Politik Pangan Masa Kolonial di Palu

Politik Pangan Masa Kolonial di Palu



Beras Impor di Midden Celebes
November 2019, sebagaimana dilansir dari Kumparan, Perum Bulog mencatat stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) saat ini, tersedia sebanyak 2,3 juta ton[1]. Sementara jumlah stok beras untuk kepentingan komersial ada sekitar 170 ribu ton[2]. Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Bulog, Budi Waseso menegaskan, jumlah stok beras CBP tersebut sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan Natal dan Tahun Baru, begitupun untuk kebutuhan sampai masa panen raya pada sekitar bulan Maret 2020, kata dia bisa cukup dan tidak perlu lagi impor[3].

Berbicara soal impor beras, memang menjadi ironi bagi Indonesia, yang berada di urutan ketiga negara penghasil beras terbesar di dunia, di bawah Cina dan India[4]. Sebagaimana dilansir Kompas, produksi beras Indonesia mencapai 70.8 juta ton per tahun, dengan jumlah impor beras mencapai 1 juta ton per tahun[5].

Selain sebagai salah satu penghasil beras terbesar di dunia, Indonesia juga adalah salah satu konsumen beras terbesar di dunia. Terkait hal tersebut, sebagaimana dilansir Kompas, area beras berkembang dari 11,4 juta ha pada 1995 menjadi 13,20 juta ha pada  2010, yang mewakili 24 persen dari total luas pertanian. Hasil padi meningkat sedikit dari 4,3 ton/ha pada 1995 menjadi 5 ton/ha pada 2010. Ironisnya, Indonesia kini lebih menggantungkan kebutuhan pangan melalui proses impor. International Rice Research Institut (IRRI) atau Institut Penelitian Padi Internasional memperkirakan, Indonesia akan membutuhkan 38 persen lebih beras dalam 25 tahun, yang berarti  hasil padi rata-rata kini 4,6 ton/ha harus meningkat menjadi lebih dari 6 ton/ha untuk mengisi kesenjangan[6].

Fenomena beras impor, ternyata bukan hanya terjadi saat ini. Di masa lalu, saat masih berada dalam yuridiksi kolonial, fenomena serupa telah terjadi. Asvi Warman Adam menjelaskan, Hindia Belanda mengimpor beras dari lndocina dan mengekspor minyak bumi ke sana. Keduanya termasuk yang diperdagangkan secara langsung antar kedua negara[7].

Asvi menulis, perdagangan itu dilakukan melalui transportasi taut. Tahun 1902 terdapat 70 pelabuhan di Hindia Belanda yakni 25 buah di Sumatera. 16 di Jawa, 7 di Kalimantan dan 8 di Sulawesi. Tahun 1920 jumlah dan kualitasnya meningkat dan terbagi atas tiga kategori: 1) pelabuhan utama yakni Tanjung Priok, Surabaya, Semarang, Cilacap, Belawan. Emmahaven (Padang) dan Makasar. 2) pelabuhan sekunder yaitu Cirebon, Banyuwangi, Banjarmasin, Pontianak, Bengkulu, Palembang, Manado dan Ambon. 3) pelabuhan kecil yang tersebar di seluruh Nusantara berjumlah sekitar 450 buah[8].  

Hindia Belanda mengimpor beras dari Indocina karena pertama, pertambahan penduduk. Tahun 1795, 1830, 1850. 1870 dan 1890 penduduk pulau Jawa adalah berturut-turut, 3; 7; 9,4: 16,2 dan 23,6 juta. Tahun 1905 penduduk Hindia Belanda berjumlah 37 juta. Kedua, sebagai konsekuensinya, karena hasil panen tidak mencukupi. Ketiga, terjadinya kegagalan panen akibat musim kering yang berkepanjangan. Keempat, Hindia Belanda mengekspor beras ke negeri Belanda dan terutama ke Malaysia yang merupakan kelanjutan pemasokan tradisional dari pusat produksi beras di Jawa. Kualitas beras yang diekspor (berasal dari Indramayu) itu lebih tinggi dari beras impor dari lndocina atau Burma. Tentu saja jumlah yang diekspor itu (rata-rata setiap tahunnya bemilai 10 juta franc) jauh lebih sedikit dari yang diimpor (42 juta franc)[9].

Dalam perdagangan beras ini pernah juga dilakukan deregulasi, jika sebelumnya kapal yang melayani rute Saigon-Hindia Belanda hanya bersedia mengangkut beras minimum 2000 ton, sejak juni 1914, mereka diminta untuk menurunkan persyaratan minimal itu sampai 500 ton, atas permintaan pedagang di Hindia Belanda[10].

Menurut Asvi, Batavia bukanlah satu-satunya tujuan beras lndocina tersebut, juga Surabaya, Semarang, Probolinggo dan Makasar. Bahkan tahun 1883, Surabaya paling banyak menerima beras lndocina tersebut lebih dari 1 juta pikul (senilai 1,7 juta piastre). Masih di Surabaya, bila dibandingkan harga beras asal Rangoon, Bangkok dan Saigon (dari tahun 1899 sampai 1915 ) 16 maka harga beras Bangkok yang paling tinggi[11].

Ekspor dan impor di Hindia Belanda dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah. Pelaku ekonomi yang besar-besar terdiri dari orang Eropa dan Cina. Pengusaha Cina yang terkemuka dalam perdagangan antara Hindia Belanda dengan lndocina, di antaranya Kian Gwan di Semarang. Perusahaan yang didirikan tahun 1900 ini memenangkan tender untuk memasok beras dari Indocina untuk keperluan kuli kontrak di Bangka. Di Surabaya di antaranya Chop Ho Bee yang mengimpor beras dari Rangon, Bangkok dan Saigon. Perusahaan lainnya di kota ini adalah Handel Maatschappij "Djoe Tik", yang mengimpor beras dan memiliki penggilingan padi di Surabaya dan di Cina. Di Batavia ada lebih banyak lagi importir beras di antaranya Khou Yaouw Hoen yang setiap tahunnya mengimpor beras sekitar 25 ribu pikul dari Saigon dan Rangon. Selain itu Kong Seng Bee yang selain mengimpor beras dari lndocina juga mengekspor beras dari lndramayu. >appij “Djoe Tik” yang mengimpor beras dan memiliki penggilingan padi di Surabaya dan di Cina. Di Batavia ada lebih banyak lagi importir beras di antaranya Khou Yaouw Hoen yang setiap tahunnya mengimpor beras sekitar 25 ribu pikul dari Saigon dan Rangon. Selain itu Kong Seng Bee yang selain mengimpor beras dari lndocina juga mengekspor beras dari lndramayu[12].

Sementara itu, P. Creutzberg dalam artikelnya Pasaran harga Beras di Hindia Belanda, dalam buku Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia menyebutkan, sejak 1860-an impor beras dimulai kecil-kecilan. Ada masa di mana, tarif cukai tak dipungut untuk komoditas beras. Namun, kini beras Burma tak dikenal lagi, orang Indonesia lebih kenal beras asal Thailand atau beras Vietnam[13].

Fenomena impor beras ini juga terjadi di wilayah Midden Celebes (Sulawesi Tengah). Hal ini terlihat sebagaimana laporan singkat tentang Midden Celebes periode Juli 1906, yang dipublikasikan dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 21 September 1906 menjelaskan, situasi perdagangan di Midden Celebes pada umumnya ramai. Dijelaskan saat itu kondisi di Midden Celebes tidak kekurangan makanan[14].  

Untuk komoditi beras yang diperdagangkan sendiri, tercatat ada dua jenis beras, yakni beras Siam dan beras Rangoon (Burma). Beras Siam berada pada kisaran harga 7,50 hingga 8 gulden per pikul, sedangkan beras Ranggoon berkisar di antara 6 hingga 7 gulden[15].

Merujuk pada tulisan Asvi Warman Adam, peredaran beras impor di Midden Celebes, sepertinya juga dipengaruhi oleh sejumlah alasan, misalnya hasil panen yang tidak mencukupi. Alasan ini diperkuat oleh laporan yang sama yang mencatat, di Tolitoli pada saat itu, masyarakat baru mulai mengolah tanah untuk menanam padi. Kemudian, hasil dari pertanian di Banawa dan Tawaeli juga dilaporkan mengecewakan, sama seperti di Sigi yang mengalami gagal panen karena kekeringan. Keadaan lebih baik terpantau di kawasan pertanian di lembah Palu dan di wilayah Pebato di Poso, di mana hasil panen dilaporkan sangat melimpah[16].

Dari Padi Hingga Jagung: Pertanian Masa Kolonial di Palu
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang diintervensi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, di fase awal pendudukannya di Midden Celebes, pada awal abad ke-20. Robert Weber, Wernel Kreisel dan Heiko Faust dalam Colonial Interventions on the Cultural Landscape of Central Sulawesi by "Ethical Policy": The Impact of the Dutch Rule in Palu and Kulawi Valley, 1905—1942[17] menyebutkan, intervensi ini efektif mempengaruhi struktur populasi dan budaya di Midden Celebes bagian barat, pada awal abad ke-20. Efeknya terasa dan dapat dideteksi di hampir seluruh wilayah Onderafdeeling Paloe (Palu). Secara spasial, era kolonial Belanda mempengaruhi wilayah pesisir utara dan Lembah Palu, juga wilayah Kulawi bagian selatan[18]. 

Adapun konsekuensi pemerintahan kolonial terhadap wilayah Onderafdeeling Palu pada bidang pertanian dari tahun 1905 hingga 1942, meliputi lima segmentasi. Lima segmentasi tersebut, masing-masing; regenerasi sawah lama dan pemasangan plot sawah baru, pengenalan bajak (sejak 1930), kewajiban rumah tangga untuk menanam pohon kelapa untuk menghasilkan komoditi kopra sebagai produk untuk ekspor, menggerogoti ekonomi subsisten dengan meningkatkan ketergantungan pada ekonomi produk kapitalis, serta pengenalan sistem tumpang sari (jagung di petak padi), untuk meningkatkan hasil per hektar[19]

Ketiga ilmuwan dari Departemen Geografi Universitas Gottingen ini menyebut, produksi sawah telah ada di Lembah Palu, sebelum era kolonial. Berbeda dengan Jawa atau Sumatra, produksi pertanian di wilayah tersebut, tidak melibatkan perkebunan di bawah pengaruh Belanda. Sebaliknya, struktur kepemilikan lama sebagian besar dipertahankan dan pengembalian yang dikumpulkan untuk Belanda, terutama terdiri dari kerja paksa untuk pembangunan jalan, atau melalui pemungutan pajak[20].

Pada bidang pertanian, karakter kebijakan kolonial dan terutama fokusnya pada produksi untuk ekspor, ditunjukkan di beberapa tempat. Kekuasaan kolonial memulai irigasi skala besar pada sawah tua dan perluasan total area produksi. Berbeda dengan penduduk di wilayah Poso, metode penanaman padi sudah dikenal oleh penduduk di Midden Celebes bagian barat sebelum kedatangan Belanda, seperti yang ditunjukkan oleh Francois Valentijn[21].

Mengutip Metzner, Robert Weber dkk. menyebut, pengenalan teknik sawah berasal dari imigran Bugis. Budidaya sawah juga sebelumnya telah eksis dalam tatanan adat setempat[22]. Pemerhati sejarah dari Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST), Moh. Herianto menjelaskan, orang Kaili secara historis mengenal padi tadah hujan yang mereka kenal dengan sebutan Pae. Masyarakat Kaili kata dia, menanam padi untuk dikonsumsi sendiri, bukan untuk komoditas[23].   

Untuk meningkatkan efektivitas pertanian dengan teknik sawah, Belanda mempromosikan bajak sejak 1930-an dan seterusnya, tetapi penggunaan teknik ini dinilai lambat. Kemudian, karena di banyak daerah kekurangan pasokan air, yang merupakan hambatan utama untuk perluasan cepat produksi pertanian, proyek-proyek irigasi yang ambisius seperti Fenger Petersen, dilaksanakan di wilayah sungai Gumbasa, Wuno dan Paneki, di sisi timur dataran Palu di awal 1930-an. Proyek-proyek ini, seperti proyek-proyek di daerah lain, terhambat oleh kebutuhan untuk berhemat, yang telah menyebar ke seluruh wilayah kolonial, dengan krisis ekonomi 1930-an[24]. Rencana Fenger Petersen sendiri, pada akhirnya dilaksanakan dalam skala yang lebih kecil, bertujuan mengubah seluruh area di antara sungai-sungai yang disebutkan di atas menjadi sawah[25].

Namun demikian upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi sejauh mungkin, karena dengan demikian, orang-orang dapat membuka ladang sawah dan menanam padi di tempat-tempat yang sudah tidak memungkinkan lagi ditanami, karena pengeringan aliran air secara alami[26]. Kemudian pada tahun 1924, seorang sersan ditugasi menjalin interaksi dengan orang-orang yang berbahasa Da'a di pegunungan di sebelah barat Palu. Di bawah arahannya, kompleks sawah besar diciptakan, di antara Desa Bobo dan Sidondo, untuk mendapatkan penghasilan pajak dari hasil panen[27].

Kebijakan cetak sawah baru di periode tersebut, terganggu dengan instruksi pemerintah kolonial untuk melakukan penanaman pohon kelapa. Penanaman ini dipengaruhi oleh lonjakan harga ekspor kopra. Akibatnya, setiap rumah tangga dibebankan untuk menanam 50 pohon kelapa. Perluasan sawah sendiri tetap dilakukan, untuk menjaga persediaan makanan di wilayah Residen Menado[28].

Produksi ekspor pertanian yang berhasil, dianggap sangat tergantung pada kesehatan penduduk. Penahanan epidemi dan penyakit menular, adalah salah satu target terpenting dari kebijakan kesehatan masyarakat kolonial. Obat melawan malaria, yang merupakan masalah utama di dataran rendah, dan penyakit tropis lainnya, disediakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda[29].

Jika melihat apa yang telah dituliskan oleh Weber dkk, maka dapat disimpulkan, impor beras Siam dan Rangoon yang dilakukan pada tahun 1906, lebih didasari pada upaya pemerintah kolonial untuk menjaga persediaan makanan, sembari melaksanakan kebijakannya di sektor pertanian. Terlebih, seperti apa yang dilaporkan surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 21 September 1906, produksi beras di beberapa wilayah di Onderafdeeling Palu seperti Banawa, Tawaeli dan Sigi, mengalami masalah, sementara wilayah lainnya seperti Tolitoli, baru mulai mengolah tanah untuk melakukan penanaman padi.

Kebijakan kolonial di sektor pertanian ini, juga mengenalkan masyarakat terhadap teknologi baru dalam bidang pertanian, seperti bajak dan irigasi. Dengan kondisi tanah yang subur, sebagaimana Weber dkk mengutip pendapat Hart, tentang kondisi tanah di wilayah Onderafdeeling Palu yang kelihatan sangat subur[30], proses produksi pertanian tetap menggunakan struktur kepemilikan lahan yang telah eksis sebelumnya, bukan konsep perkebunan di bawah pengaruh Belanda. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial memungut pengembalian dari sektor lain, seperti kerja paksa pembangunan jalan dan pemungutan pajak[31].    

Kebijakan pertanian kolonial yang kemudian mengikuti fenomena global, seperti lonjakan harga kopra, mengindikasikan bahwa meskipun perbaikan di sektor pertanian adalah bagian dari politik etis, pemerintah kolonial tetap berorientasi pada keuntungan finansial. Sebagai bukti, perluasan cetak sawah hanya dilakukan untuk menjaga persediaan makanan, bukan dijadikan sebagai komoditi yang memberikan keuntungan secara finansial.

Selain itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dari lahan yang dibuka, pemerintah kolonial juga memberlakukan sistem tanam tumpang sari, dengan menanam jagung di areal sawah yang telah dipanen[32]. Keuntungan finansial yang didapatkan dari kopra sendiri, tidak bertahan lama, karena pada tahun 1930, harga kopra jatuh di pasaran[33].

Kemudian, aspek deforestasi juga menjadi hambatan tersendiri bagi kebijakan pemerintah kolonial di bidang pertanian. Deforestasi sebagai akibat dari aktivitas penebangan dan pembakaran lahan untuk ladang oleh masyarakat yang bermukim di punggungan gunung, disebut menyebabkan berkurangnya air yang tersedia untuk banyak wilayah sawah di lembah. Dataran Palu yang sebelumnya subur, bahkan sebagian besar kemudian menjadi daerah kering yang ditutupi oleh kaktus. Selain itu, banjir juga mengancam ladang dan jalur sawah yang berada di lembah[34]





[1] Kumparan, Buwas: Bulog Punya Stok Beras 2,3 Juta Ton, 2020 Tak Perlu Impor Lagi, https://kumparan.com/kumparanbisnis/buwas-bulog-punya-stok-beras-2-3-juta-ton-2020-tak-perlu-impor-lagi-1sAVpasZEpg, diakses pada 7 Januari 2020, pukul 13.33. WITA.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Deni Riaddy, Ini 5 Negara Penghasil Beras Terbesar di dunia, https://money.kompas.com/read/2015/09/02/095100026/Ini.5.Negara.Penghasil.Beras.Terbesar.di.Dunia?page=all, diakses pada 7 Januari 2020, pukul 13.36 WITA.  
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Asvi Warman Adam, Arsip Perancis Mengenai Hubungan Hindia Belanda Dengan Indocina 1870—1945, dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Sub Tema Studi Komparatif dan Dinamika Regional II, Depdikbud RI, 1997, Jakarta, hlm. 305
[8] Ibid, hlm. 305
[9] Ibid, hlm. 305-306
[10] Ibid, hlm. 306
[11] Ibid, hlm. 306
[12] Ibid, hlm. 307
[13] Petrik Matanasi, Impor Zaman Kolonial: Dari Es Batu Hingga Beras, https://tirto.id/impor-zaman-kolonial-dari-es-batu-hingga-beras-c9cp, diakses pada 7 Januari 2020, pukul 14.07 WITA
[14] Midden Celebes, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 21 September 1906.
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Robert Weber, Wernel Kreisel, Heiko Faust, Colonial Interventions on the Cultural Landscape of Central Sulawesi by "Ethical Policy": The Impact of the Dutch Rule in Palu and Kulawi Valley, 1905—1942, Asian Journal of Social Science, Vol. 31, No. 3 (2003).
[18] Ibid, hlm. 412
[19] Ibid, hlm. 413
[20] Ibid, hlm. 413
[21] Ibid, hlm. 413-414
[22] Ibid, hlm. 414
[23] Wawancara dengan Moh Herianto, 7 Januari 2020, pukul 14.37 WITA.
[24] Weber, Op.cit, hlm. 414
[25] Ibid, hlm. 427
[26] Ibid, hlm.414
[27] Ibid, hlm.414
[28] Ibid, hlm.414
[29] Ibid, hlm.414
[30] Ibid, hlm.427
[31] Ibid, hlm.413
[32] Ibid, hlm.416
[33] Ibid, hlm.416
[34] Ibid, hlm.416  

Post a Comment

0 Comments