Tidak ada sesuatu terjadi secara
yang kebetulan. Ungkapan ini setidaknya menggambarkan apa yang saya dan
sejumlah orang yang dekat dengan saya alami, sebelum dan beberapa saat bencana
gempa bumi dan tsunami melanda wilayah Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten
Donggala, 28 September lalu.
Sabtu (22/9/2018), atau seminggu
sebelum bencana dahsyat tersebut, gempa bumi berkekuatan 5.1 skala richter (SR)
mengguncang wilayah Kota Palu dan sekitarnya, pada pukul 07.20 WITA. Saat itu,
saya dan teman sekamar di kamar nomor 116 di sebuah hotel di kawasan Lolu
Selatan, Kecamatan Palu Timur, tersentak kaget terbangun dari tidur. Hari itu,
hari kedua dari keseluruhan empat hari jadwal pelatihan juru bicara Pancasila
oleh Komunitas Bela Indonesia dan Institut Sikola Mombine yang kami ikuti.
Tak ada firasat apapun setelah
gempa ini terjadi dan kehidupan di Kota Palu, tetap berjalan seperti biasa.
Enam hari kemudian, bertepatan dengan hari ulang tahun (HUT) ke-40 Kota Palu,
Kamis (27/9/2018) malam, Warkop PINBUK yang beralamat di Jalan Sam Ratulangi,
Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, menggelar sebuah forum diskusi dengan
tema yang tidak biasa, Fenomena Gempa di Sulawesi Tengah dan Kesiapan Kita.
Diskusi ini menghadirkan dua
narasumber, masing-masing ahli Fisika Bumi di Universitas Tadulako (Untad), Drs
Abdullah, MT, serta Kepala Seksi Data dan Informasi Kantor BMKG Stasiun
Geofisika Kelas I Palu, Hendrik Leopatty, S.Si. Setelah menjelaskan panjang
lebar soal sejarah gempa bumi dan tsunami di wilayah Sulteng beserta dampaknya,
lalu kemudian soal bagaimana langkah-langkah yang dapat dilakukan masyarakat
saat bencana terjadi, keduanya bersepakat, Masyarakat di Kota Palu khsusunya
dan Sulteng pada umumnya, membutuhkan pengetahuan dan informasi yang benar,
terkait potensi gempa dan tsunami di wilaya Kota Palu dan Sulteng secara umum.
Hal ini kata mereka sangat penting, agar masyarakat dapat benar-benar sigap dan
bereaksi dengan benar, saat bencana terjadi.
Tak ada firasat apa-apa dari kami
yang menjadi peserta diskusi, bahwa apa yang kami bahas malam itu, akan kami
alami keesokan harinya. Keesokan harinya, Jumat (28/9/2018) sore, sekira pukul
14.00 WITA, saya dan beberapa kawan di Komunitas Historia Sulawesi Tengah
(KHST) menginisiasi diskusi di Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota
Palu, di lantai dua gedung kompleks Pasar Bambaru, Kelurahan Baru, Kecamatan
palu Barat, dengan tema Benarkah Usia Kota Palu Masih 40 Tahun?.
Dalam diskusi yang diinisiasi
dalam rangka memperingati HUT ke-40 Kota Palu ini, saya diminta menjadi pematik
diskusi. Dengan slide power point yang sudah saya siapkan, saya memantik
diskusi tentang sejarah penamaan Palu dari berbagai versi seperti Volovatupalu
(sejenis tanaman bambu yang merambat yang banyak tumbuh di kawasan Kecamatan
Mantikulore dan Besusu), Topalue (tanah yang terangkat), Hau ri Palu
(penyebutan orang Tawaeli jika hendak ke arah selatan), serta versi asing
seperti Parlow (penyebutan oleh David Woodard) dan Palos (nama yang tertera
dalam stempel Kerajaan Palu). selain membahas hal tersebut, kami juga membahas
opsi untuk mengkaji kembali usia Kota Palu
dari berbagai perspektif peristiwa, seperti kedatangan Dato Karama pada
tahun 1605, peristiwa Kapapu Nu Kayumalue tahun 1888 sebagai tonggak perlawanan
terhadap kolonial, hingga momen pembacaan Maklumat 6 Mei 1950, tentang
pembubaran Kerajaan Palu dan integrasi ke NKRI.
Dalam diskusi yang berkembang
semakin menarik tersebut, sejumlah peserta diskusi menanyakan soal sejarah
gempa bumi di Sulteng, khususnya Kota Palu. saat itu, jam di gawai saya menunjukkan
sekira pukul 17.00 WITA. dua jam sebelumnya, saat awal diskusi, kami diguncang
gempa berkekuatan 5.9 SR, yang berpusat di 8 km barat laut Donggala, yang
ternyata berada di Desa Oti, Kecamatan Sindue Tobata, Kabupaten Donggala. Saat
gempa terjadi, peserta diskusi berhamburan keluar gedung, sebagian tetap
bertahan di lokasi diskusi di lantai dua, sebagian memilih turun ke bawah
mencari lokasi terbuka. Saat diskusi dilanjutkan kembali, 28 menit kemudian
atau pukul 15.28 WITA, kami kembali berhamburan keluar karena diguncang gempa
berkekuatan 5.0 SR dengan pusat gempa 10 km arah timur laut Donggala. Saat itu,
beberapa teman yang ikut dalam diskusi sudah punya perasaan tidak enak, karena
dalam waktu kurang dari setengah jam, kami digoyang oleh gempa berkekuatan
lebih dari 5 SR. sejumlah teman yang berasal dari wilayah yang dekat dengan
lokasi pusat gempa, bergantian menelpon sanak keluarga mereka di sana. Dari
masing-masing sambungan telepon, terkabar, warga di kawasan pantai barat
Kabupaten Donggala, sejak gempa pukul 15.00 WITA tersebut sudah mengungsi ke
arah gunung. Dan kami saat itu, tetap pada posisi tidak ada firasat apapun
bahwa dalam beberapa saat kemudian, akan mengalami sesuatu yang tidak bisa
digambarkan dengan kata-kata.
Pukul 16.25 WITA, kami kembali
diguncang gempa. Kali ini berkekuatan 5,3 SR dengan pusat gempa 11 km arah
timur laut Donggala, atau hampir sama dengan pusat gempa sejam sebelumnya.
Perasaan makin tidak enak namun nalar kami tidak kuasa meraba, apa yang akan
terjadi kedepannya.
Diskusi soal gempa terus kami
lanjutkan, dengan modal materi slide power point yang kami dapatkan dari
diskusi sehari sebelumnya di Warkop PINBUK. Saat diskusi memasuki fase
mendekati akhir, sesuatu di luar nalar kami kembali terjadi. Kali ini bukan
lagi gempa bumi, tapi jatuhnya salah satu pigura foto di salah satu ruang
pameran Diorama Sejarah Kota Palu di kantor tersebut. Istri saya yang duduk
menghadap ke ruangan tersebut, melihat langsung pigura itu jatuh.
Kami seketika terdiam, karena di
ruangan tersebut, tidak ada hembusan angin, dan pigura tersebut sebelumnya
diikat dengan tali agar melekat di dinding ruang pamer tersebut. Penasaran
dengan pigura yang jatuh, saya pun masuk dalam ruang pameran tersebut dan
mengambil pigura yang jatuh.
Sampai di ruang pamer, saat
hendak mengambil pigura yang jatuh tersebut, saya tersentak kaget, seolah tidak
percaya melihat pigura yang jatuh tersebut. Saya membatin, mengapa dari sekian
banyak pigura yang ada, pigura ini yang jatuh. Pigura yang jatuh tersebut,
berisi sejumlah potongan surat kabar berbahasa Belanda, yang memuat berita
tentang perisitawa gempa bumi dan tsunami yang melanda Teluk Palu, 20 Mei 1938
dan wilayah Teluk Tomini 23 Mei 1938 atau tiga hari setelahnya.
Saya
pun membawa pigura itu keluar dari ruang pameran dan memperlihatkannya kepada
para peserta diskusi. Sontak aura cemas dan perasaan tidak enak menyelimuti
kami. Sebagian terdiam hening tanpa suara, mencoba meraba nalar apa yang akan
terjadi. Sekira lima menit kemudian, di saat kami masih berpikir keras apa
maksud dari pertanda ini, bencana telah menghampiri kami. Tepat pukul 18.02
WITA, gempa bumi berkekuatan 7.4 SR mengguncang, membuat kami yang berada di
dalam ruangan tersebut berhamburan mencari cara menyelamatkan diri. Saya
sendiri dengan tergopoh-gopoh, susuah payah meraih tiang di dekat tangga menuju
lantai satu, mencoba bertahan dari guncangan, seraya pasrah jika Tuhan
menghendaki gedung yang kami gunakan untuk diskusi tersebut ambruk. Syukur
Alhamdulilah, guncangan dahsyat tersebut memberikan jeda waktu bagi kami untuk
turun menyelamatkan diri. Sampai di bawah, dengan napas terengah-engah, saya
membatin, kami sudah diberikan tanda sejak malam diskusi di warkop PINBUK,
hingga saat jatuhnya pigura berisi berita gempa dan tsunami tahun 1938 tersebut.
Namun, nalar kami tak mampu menggapai pesan yang hendak disampaikan sang
pencipta tersebut. Satu kesyukuran yang sangat kami syukuri, kami masih
diberikan kesempatan hidup, untuk menceritakan dahsyatnya dampak bencana ini
kepada generasi selanjutnya, sebagai pelajaran bagi kami dan mereka, untuk
selalu mawas diri dan menyadari, tidak ada daya dan upaya, melainkan atas
kehendak-Nya***
1 Comments
Terimakasih bung , Terimakasih informasinya. Info asal usul palu termasuk hal baru untuk saya. Kedepannya semoga kita yang selamat menjadi siap dan siaga bila gempa terjadi.
ReplyDelete