Meraba Baca Lewat Bunyi: Mempertegas Entitas dan Identitas To Kaili

Meraba Baca Lewat Bunyi: Mempertegas Entitas dan Identitas To Kaili

Hari ini, Selasa (1/11/2016), Sanggar Salibow Ensamble dan Kaili Bangkit menginisiasi sebuah pertunjukan seni kultural bertajuk “Meraba Baca Lewat Bunyi”. Pertunjukan yang menghadirkan sejumlah seniman dan budayawan Kota Palu ini, digelar di Bantaya Cinta Kaili Bangkit, Lrg. Lompio, Jalan Anoa, Kelurahan Tatura Utara, Kecamatan Palu Selatan.
Pimpinan Kaili Bangkit, Ashar Yotomaruangi, Senin (31/10/2016) mengatakan, inisiatif pertunjukan “Meraba Baca Lewat Bunyi” ini lahir dari sebuah keinginan untuk menggelar sebuah pertemuan sederhana, untuk kembali menjalin slilaturahmi antara para pegiat budaya di Kota Palu. Menurut Ashar, dalam pertunjukan ini, pihaknya ingin agar momen silaturahmi ini paripurna, bukan hanya di kalangan pegiat budaya saja, tetapi juga kalangan lainya seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), komunitas, serta pihak-pihak terkait lainnya.

“Konsep kegiatannya, ada pembacaan puisi, orasi dan pertunjukkan musik. Selain itu ada pameran buku, serta perkenalan dari teman-teman Palu Perlu yang baru saja merilis album kompilasinya,” jelas Ashar.


Pertunjukan “Meraba Baca Lewat Bunyi” ini menghadrikan sejumlah seniman dan budayawan Kota Palu seperti Emhan Saja, Neni Muhidin, Sanggar Seni Senar, Sinjaleva Palu Perkusi, Pedati, Kelornesia, serta Salibow Ensamble. Emhan Saja mengatakan, dalam pertunjukkan tersebut, mereka akan berkolaborasi dan mengeksplor bagaimana tubuh bisa menjermahkan bunyi, kata diterjemahkan ke bunyi, bunyi diterjemahkan ke kata, kata menjadi bunyi dan bunyi menjadi tubuh, serta bagaimana tubuh yang mentransfer bunyi dan kata.

Menerjemahkan konsep yang penuh makna filosofis tersebut, pentolan Front Pemuda Kaili (FPK), Saiful Aziz mengatakan, konsep ini terkait dengan budaya To Kaili (orang Kaili) yang non aksara, sehingga orang Kaili tidak melakukan bacaan lewat tulisan namun lewat tuturan dan bunyi. Jika ditelisik lebih jauh, bunyi yang didefinisikan dalam kultur Kaili, merupakan bunyi pembangun moral lewat sejumlah sarana kultur kesenian seperti Vaino, Vae, Vadi, Raego.

“Semuanya merupakan bunyi yang merupakan kidung penyemangat untuk pembobotan akhlak generasi Kaili selama turun-temurun, sebelum masuknya aksara di tanah Kaili,” jelasnya.

Lanjut Ipul, sapaan akrabnya, bunyi-bunyi ini merupakan instrumen pencerahan, yang dalam  pengejahwantahannya, menjadi kekuatan sugesti moral.

Pemerhati budaya yang juga pentolan FPK, Dasmin Lamasiara mengatakan, bunyi dalam konteks kultur Kaili, merupakan representasi atau penanda dari identitas dan entitas kulturalnya. Bebunyian menurutnya merupakan sarana/wadah untuk menjelaskan sebuah fenomena. Dirinya mencontohkan kudode atau doku-doku (kentungan), yang dibunyikan oleh masyarakat Kaili di masa lalu saat terjadi fenomena gerhana.

Menurut Ipul, pertunjukan “Meraba Baca Lewat Bunyi” ini memiliki tujuan bersatu untuk membunyikan bunyi positif tentang moral agama dan kebiasaan positif To Kaili yang harus kembali dibangkitkan. Pertunjukan ini juga menurutnya mempertegas ideologi serta mempertegas entitas dan identitas To Kaili, dalam keberpihakannya terhadap pembangunan yang bermartabat dan bermoral.

Sementara itu, Ketua Pospera Sulteng, Aim Ngadi mengatakan, upaya pelestarian kearifan lokal seperti yang dilakukan oleh Kaili Bangkit ini, penting dalam mengawal nawacita Presiden RI, Joko Widodo tentang kebudayaan. Menurutnya, Pospera Sulteng sangat mengapresiasi pelaksanaan pertunjukkan ini sebagai momen kebangkitan masyarakat Kaili secara kultural.

Hal yang sama juga ditegaskan pimpinan Unde Community, Dedi irawan. Menurutnya, kegiatan budaya dan kesenian dalam banyak tradisi bangsa-bangsa, merupakan media yang baik untuk menyadarkan orang.

“Dulu di China, rakyat menggelar pentas teater yang mengundang raja untuk menyaksikan, dengan maksud menyindir kebijakan sang raja. Menyaksikan pentas teater tersebut, raja tertawa dan bertepuk tangan, namun, setelah pulang dan hendak tidur, ia baru sadar ternyata dirinya yang disindir dalam pentas teater tersebut,” jelasnya.

Menurut Dedi, kegiatan kesenian dan kebudayaan merupakan sarana untuk membangun kesadaran bangsa, sekaligus media berkonsolidasi dan bersilaturahmi. Melalui pertunjukan ini, Kaili Bangkit ingin menyampaikan, kebudayaan Kaili punya nilai yang sangat universal yang jika dipraktekkan, akan menciptakan kehidupan yang lebih baik kedepannya.

“Kadang kita butuh mundur ke belakang untuk melangkah lebih jauh. Pertunjukan ini tidak sekedar untuk memperkenalkan tradisi Kaili, tetapi menjadikan tradisi tersebut sebagai pembuka jalan bagi kemajuan budaya Kaili demi kemajuan daerah ini,” tandasnya.  

Pertunjukan “Meraba Baca Lewat Bunyi” ini, merupakan momentum untuk mengasah kepekaan sosial masyarakat Kaili, lewat seni yang berbudaya, yang dipahami secara universal dan global. Seni dan budaya yang membawa nilai dan pesan moral di dalamnya, merupakan media penyadaran generasi muda Kaili menuju kebangkitan kedepannya. 

Post a Comment

0 Comments