Sejak dahulu, masyarakat Suku
Kaili telah mempraktekkan pola-pola mitigasi bencana, berdasarkan pengetahuan
lokal yang mereka miliki. Pengetahuan lokal ini, terejahwantahkan lewat tradisi
lisan yang berkembang di masyarakat, yakni tutura (bertutur), yang telah
diwariskan dalam masyarakat Kaili, dari generasi ke generasi.
Adapun pengetahuan lokal tersbeut
meliputi sastra lisan seperti dadendate, kayori, kemudian penamaan tempat
berdasarkan nama tumbuhan/hewan, peristiwa alam, tipologi lahan, serta
peristiwa sejarah, serta pengetahuan tentang pertanda dari alam, misalnya
hewan.
Terkait pertanda dari alam,
khususnya hewan, Peneliti dari Komunitas Muda Peduli Hutan (Komiu), GIfvents
Lasimpo, mendokumentasikan sejumlah informasi menarik. Informasi tersebut
dituangkannya dalam makalah presentasinya berjudul Mitigasi Bencana Berbasis
Pengalaman Masyarakat Kaili di Lembah Palu, yang dipresentasikan pada kegiatan
Tesa Ntodea yang dilaksanakan Komunitas Bela Indonesia (KBI) Chapter Sulteng,
Februari lalu.
Dalam makalah tersebut, Gifvents
menjelaskan, salah satu hewan yang menjadi penanda kabar pada masyarakat Kaili
adalah burung. Salah satu jenis burung yang dipercaya membawa kabar atau
pertanda, berdasarkan keyakinan masyarakat Kaili, adalah burung Cekakak Sungai.
Dilansir dari Wikipedia, Cekakak
sungai atau dalam bahasa Latin disebut Todirhamphus chloris, adalah spesies burung
dari keluarga Alcedinidae, dari genus Todirhamphus. Burung ini
merupakan jenis burung pemakan kadal, serangga besar, katak, ulat, cacaing yang
memiliki habitat di daerah terbuka dekat perairan, kebun, kota, tepi hutan,
tersebar sampai ketinggian 1.200 mdpl.
Cekakak sungai memiliki tubuh
berukuran sedang, yakni sekitar 24 cm. burung ini memiliki warna biru dan putih,
dengan mahkota, sayap, punggung, dan ekor berwarna biru kehijauan berkilau terang,
serta strip hitam melewati mata. Kerah dan Tubuh bagian bawah putih bersih.
Iris coklat, paruh atas abu tua, paruh bawah pucat, kaki abu-abu.
Burung ini bertengger pada
bebatuan atau pohon. Adapun Cekakak Sungai tergolong jenis burung yang angat ribut,
suara keras hampir terdengar sepanjang hari. Sarang Cekakak Sungai berupa
galian di bawah pohon atau tepi sungai. Burung ini berkembang biak bulan
Maret-Juni, September-Desember. Adapun penyebaran burung ini tersebar di Asia
Selatan, Asia Tenggara, Australia, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi,
Maluku, serta Papua.
Dalam makalah tersebut, Gifvents
menjelaskan, hampir di seluruh
wilayah Lembah Palu,
berdasarkan keyakinan masyarakat Kaili, Cekakak Sungai dalam bahasa lokal sering disebut dengan sebutan Seko, Tengke, Pepate, atau Papate.
Masyarakat Suku Kaili
berkeyakinan, jika burung tersebut
terbang dan bersuara menyambar atap rumah, burung tersebut diyakini membawa kabar yang tidak baik. Sehingga masyarakat Kaili, sejak dahulu telah mengetahui tanda-tanda akan ada
kejadian buruk yang menimpa mereka. Adapun kabar buruk tersebut, biasanya sering dikaitkan dengan kabar kematian
atau kejadian buruk lainnya.
Penggiat Masyarakat Adat, Arman
Seli, dalam hasil penelusurannya tentang Tonji Seko di Desa Tuva, Kecamatan
Gumbasa menyebutkan, Mangge Kose (50) yang merupakan masyarakat Kaili komunitas
Da’a, saat ditemuinya di tempat pengungsian Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa,
Kabupaten Sigi, Desember 2018 lalu, menceritakan tentang pertanda dari burung
tersebut di lokasi pemukiman komunitas mereka. Mangge Kose menceritakan,
dirinya bersama warga lainnya, mendengar Tonji Seko di sekitar pemukimannya di Bulu
Kondo, nama sebuah gunung dan hutan di dekat kampung, beberapa hari sebelum
terjadi gempa, likuifkasi dan tsunami, 28 September 2018. Dirinya mengisahkan,
di sekitar perkampungan mereka, terdengar ramainya Tonji Seko (Cekakak Sungai),
bersahutan dan menyambar banyak atap rumah warga. Fenomena tersebut menurut
kepercayaan mereka, adalah pertanda bahwa akan ada musibah besar yang terjadi.
“Naria tonji seko nomoni, kana
nariamo inga kami. Nuapa tomajadi.? (Ada Burung Seko (Cekakak Sungai) berbunyi,
membuat kami waspada. Apa yang terjadi?),” ujar Mangge Kose, dalam tulisan
Arman Seli yang telah dimuat di website sulteng.aman.or.id tanggal, 4 Desember
2018 dengan judul “Berkenalan Dengan Suku Da’a di Bulu Kondo” sebagaimana
dikisahkan kembali oleh Gifvents.
Pasca bencana, Mangge Kose
mengatakan, walaupun rumah mereka rusak, namun mereka bersyukur karena semuanya
selamat. Hal itulah kata dia, yang menjadi sebuah kesyukuran, karena Tuhan
masih menolong mereka.
“Sou kami ri kondo nagero pura,
tapi nasikuru kami da’a ria nakuya (rumah kami rusak di Kondo, tetapi syukur
kami baik-baik saja),” lanjutnya.
Arman menuliskan, menurut Mangge
Kose Tonji Seko (Cekakak Sungai), seakan menjadi alarm bencana alam dan pembawa
kabar buruk. Adapun kepercayaan tersebut, telah turun temurun dititipkan kepada
mereka.
1 Comments
Sip...
ReplyDelete