta Gunung Tanggumbuno yang berada di lansekap Sigi Dolo. Selanjutnya di Onderafdeeling Parigi, terdapat tiga titik yang memiliki pilar triangulasi, masing-masing; Gunung Patindavidu yang berada di wilayah Parigi, Gunung Towera yang berada di wilayah Towera, serta Gunung Pungsung Lola yang berada di wilayah Pingkulang (Tingkulang). Terakhir, di wilayah Onderafdeeling Tolitoli, terdapat dua titik pilar triangulasi, masing-masing; Bukit Dako dan Bukit Ogoamas.

Bagian Dari Triangulasi Sulawesi

12 pilar triangulasi yang berada di wilayah Afdeeling Donggala ini, merupakan bagian dari program Triangulasi Sulawesi, yang dilaksanakan oleh Brigade Triangulasi di Makassar, berdasarkan Gouvernement Besluit No.6, tanggal 6 Januari 1910. Kepala Brigade Triangulasi, Prof. Ir. J.H.G. Schepers, dalam artikelnya di buku 75 Jaren Topografie in Nederlandsch-Indie (75 Tahun Topografi di Hindia Belanda), yang terbit tahun 1939, mengenai Kerja Geodetik dan Astronomi menjelaskan, sejak Mei 1916, triangulasi Sumatera dan Sulawesi, keduanya ditempatkan di bawah kepemimpinan Kepala Brigade Triangulasi.

Buku Survei dan Pemetaan Nusantara yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), sekarang Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2009, menyebut Jaring Triangulasi Pulau Sulawesi terdiri dari: Titik Primer 74 buah, Titik Sekunder 92 buah, dan Titik Tersier 1081 buah. Titik awal lintang dan azimuth triangulasi ditentukan di Gunung Moncong Lowe dan bujurnya di Makassar sebagai meridian nol.

FOTO: Buku Survei dan Pemetaan Nusantara yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), sekarang Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2009. FOTO: DOK JEFRIANTO

Buku ini juga menjelaskan, survei triangulasi adalah proses pencarian koordinat dan jarak sebuah titik dengan mengukur sudut antara titik tersebut dan dua titik referensi lainnya yang sudah diketahui posisi dan jarak antara keduanya. Koordinat dan jarak ditentukan dengan menggunakan hukum sinus. Hasil pengukuran triangulasi pada awalnya digunakan untuk keperluan pemetaan wilayah dan navigasi, dalam perkembangannya kemudian dikembangkan untuk berbagai keperluan seperti metrologi, astrometri, pembentukan citra pada binokular dan pembidikan senjata artileri.

Prof. Schepers dalam buku 75 Jaren Topografie in Nederlandsch-Indie menjelaskan, Triangulasi Sulawesi dimulai pada tahun 1910 di selatan lengan barat daya Sulawesi. Pada tahun-tahun awal, jaringan secara teratur dibangun ke arah utara, sampai Triangulasi Minahasa diperintahkan pada tahun 1913, karena jaring ini benar-benar terpisah dari rantai selatan dan oleh karena itu harus memiliki orientasinya sendiri. Dirinya menyebut, ada juga risiko diskontinuitas jaring segitiga di Sulawesi di masa depan, sebagai akibat dari deviasi relatif tegak lurus dari stasiun orientasi astronomi di Sulawesi Selatan dan di Minahasa.

Hal ini kata dia, dicegah karena brigade penerima yang bekerja hampir bersamaan dengan Brigade Triangulasi di Sulawesi Selatan, sehingga pada awalnya tidak memiliki wilayah kerja yang cukup, karena kekurangan titik tetap, juga dengan pelaksanaan triangulasi tersier, dimana Brigade Triangulasi mampu mengembangkan triangulasi primer dengan lebih cepat.

FOTO: buku 75 Jaren Topografie in Nederlandsch-Indie (75 Tahun Topografi di Hindia Belanda), yang terbit tahun 1939. FOTO: DOK. JEFRIANTO

Setelah rantai batang utama, yang membentang dari Jeneponto di selatan, melewati Teluk Tomini ke Pulau Talise di Kepulauan Sangihe, telah diukur pada akhir tahun 1931, penyesuaian selanjutnya dari rantai batang ini pada tahun 1932, yang berarti bahwa bahaya celah di jaring bisa dikurangi. Kemudian sejak tahun 1931, triangulasi tersier di Celebes dilakukan kembali oleh Brigade Triangulasi, karena pada saat itu telah diperoleh petunjuk yang cukup atas asupan dengan triangulasi primer dan sekunder.

Pelaksanaan kegiatan triangulasi tersier secara terpisah dari dan setelah triangulasi primer dan sekunder, menyebabkan pendudukan ganda dari stasiun yang sama dan dengan demikian meningkatkan biaya yang cukup besar.

Pada masa triangulasi Sumatera dan Sulawesi yang masih berlangsung, bidang kegiatan brigade berturut-turut diperluas dengan Kepulauan Sunda Kecil (Lombok 1916-1923), Bangka (1917-1920, 1926-1931), Ambon (1918). - 1919), Kepulauan Riau dan Lingga (1935-1938).

Untuk pengukuran triangulasi secara umum di wilayah Sulawesi selain wilayah Residen Menado, berdasarkan pemaparan Prof. Schepers, dilakukan pada 1910 hingga 1913. Pengukuran triangulasi di wilayah Residen Menado, dilakukan mulai tahun 1913, diawali dengan Triangulasi Minahasa. Kemudian untuk pengukuran dasar di wilayah Sulawesi, dilakukan di Jeneponto pada tahun 1911, kemudian di Tondano pada tahun 1915 dan Korodolo di Midden Celebes (Sulawesi bagian tengah) pada tahun 1920. Kemudian untuk pengukuran orientasi astronomi atau stasiun control di wilayah Sulawesi, dilakukan di wilayah Montjong (Moncong) Lowe di Sulawesi Selatan pada tahun 1911, kemudian Bukit Wenang di Sulawesi Utara pada 1916-1917, serta Tanjung Kapingo di Teluk Tomini, Pondo di Sulawesi Tengah dan Gunung Tiolo di Teluk Tomini pada tahun 1931.

Program Triangulasi Sulawesi ini juga tercatat dalam sejumlah surat kabar berbahasa Belanda, baik yang terbit di Belanda, maupun yang terbit di Hindia Belanda. Salah satunya Surat kabar De Locomotief edisi 1 Desember 1932, yang menulis sebuah laporan berjudul Triangulasi Sulawesi.

Dalam laporan yang mengutip Kantor Berita Aneta ini disebutkan, sebuah karya 20 tahun berakhir. Triangulasi utama di Sulawesi, yang dimulai 20 tahun yang lalu, yakni pada tahun 1911, baru saja berakhir. Rantai triangulasi primer berjalan dari wilayah di dekat Jeneponto, Sulawesi Selatan, di atas Sulawesi Tengah dan pulau-pulau di Teluk Tomini ke wilayah dekat Tondano, Minahasa, sekarang telah sepenuhnya diukur.

FOTO: Surat kabar De Locomotief edisi 1 Desember 1932, yang menulis sebuah laporan berjudul Triangulasi Sulawesi. FOTO: REPRO JEFRIANTO

Selesainya pengukuran ini, memungkinkan untuk secara definitif melakukan semua perhitungan di seluruh Sulawesi. Keuntungan besar dari mengukur rantai ini adalah bahwa sangat sedikit pekerjaan luar yang harus dilakukan tahun berikutnya, yang untuk masa-masa penghematan ini, adalah sangat penting.

Cabang yang masih hilang yang membentang dari Palopo ke Donggala dan selanjutnya disatukan ke rantai yang sudah berukuran penuh, tidak diambil untuk saat ini. Hal ini dilakukan karena pemotongan anggaran, sehingga tidak akan ada tur lagi untuk saat ini.

Sekilas Brigade Triangulasi

Brigade Triangulasi berdiri pada tahun 1889, sebagai perubahan nama dari Divisi Triangulasi pada Dinas Topografi (Topografischen dienst), yang dibentuk berdasarkan Gouvernement Besluit No. 39 tanggal 9 Maret 1883, bersamaan dengan dimulainya Triangulasi Sumatera. Divisi Triangulasi yang kemudian berubah menjadi Brigade Triangulasi, dipimpin berturut-turut oleh H. Helb (1883-1886), H.D.H. Bosboom (1886-1894), Dr. J.J.A. Muller (1894-1903), S. Blok (1903-1909), A.v. Lit (1909-1911). V. Segov (1911-1913) dan J.H.G. Schepers.

FOTO: Kantor Brigade Triangulasi Dinas Topografi di Batavia, tahun 1924.
FOTO: DOK. BINTORO HOEPODIO 

Pemerintah Kolonial Belanda sendiri menetapkan triangulasi sebagai dasar pemetaan secara resmi yang diadopsi di Hindia Belanda, berdasarkan Gouvernement Besluit tanggal 25 Desember 1853. Triangulasi awalnya dilakukan oleh Layanan Geografis (Geographischen dienst) dari Departemen Angkatan Laut (Departement van Marine). Pada Mei 1881, Layanan Geografis dihapuskan dan pekerjaannya dilanjutkan oleh Dinas Topografi. ***  

Post a Comment

0 Comments