Ada hal menarik pasca bencana gempa
bumi, tsunami dan likuifaksi yang melanda wilayah Kota Palu, Kabupaten Sigi,
dan Kabupaten Donggala. Sebagian wilayah di kawasan Pantai Talise yang sempat
ditimbun untuk proses reklamasi, kembali seperti semula.
Wilayah pantai yang kembali
seperti semula ini, menyajikan fenomena menarik. Tidak jauh dari lokasi kawasan
penggaraman pantai Talise, di bekas kawasan reklamasi tersebut, nampak berdiri
sejumlah tiang pancang bekas dermaga. Warga yang kebetulan melewati kawasan
tersebut, dibuat heran dengan kemunculan sejumlah tiang pancang ini.
Siapa nyana, tiang pancang
tersebut merupakan tiang pancang bekas dermaga pelabuhan Limbuo yang telah eksis
sejak zaman kolonial. Koordinator Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST),
Moh Herianto, Sabtu (27/10/2018), membenarkan hal tersebut.
Menurut Anto, sapaan akrabnya,
setelah tim KHST melakukan penelusuran dan mencocokkan dengan arsip foto
dermaga Limbuo tahun 1920an serta cerita dari sejumlah narasumber yang mengetahui
cerita tentang dermaga tersebut, dipastikan tiang pancang tersebut adalah tiang
pancang dermaga Limbuo.
“Dermaga ini eksis pada medio
1920an. Hal ini dapat dilihat dari foto karya seorang fotografer asal Belanda, HF
Tillema, dengan latar sebuah bentangan alam berupa teluk dan gunung yang
menjulang, dengan keterangan pada metadata fotonya ‘overdekte boot en een prauw
met een overdekte aanlegplaats bij steiger te Paloe Celebes’ (perahu tertutup
dan perahu dengan tempat berlindung di dermaga Palu, Celebes). Adapun tahun
pengambilannya tertulis sekitar tahun 1920-1925,” jelas Anto.
Dermaga kayu dalam foto ini kata
Anto, turut menjadi korban saat bencana gempa bumi dan tsunami melanda kawasan
teluk Palu, 1 Desember 1927. Kata dia, pasca bencana tersebut, kemungkinan
tiang pancangnya diganti dengan tiang pancang berbahan besi.
Dermaga dengan tiang pancang besi
ini, diperkirakan tetap beroperasi hingga akhir 1960an. Andi Alimuddin Rauf,
salah seorang tokoh masyarakat Kota Palu mengisahkan, sekitar tahun 1968, saat masih
duduk di bangku SD, dirinya pernah naik kapal motor ke Donggala (Banawa), berangkat
dari pelabuhan Limbuo tersebut.
“Letaknya kalau tidak salah,
persis di dekat jembatan yang ada di pantai Talise itu. Waktu itu, saya bersama
ayah saya yang merupakan salah sseorang anggota DPRD Donggala saat itu, ikut
rombongan Bupati Donggala saat itu, Azis Lamadjido, bersama Ketua DPRD Donggala.
Di kapal motor itu, hanya saya dan Rudi Lamadjido, anak kecil yang turut dalam
rombongan itu. Saat itu, banyak perahu yang berlabuh di sekitar dermaga itu,”
kenangnya.
Pintu Gerbang Komoditi Garam
Dermaga Limbuo ini pada masa
jayanya, sekitar tahun 1920an, merupakan pintu gerbang lalu lintas perdagangan
di kawasan Teluk Palu. Sejarawan Universitas Tadulako (Untad), Moh Sairin
menjelaskan, Dulu Pelabuhan Limbuo ini rutin disinggahi kapal motor milik
Koninklijk Paketvaart Matschappij (KPM), semacam PELNI di zaman kolonial. Menurutnya,
salah satu ekspor utama dari Palu adalah garam, bahkan dulu ada gudang penyimpanan
garam yang berdiri di dekat pelabuhan tersebut.
Aktivitas pengolahan garam di
kawasan teluk Palu, telah berlangsung cukup lama. Idrus A Rore dalam
tulisannya berjudul Sistem Sosial dan Peranan Ekonomi Kota Palu menjelaskan, pengolahan
garam di kawasan teluk Palu telah dimulai pada masa pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
Pada masa itu, salah
satu komoditi perdagangan yang paling menonjol adalah garam. Ada dua tempat
produksi garam pada Onderafdeeling Palu yaitu di Limbuo (Talise) dan
Tonggo (Silae). Di antara kedua tempat yang memproduksi garam tersebut, Limbuo
merupakan yang paling produktif, sedangkan tambak garam yang ada di Tonggo,
sejak tahun 1924 sudah mulai terabaikan oleh para pembuat garam, karena adanya
tanaman kelapa di sekitar pantai Tonggo, sehingga pemilik kelapa keberatan atas
usaha pembuatan garam tersebut.
Pemerintah kolonial sendiri menurut
Idrus, tampaknya lebih memberikan perhatian terhadap Limbuo, karena dari hasil
pembuatan garam, Onderafdeeling Palu dapat meraup keuntungan sebagai
kas pemerintah. Selama periode 1921-1925, Limbou berhasil memproduksi
garam masing-masing; 7.229 pikul, 14.007 pikul, 14.941 pikul 5.825 dan 10.572
pikul.
Terlihat jelas bahwa terjadi
penurunan produksi garam Limbuo pada tahun 1924. Penurunan yang sangat tajam
ini, dipengaruhi oleh cuaca yang lembab selama periode 1924. Di samping
itu, sebelum tahun 1924, para pembuat garam Limbou masih mencapai 100 orang
namun turun hingga 50% pada tahun 1924.
Adapun dalam tulisan tersebut,
Idrus menjelaskan, harga garam dari para pembuat garam, ditetapkan f.1,25
per pikul. Sementara itu dari gudang garam Palu ke perusahaan dagang
Borneo-Sumatera, ditetapkan dengan harga f.3,60 perpikul.
Adanya perusahaan yang melakukan
ekspor garam ke berbagai daerah di Indonesia, menunjukkan garam merupakan salah
satu komoditi andalan dalam perdagangan di Palu. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan Belanda memberikan perhatian yang besar terhadap tambak garam Limbuo, termasuk
menentukan secara monopoli perusahaan yang diberikan kontrak untuk mengekspor
garam.
Pengusaha etnis Cina di Palu
maupun Donggala, sebenarnya juga tertarik melakukan kontrak penjualan garam ke
daerah lain, tapi sampai tahun 1925, Belanda tidak memberikan ijin kepada
pengusaha Cina. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 15
Pebruari 1933, usaha garam Talise diambil-alih oleh pemerintah dan kemudian
dihentikan. Para pembuat garam menerima ganti rugi dengan hasil bruto selam
lima tahun.
Setelah
kemerdekaan, usaha garam mengalami perkembangan, sehingga dapat
mencukupi kebutuhan lokal dan sekitar lembah Palu. Usaha garam ini sampai
sekarang masih tetap bertahan dalam kepungan perkembangan pariwisata (pantai)
dan pembangunan pertokoan serta perumahan. Tambak garam Limbou sudah terjepit
di bagian barat dan selatan oleh pariwisata, di bagian timur oleh
menjamurnya pertokoan dan di bagian utara telah dijepit oleh pembangunan
perumahan.
Kini, pasca bencana 28 September
2018, tambak garam di kawasan Limbuo (kini Talise), berada dalam kondisi rusak
parah dan menjadikan kawasan penggaraman yang telah eksis sejak 1920an, bahkan jika
ditelusuri lebih jauh sejak abad 17 ini, berada di titik nadir***
3 Comments
Luar biasa Artikelnya ka, sangat informatif.
ReplyDeleteKereen info yg langkah ttg sejarah palu. Izin le tulisanya boleh sy jadikan narasi di cannel youtubeku.
ReplyDeletesilahkan
Delete