FOTO: KHST |
Sejarah pers di Sulawesi Tengah
(Sulteng), tidak bisa dilepaskan dari sejumlah tokoh pionir peletak dasarnya.
Sejarah mencatat, H Moh Arsjad Intje Makkah sebagai tokoh pionir pers di
Sulteng, di mana dirinya adalah orang Sulteng pertama yang menerbitkan surat
kabar lokal di Sulteng, khususnya di lembah Palu.
Pada tahun 1935, H Moh Arsjad
Intje Makkah menerbitkan surat kabar Zamroed Palu yang hanya bertahan setahun. Setelah
Zamroed Palu tutup usia karena kelakuan pembacanya yang ‘mau baca tapi tidak
mau bayar’, H Moh Arsjad Intje Makkah menerbitkan surat kabar Penjedar yang
bertahan hingga 1938. Setahun berikutnya, salah seorang pionir pers lainnya di
Sulteng, Horas Siregar, menerbitkan surat kabar Penerangan yang bertahan sampai
tahun 1940.
Tahun 1940, Horas Siregar dan H
Moh Arsjad Intje Makkah bersama-sama menerbitkan surat kabar Pedoman Baroe yang
terbit hingga 1941. Pedoman Baroe sendiri dikenal sebagai surat kabar yang
kerap melncarkan kritik tajam terhadap penjajahan. Salah satunya adalah tulisan
Horas Siregar di surat kabar tersebut, yang berjudul Tentara Jepang Lebih Buas
Dari Binatang pada tahun 1941, setahun sebelum pendudukan Jepang. Surat kabar
yang berisi tulisan tersebut ditemukan oleh pemerintah pendudukan Jepang
setahun kemudian dan karena tulisan tersebut, Horas Siregar dan pimpinan
Redaksi Pedoman Baroe dipanggil menghadap pemerintah Jepang dan sebagai
konsekuensi, keduanya ditahan selama empat hari di penjara Maesa dan dibebaskan
bersyarat setelah dipaksa menandatangani perjanjian kesetiaan dengan pemerintah
Jepang.
Pedoman Baroe sendiri tutup usia
pada tahun 1941 karena kerusakan mesin stensil yang digunakan untuk mencetak. Di
surat kabar pertama di Sulteng yang terbit secara mingguan dengan isi lima
halaman tersebut, H Moh Arsjad Intje Makkah menjadi pemimpin redaksi, dengan
Horas Siregar sebagai wakilnya.
Selama masa pendudukan Jepang hingga
1945, usaha penerbitan surat kabar terhenti. Pasca kemerdekaan, Horas Siregar
kembali menunjukkan kegigihannya dalam merintis usha penerbitan surat kabar. Tiga
tahun pasca kemerdekaan atau tahun 1948, Horas Siregar menerbitkan surat kabar
Tjahaja yang terbit hanya sampai tahun 1949, karena masalah klasik yang menerpa
dunia usaha penerbitan surat kabar di Sulteng sejak zaman kolonial Belanda, yakni
ketiadaan mesin cetak dan mesin stensil. Tjahaja sendiri menjadi satu-satunya
surat kabar di Sulteng yang tercatat dalam buku Sejarah Pers Nasional dan
Pembangunan Pers Pancasila karya Tribuana Said.
Tahun 1949, Horas Siregar dan H
Moh Arsjad Intje Makkah berkolaborasi menerbitkan Soeara Sulawesi Tengah yang
bertahan hingga 1950. Soeara Sulawesi Tengah merupakan surat kabar pertama yang
menggunakan nama Sulteng, meskipun saat itu Sulteng belum menjadi wilayah
provinsi yang berdiri sendiri dan masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi.
Soeara Sulawesi Tengah sendiri
terbit dengan frekuensi mingguan, dengan jumlah halaman bervariasi antara 10-20
halaman, dengan oplah 100-250 eksemplar. Meski terbit stensilan, Soeara
Sulawesi Tengah menjadi satu-satunya surat kabar yang memuat peristiwa
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949,
yang disambut sukacita oleh masyarakat Kota Palu dengan menggelar upacara bendera
di lapangan Hombo (sekarang Bundaran Nasional), yang dihadiri sejumlah tokoh,
seperti SIS Aldjufri dan Laparendrengi Lamarauna.
Hanya mampu bertahan satu tahun,
Soeara Sulawesi Tengah tutup usia pada 1950. Kemudian pada tahun 1952, Horas
Siregar menerbitkan surat kabar Sulawesi, yang terbit hingga tahun 1961.
Siapa Horas Siregar?
Horas Siregar sendiri dikenal
sebagai salah seorang jurnalis yang enerjik di masanya. Ia diketahui datang ke
Palu pada tahun 1937. Anak tunggal Horas Siregar, yakni Silvana Siregar,
menyebut sang ayah berasal dari Pargarutan, Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. Sebelum pindah ke Palu, Horas Siregar berkecimpung di dunia jurnalistik
di daerah Pulau Laut, Kota Baru, Kalimantan Selatan.
Salah seorang tokoh pers di
Sulteng, Rusdi Toana menyebut, tajamnya tulisan Horas Siregar yang sering
menghantam Pemerintah Kolonial Belanda, membuat Horas dimata-matai pemerintah
kolonial. Keadaan ini membuatnya pindah ke Palu untuk menghindari penangkapan
oleh pemerintah kolonial.
Tokoh pers Sulteng lainnya,
Nungtji H Ali, menyebut sosok Horas Siregar sebagai pribadi yang tekun. Dirinya
mengisahkan jika Horas Siregar setelah selesai mencari berita, langsung
menuliskannya, lalu kemudian diketik, meskipun harus diketik di atas gerobak. Ketekunan
ini juga diliaht dari fakta bahwa Horas Siregar adalah wartawan tunggal di
surat kabar Penerangan, yang ia bangun seorang diri.
Horas Siregar sendiri diketahui
bermukim di kawasan Kampung Udjuna (kini Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat), tidak
jauh dari lokasi Jembatan I Palu atau kini di sekitaran Jalan Gajah Mada. Kediamannya ini juga digunakan sebagai kantor surat kabar mingguan Sulawesi, sebagaimana tercantum dalam halaman depan surat kabar tersebut, sebagaimana terlihat dalam arsip salah satu edisi surat kabar tersebut yang kini disimpan oleh Komunitas Historia Sulawesi tengah (KHST). Tidak
banyak informasi yang didapatkan mengenai sampai kapan dirinya menetap di lokasi
tersebut.
Horas Siregar dan Kontroversinya
Satu hal yang menurut saya cukup
kontroversial dari sosok Horas Siregar, selain karena tulisan-tulisannya yang
tajam sebagai kritik pada penjajahan, baik di masa Kolonial Belanda maupun
pendudukan Jepang, adalah aktivitas politiknya. Sejarawan Universitas Tadulako,
Wilman Darsono Lumangino, mengidentifikasi sosok satu ini sebagai aktivis
Partai Sosialis Indonesia (PSI) besutan Sutan Sjahrir. Namun, Wilman juga
menemukan indikasi, Horas Siregar merupakan eksponen Murba (Musyawarah Rakyat Banyak),
yang diinisiasi oleh Tan Malaka.
Keterlibatan di PSI dan Murba
inilah yang menurut penulis, menjadikan nama Horas Siregar masuk dalam daftar tahanan
politik (tapol) yang dikeluarkan oleh pihak militer, dalam hal ini Komando
Distrik Militer 1306 Palu. Namun, penulis belum menemukan fakta, terkait
bagaimana nasib Horas Siregar pasca tragedi 1965, apakah tetap bebas
berkeliaran, ditangkap kemudian ditahan, seperti yang dialaminya di masa
pendudukan Jepang, atau malah mengulangi kisah pelariannya, seperti yang
dilakukannya ketika memutuskan hijrah ke Kota Palu tahun 1937? Satu hal yang
pasti, dengan kisahnya merintis usaha penerbitan surat kabar di Sulteng mulai
dari masa kolonial hingga masa Orde Lama, serta dengan tipikal sebagai jurnalis
pergerakan dengan ketajaman pena yang mengupas kekejaman penjajahan, Horas
Siregar pantas didaulat sebagai salah satu tokoh pionir pers di Sulteng.
Sumber Tulisan:
1 1. Buku
karya Idrus Rore, Dari Zamroed Palu Hingga Mercusuar: Sejarah Pers di Sulawesi Tengah 1935-1995.
2. Wawancara
dengan Wilman Darsono Lumangino, November 2018.
3. Laporan
Verifikasi Data Korban 65/66 di Palu, oleh SKP-HAM Sulteng.
4. Arsip koran mingguan 'Sulawesi' edisi 1 Agustus 1955, koleksi KHST
4. Arsip koran mingguan 'Sulawesi' edisi 1 Agustus 1955, koleksi KHST
0 Comments